Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tampak Lia yang tengkurap melihat ke arah walkman. Ia menatap walkman itu dalam-dalam. Ia coba tekan tombol play dan sebuah lagu India keluar:
Khushiyan Aur Gham Saihti Hai
Phir Bhi Ye Chupp Rehti Hai
Abh Tak Kisi Ne Na Jaana
Zindagi Kya Kehti Hai
Apni Kabhi, To Kabhi Ajnabi
Aansoon Kabhi, To Kabhi Hai Hansee
Dariya Kabhi, To Kabhi Tishnagi
Lagti Hai Ye
Tiba-tiba Lia langsung mematikan musik tersebut.
Self dialog:
"Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Semua laki-laki yang ingin menikahiku sama sekali tidak disetujui oleh bibi. Padahal aku sudah mulai bahagia dapat seorang pendamping yang bakal jadi imamku, menjadi pendidik dalam rumah tangga. Aku sudah jenuh ikut orang, tinggal menumpang di rumah nenek, di rumah bibi, bahkan di rumah orang lain untuk dapat bertahan hidup. Aku benar-benar sudah tidak punya harapan lagi. (Matanya berkaca-kaca dan kemudian meleleh mengalir di kedua belah pipinya yang putih dan bersih)"
"Kak Hamid, . . .Aku benci kamu kak! Kakak datang sewaktu-waktu saja, pergi di saat aku sendiri, dan tiba-tiba datang saat aku sudah mulai suka dengan orang lain. Dan walkman ini.... tidak ada artinya sama sekali bagiku!!!"
Lia langsung membanting dan menginjak walkman tersebut,
Brak! Brak! brak!!!
Tak luput dari amukan Lia, kaset Mann yang ada dalam walkman ia keluarkan dan pita kasetnya ia tarik semuanya hingga benar-benar kusut!
Short intercut:
Bi Fitri: Lia!.... Lia!.... Ada apa sih berisik amat dia atas?
Lia : Enggak bi... ga ada apa-apa kok, bi!
Bi Fitri: Enggak ada apa-apa kok berisik banget
Lia : Ini walkman jatoh bi! (Menyembunyikan walkman yang sudah pecah di bawah kasur di atas lantai. Air mata Lia berlinang sambil terisak, kemudian ia segera menutup pintu kamarnya)
Bi Fitri: (self dialog) Ada apa sih... mustahil enggak ada apa-apa (bergegas menuju ke atas melewati tangga)
Sampai di atas, Bi Fitri melihat pintu kamar Lia tertutup rapat.
Bi Fitri: (mengetuk pintu) Lia! Lia! Buka pintunya!
Lia : Enggak bi ah!....(masih terisak)
Bi Fitri: Eeeeh.... jangan begitu, Ayo buka pintu dulu. Udah deh enggak usah bohong, bibi juga tau lho masalah kamu apa. Kamu mau dibantu apa enggak?
Lia : Menyeka air matanya dan langsung membuka pintu
Bi fitri melihat Lia duduk di atas lantai dengan lutut ditekuk dan wajahnya tertelungkup bertumpu pada kedua lututnya. Kamar Lia sangat berantakan. Kasur ukuran kecil berwarna krem dengan seprai bermotif bunga berwarna biru muda sudah acak-acakan. Beberapa benda seperti pulpen, majalah, dan bantal tercecer di sana sini
Bi Fitri: Ya Allaaah... ini kenapa Lia? Kamu marah? Marah sama siapa?
Lia : Enggak marah sama siapa-siapa bi...
Bi Fitri: Enggak marah sama siapa-siapa, kata kamu? Lah ini apa buktinya?
Lia : Iya bi enggak marah sama siapa-siapa kok, mungkin Lia lagi pusing aja
Bi Fitri: Bener? (Menghela nafas sambil mencoba masuk menghampiri Lia yang masih duduk di atas lantai dengan mata yang masih membengkak).
Saat Bi Fitri menghampiri Lia baru dua langkah, tiba-tiba ia menginjak sesuatu, “krepek!”...
Sebuah serpihan walkman tepat terinjak di bawah kaki Bi Fitri. Lia terkejut dan matanya terbuka lebar dengan mata yang masih berlinang.
Bi Fitri: Apa ini Lia? (mengambil serpihan di bawah kakinya dan mengamatinya dalam-dalam dengan menajamkan kedua alisnya. Sebuah serpihan walkman berwarna abu-abu dengan beberapa sudut yang tajam karena pecah)
Lia : Melihat ke arah Bi Fitri dengan kedua bibirnya yang mulai sedikit terbuka seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi tak tersampaikan seperti terkunci
Kabel earphone dari walkman masih terurai. Bi Fitri mulai mengurutkan dari ujung kabel dengan earphone-nya ke pangkal kabel dan ternyata pangkalnya tertutup kasur. Bi Fitri segera menyingkap kasur tersebut dan segera mendapatkan walkman yang sudah hancur dan kaset yang sudah hancur dengan pita yang putus dan kusut. Bi Fitri menggeleng-gelengkan kepalanya. Bi Fitri menghampiri Lia perlahan dan duduk di sampingnya di bawah lantai.
Bi Fitri: Lia, ... Bibi paham, kamu sedang dalam masalah. Coba kamu ceritakan kepada bibi...
Lia : (menggelengkan kepalanya)
Bi Fitri: Kenapa Lia?
Lia : Enggak ada yang bisa bantu Lia, bi (terisak)
Bi Fitri: Lho, bibi kan di sini sebagai orang tua kamu, masa bibi ga mau bantu kamu
Lia : Iya, Lia tau bibi mau bantu Lia, tapi belum tentu bisa bi
Bi Fitri: Memang apa sebetulnya masalah kamu. Masalah cowok itu? Jodohmu? Yang tempo hari kamu keluhkan, kan?
Lia : (mengangguk)
Lia sudah berusaha bi untuk menerima siapapun yang datang kepada Lia untuk menjadikan Lia sebagai calon istri. Lia juga sudah berusaha untuk membuka hati bagi laki-laki yang mau sama Lia. Dan memang sudah ada beberapa laki-laki yang mau sama Lia dengan sungguh-sungguh, tapi kenapa seperti ini bi jadinya?...
Bi Fitri : Begini Lia, seperti yang sudah bibi sarankan, coba deh kamu tanya Hamid. Dia kan beberapa kali tuh ke sini sama temennya. Ya meskipun kamu anggap sebagai silaturrahmi aja untuk mengajarkan kamu tentang tugas yang belum kamu mengerti. Tapi kan siapa tahu, Lia, dia memang ada minat sama kamu. Enggak tahu kenapa bibi kok sreg sama dia. Kaka dia itu, yang namanya Asih, itu adik kelas bibi. Bibi masih ingat waktu dia masih kecil di SD yang sama, waktu ada pentas seni, dia menjadi anak kupu-kupu dan bibi menjadi ibunya, lho (tersenyum kepada Lia)
Lia : Iya bi, tapi Lia tuh kesel sama kak Hamid!, dia itu sikapnya dingin, biasa aja kepada Lia kayak orang enggak ada minat.
Bi Fitri: Eh Lia, dengerin ya,...
Hamid itu bukan tipe laki-laki yang gampang jatuh cinta. Setahu bibi dia itu kayaknya pernah putus cinta kan,? Sama siapa gitu? (menajamkan alisnya sambil melihat ke arah langit-langit mencoba mengingat-ingat sesuatu). Eh, bukannya kamu sendiri yang cerita??
Lia : Murni bi (spontan sambil menunduk)
Bi Fitri: Lha itu kamu tahu, Lia. Coba deh kamu pahami dulu. Atau coba deh kamu tanya Hamid, dia beberapa kali ke sini untuk apa? Apa tujuannya?
Lia : Ah enggak berani bi, Lia ga mau lagi kecewa menerima kenyataan. Cukup bi, cukup sudah Lia kecewa beberapa kali!
Bi Fitri menghela nafas pandangannya mengarah ke handphone yang saat itu tergeletak di meja belajarnya Lia. Pandangannya tajam seolah ada hal penting yang disimpan dalam benaknya. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Keduanya larut dalam keheningan di kamar itu.