Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hamid turun dari ojek dan menuju sebuah gang sempit yang ditumbuhi pepohonan kecil di sebelah kanan dan kirinya. Kanan dan kiri jalan masih berupa kebun pisang, mangga, dan beberapa pohon kelapa hingga berakhir di sebuah sungai yang cukup lebar dan persawahan. Hamid mencari sebuah jembatan agar bisa menyeberang ke seberang sungai dimana terdapat persawahan. Tidak jauh dari situ tampak jembatan terbuat dari bambu yang tersusun rapi melebar sehingga dapat dilalui dengan mudah. Hamid terus menelusuri pematang sawah hingga samai di sebuah kebun yang dipenuhi berbagai pepohonan. Setelah sudah dekat dengan kebun, Hamid mendapatkan sebuah sungai kecil. Ia terus menelusuri sungai itu hingga sampai di sebuah pohon mangga yang cukup rindang. Hamid duduk di bawahnya sambil menghela nafas. Ia segera mengambil HP nya untuk mengabarkan Asih melalui pesan singkat. Ia tulis: “Umi, aku udah sampai di bawah pohon mangga di sawah Umi”. Setelah terkirim pesannya, ia segera memasukkan HP nya lagi ke dalam kantong dan menatap luasnya area persawahan yang menghijau. Semilir angin menghembus dedaunan hingga mengakibatkan tarian dedaunan yang gemeresik sehingga dapat sedikit menghibur hati Hamid yang sedang galau. Tak lama kemudian, sebuah suara yang tak asing di telinga Hamid memanggilnya dari belakang:
Asih : Mang, dari tadi?
Hamid : Ah enggak umi, baru aja duduk (menghadap ke Asih yang di tangan kanannya sedang memegang amplop berwarna putih)
Asih : Gimana masih tegar?
Hamid : Insya Allah masih Umi,
Asih : Pas banget lho mang, kalo kita ketemuan di sini
Hamid : Oh ya? Kenapa umi?
Asih : Saran dari A’a, Lebih baik kalau mamang enggak usah nemuin Murni. Artinya tidak perlu datang ke pestanya, karena mamang itu belum punya kekuatan yang cukup. Coba mamang bayangin deh, saat ini masih mahasiswa, belum wisuda, kerjaan belum ada, kendaraan enggak punya. Bener-bener enggak punya apa-apa. Jadi, memang belum ada yang bisa dibanggakan, belum ada yang bisa dijadikan sandaran saat nanti berhadapan sama Murni dan suaminya di atas pelaminan. Mamang bisa jadi down duluan dan jatuh harga diri mamang, iya kan?
Hamid : Iya ya
Asih : Iya mang. Lagian ya sudahlah, dia sudah bahagia dengan suaminya, kekasihnya yang baru
Hamid : Menghela nafas dalam-dalam, menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengusap wajahnya
Asih : Daaah,.... sabar, sabar... masih banyak bunga-bunga di sana yang jauh lebih wangi toh?
Hamid : Iya umi, tapi saat ini aku benar-benar terpuruk, aku bisa enggak ya, suskes di masa yang akan datang?
Asih : Waaah... kok jadi begini, tenang aja mang, pasti sukses kok nanti!. Entar deh aku ajarin bisnis sawah biar bisa sukses!
Hamid : Hah, bener nih umi?
Asih : Ya bener lah, masa aku bohong. Ayo makanya kuliah yang bener, nanti juga masa depan akan lebih cerah.
Hamid : Makasih ya umi, umi selalu bantu aku saat aku kesulitan
Asih : Yaa kita kan cuma dua bersaudara mang
Hamid : Iya ya
Oh iya ini uang kondangannya
(Hamid mengeluarkan dompetnya yang berwarna coklat gelap dari kantong celananya, kemudian mengambil selembar uang seratus ribuan. Asih memberikan amplop putih kepada Hamid. Hamid segera memasukkannya ke dalam amplop)
Asih : Enggak ditulis dulu?
Hamid : Eh iya, hampir lupa
(Hamid menuliskan sebuah kalimat di atas amplop; “Selamat berbahagia Murni & Suami”. Ia langsung memberikannya kepada Asih)
Asih : Udah nih?
Hamid : Udah umi
Umi, ngomong-ngomong aku balik dulu ya, insya Allah lebaran kita ketemu lagi
Asih : Lho eggak nginep?
Hamid : Enggak ah umi, takut ngeliat genteng!
Asih :Genteng siapa?
Hamid : Genteng rumah Murni
Asih : Walaah lihat gentengnya aja udah takut, apalagi liat orangnya! Ha ha ha... Iya, iyaaaa, aku paham kok orang lagi galau
Hamid : Iya umi he he he, Sampai ketemu ya, assalamu’alaikum
Asih : Wa’alaikumussalam
(Jembatan yang dilalui Hamid dari jalan menuju pematang sawah)
(Pohon mangga tepat Hamid dan Asih bertemu)