Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Dzikir Sebuah Cincin Retak
Suka
Favorit
Bagikan
9. SCENE 9 INT, KAMAR MURNI, MALAM

Tampak wajah Murni yang bersih di cermin meja rias ukuran sedang dengan border kayu berwarna coklat. Lampu kamar yang kekuning-kuningan menambah keanggunannya. Rambutnya yang panjang terurai ia ikat perlahan dengan jepitan rambut berwarna merah.

(zoom out perlahan dari arah punggung Murni)

Tampak mengenakan baju piyama berwarna merah muda, Murni duduk di atas tempat tidurnya. Ia mengambil buku diary dari laci lemari riasnya. Perlahan ia mengambil buku diary-nya yang berwarna kuning dengan ketebalan 1,5 cm. Di bagian covernya ada gambar Teddy Bear dan tulisan “Diary” yang memiliki font Monotype Corsiva. Murni pun membuka buku tersebut perlahan dan membacanya dalam hati (suara Hamid):

Adinda adalah adinda, bukan pakaian, bukan paras dan rupa, bukan celaan maupun sanjungan pada adinda, melainkan kasih sayang yang tumbuh bersemi yang menjadi ukuran. Tegur sapa dan kesederhanaan adinda patut mendapat sanjungan dari sekian banyak insan. Moga Allah selalu meridhai hubungan kita, amin...

Murni : (Self dialog, sambil menatap wajahnya di cermin)

“Kalau dilihat dari kata-katanya sih cukup indah. Tapi aku yakin, kak Hamid memang orang yang baik. Kalau dipikir kembali, saat ini masa depanku belum jelas. Akan kemana aku setelah lulus dari sekolah nanti. Kalau aku melanjutkan sekolah, apa orang tuaku bersedia? Tapi kalau aku menetap di kampung ini juga akan menjadi apa aku nanti? Sepetinya kecil kemungkinan kalau di kampung ini aku dapat peluang untuk bekerja. Bagaimana ya, kalau suatu saat aku ada kesempatan bekerja di suatu tempat, entah itu di mana? Apakah aku harus meninggalkan kampung ini. Bagaimana dengan kak Hamid? Kalau dia sudah lulus dari pondok nanti, apakah nantinya tidak akan kehilangan? Apa langkahnya seetlah lulus dari pondok? Ah... Kok jadi banyak begini pertanyaanku, mungkin aku terlalu jauh berpikir kali ya.... Biarlah waktu jua yang akan bicara. Aku harap sih semoga dapat bersamanya lagi setelah urusannya selesai”. (menghela nafas, dan segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar sambil mendekap diary-nya dan tersenyum)

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar