Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Dzikir Sebuah Cincin Retak
Suka
Favorit
Bagikan
30. SCENE 30 EXT/INT, RUMAH LIA, BA"DA DZUHUR

Hamid baru saja sampai halaman depan rumah nenek Lia. Rumah sederhana berwarna krem dengan teras yang cukup luas memanjang diperkirakan mampu menampung tamu sejumlah 30 orang dengan duduk melingkar.

Hamid : Assalamu’alaikum,

Lia : Wa’alaikumsalam, (membuka pintu). Silahkan masuk Kak

Hamid : Terima kasih. Nenekmu kemana?

Lia : Sedang mengikuti pengajian di Masjid Kak.

Hamid : Melihat sekeliling rumah. Tampak foto kakek dan nenek Lia terpampang di dinding. Di bawah foto tampak televisi tabung ukuran sedang terletak di atas meja setinggi 60 cm terbuat dari stainless dengan tiga laci di bagian tengahnya. Di sebelahnya tampak sofa nan empuk berwarna hijau muda sejumlah tiga unit dimana satu sofa yang panjang, serta dua sofa untuk ukuran satu orang. Di depannya ada sebuah meja kayu berwarna coklat yang sudah diplitur dengan taplak meja berwarna merah muda. Bordir di sisinya cukup mempercantik tampilan taplak tersebut. Di bagian tengahnya ada asbak rokok yang cukup bersih.

Lia : Kak kok berdiri aja?? Silahkan duduk kak 

Hamid : Oh iya, terima kasih Lia! (menuju salah satu sofa yang di sudut ruangan dekat dengan pintu tepat eberapa langkah di sebelah kanannya).

Lia : Maaf nih ya, berhubung Ramadhan, . . .

Hamid : Ya tentu dong he he he! Ga usah repot-repot

Lia : Sebentar ya Kak saya ambil buku tugasnya!

Hamid : OK

Hamid membuka-buka kamus Bahasa Arabnya sambil mempelajari kosa kata yang baru, sekaligus menunggu Lia yang sedang mengambil buku tugasnya. Tak lama kemudian ia segera keluar dari kamarnya membawa buku yang dimaksud. Lia mengambil tempat duduk di sofa yang berseberangan. Ia segera menyodorkan buku tugasnya ke depan Hamid.

Lia : Ini Kak tugasnya!

Hamid : Oh ini judul-judul yang boleh di pilih ya?

Lia : Iya Kak.

Hamid : Menurut Lia yang mana yang cocok?

Lia : Sepertinya pilihan kedua Kak, tentang pergaulan remaja.

Hamid : Oh, OK kalau begitu.

Mereka berdua terlihat seperti berdiskusi, tampak Lia sesekali menulis apa yang diucapkan Hamid hingga akhirnya tugas selesai.

Lia : Alhamdulillah, akhirnya tugas selesai.

Hamid : Iya ya, alhamdulillah...

Lia : Makasih banyak ya kak sebelumnya!

Hamid : Ah, ga apa-apa Lia, lagian kan memang kebetulan kakak sedang longgar, jadi ga masalah, kan?

Lia : Mengangguk tersenyum

Lia : Oh ya Kak, ngomong-ngomong, apa boleh Lia tanya sesuatu Kak?

Hamid : boleh dong, tanya apa Lia?

Lia : tapi Lia malu kak!

Hamid : tidak apa-apa Lia, tanya aja. Kita kan jarang ketemu

Lia : Itu Kak. . . anu . . . Kak Yadi itu . . . orang Matraman kan?

Hamid : Iya, kenapa Lia? Ada minat? He he he, dia orang baik

Lia : Ah, kakak bisa aja. Iya sih dia orangnya baik. Tapi saya ini hanya gadis kampung Kak. Mana ada orang yang sudi sama saya!

Hamid : Ah, kamu bisa aja Lia. Suka atau tidak suka itu tidak ada kaitannya dengan tempat, he he he

Lia : Ya mungkin aja kak, kan ada juga laki-laki itu melihat calon pendampingnya dari hartanya, dari rumah yang dimiliki, dari kendaraan, atau hal-hal lain deh yang tampak.

Hamid : Apa iyaaaa? Emang kamu tau dari mana Lia bisa berpendapat begitu??

Lia : Ya dari temen-temen atau dari orang-orang yang suka cerita. Lagian, kalau kita itu bukan orang berada, biasanya kurang dipandang orang gitu kak, alias dipandang sebelah mata!

Hamid : Hmm kamu ada benernya juga sih Lia, banyak orang yang memuliakan orang lain karena hartanya dan sebagian kecil lain karena ilmunya. Nah makanya pesan Nabi itu tuntutlah dalam hidup ini ilmu dan harta karena manusia itu antara umum dan khusus. Yang umum, mereka akan menghargai kita karena harta yang kita miliki. Sedangkan yang khusus menghargai kita karena ilmu yang kita miliki

Lia : Nah terbukti kan kak, bahwa orang memang menyukai dan menghormati kita karena harta yang kita miliki, itu sangat jelas bukan, kak?!

Hamid : Iya, betul Lia, kamu tidak salah. Akan tetapi itu bukanlah suatu hal yang pada akhirnya menjadikan kita ini minder, kurang percaya diri, atau malah putus asa, tentu itu bukan maksud dari makna yang tersirat dalam perintah tersebut. Pesan yang disampaikan lebih kepada motivasi agar kita itu mau bersungguh-sungguh dalam menggapai dua hal tadi agar kita kelak hidup mulia dimana kita memiliki keduanya, baik itu ilmu maupun harta karena kedua faktor tersebut akan saling mendukung satu sama lain. Dengan begitu, manusia akan hidup mulia dan tercukupi kebutuhannya. Bukan begitu?

Lia : Iya sih...(melirik ke salah satu sudut langit-langit rumah sambil menaikkan kedua alisnya)

     Lia cuma bingung aja kak, bagaimana ya caranya untuk menuju ke sana

Hamid : Betul Lia, caranya itu yang memang jadi perhatian kita. Saat ini kita dapat mencoba untuk berusaha untuk menuju ke sana dengan memperbanyak kenalan mungkin dengan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang sukses mungkin ya, kakak pikir sih begitu, Lia

Lia : Lia sih setuju kak. Naah... makanya nih, kakak bagi-bagi dong ilmunya...

Hamid : Walaaah.... kakak aja ini masih perlu banyak belajar, Lia. Baru selesai pengabdian dari pondok.

Lia : Yaa... tapi ada laaah ilmu yang dimiliki....

Hamid : Ya, ya, ya, kalau begitu kita bisa saling belajar aja

    (self dialog) Hmmm... anak ini tampaknya suka sekali dengan belajar... dan kasihan juga melihatnya tinggal bersama neneknya, dan rasa percaya dirinya yang perlu ditopang. Oh iya, tadi juga ia sempat menyebut Yadi, apa dia cukup mengagumi Yadi? Apa aku perlu menjadi wasilah atau perantara untuk mereka berdua ya? Tapi bagaimana dengan Yadi sendiri kalau memang Lia benar-benar suka kepada Yadi?

Lia :Eh kak! Kok ngelamun sih?!

Hamdi : Eh, oh enggak kok, Lia! Kakak hanya memikirkan cara yang tadi kakak sebut-sebut untuk menuju kepada kemuliaan. Memang perlu dicari sih itu...

Lia : Iya kak bener tuh,

Oya kak, maaf kak kalau saya lancang, sekedar ingin tahu saja, Lia denger, kakak sudah kenal dekat dengan Murni ya?

Hamid : Nah lho, Kok kamu tahu Lia. Tahu dari mana? (menajamkan kedua alisnya).

Lia : Yaaah kakak, ya ada aja laah yang cerita.... Lagian Murni itu kan kakak kelasnya Lia di MTs Bayur

Hamid : Oh, iya sih.... Saat ini memang kakak sedang mencoba mengenal sosok dirinya.

Lia :Iya kak bagus sih, Murni itu kan cantik dan baik

Hamid : Ya Lia, justru kakak rada khawatir sebetulnya

Lia : Lho... aneh kakak ini, punya kenalan cantik dan baik, eh malah khawatir. Emang apa yang dikhawatiin sih kak?

Hamid : (menghela nafas) Ibarat buah apel merah yang ranum, wangi dan tampak lezat, kira-kira apakah orang tidak akan segera memetiknya?

Lia : Iya siiih... Ya udah petik aja kalau begitu

Hamid : Walah, lia... Lia,... Kakak ini belum punya tangga dan belum punya alat pencolok untuk memetiknya, naik juga ngeri, licin! He he he (terkekeh sampai terlihat gigi serinya)

Lia : Yaaah berjuang doooong.... ha ha ha ...

Hamid : Okeeee... berangkaaaat....

    Yang penting niat dulu ya Lia

Lia : Iyalah kak! Hi hi hi!

  Kakak mau menetap di sini atau melanjutkan pendidikan?

Hamid : Insya Allah selesai pesantren kilat kakak akan ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan.

Lia : Di sana ada saudara kak?

Hamid : Ya, di sana ada bibi. Mungkin kakak akan tinggal di rumahnya dan mencari kampus yang tdak terlalu jauh dari rumah Bibi.

Lia menganguk-angguk, lalu hanya terdiam menunduk beberapa saat.

Hamid : Lho kok kamu jadi bengong Lia, kenapa?

Lia : Eh, Oh, enggak kok kak, enggak apa-apa

Hamid : Oh ya sudah kalau begitu. Berhubung sebentar lagi ashar, kakak pamit dulu ya,

Lia : Iya kak

Hamid : Assalamu’alaikum

Lia : Wa’alaikumusalam. . .

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar