Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hamid membuka surat dari Murni perlahan sambil tersenyum. Kertas biru muda berhiaskan gambar bunga di sisi kiri dan kanannya itu penuh dengan goresan tinta berisi kata-kata pembawa kabar bagi Hamid. Di dalamnya ada sebuah foto Murni sedang duduk dengan wajah tersenyum ukuran 3R. Hamid tersenyum sambil menatapnya. Suara Murni dalam surat:
“Assalamu’alaikum,
Salam sejahtera selalu Murni sampaikan pada kanda semoga Kakak selalu dalam keadaan sehat wal afiat tidak kurang suatu apapun, hingga Kakak dapat menjalankan aktivitas dengan baik. Demikian pula kabar Murni di Karawang sehat pula adanya.
Tanpa terasa ya kak, hubungan kita sudah dua tahun setengah. Murni bahagia dapat bersama dengan kakak meskipun kita jarang sekali bertemu. Kapan ya Kak kita bisa bersama sehingga kita bisa bertemu sesering mungkin.
Oh ya kak, Murni ingin menyampaikan sesuatu, tapi mohon kakak menanggapi ini dengan tenang. Ini hanya sekedar kabar saja buat kakak.
Kak, Insya Allah dalam dua atau tiga bulan lagi Murni akan pergi ke negeri tetangga, Brunei Darussalam.
(Hamid terperanjat, matanya terbelalak, mulutnya agak terbuka, ia seolah menyadari apa yang pernah terlintas dalam benaknya. Ya di depan warung kakaknya kala senja itu, bahwa Murni akan pergi)
Slide terbayang saat Hamid di depan warung kakaknya senja itu:
Flashback, fade in:
Hamid berkata dalam hati sambil menatap Murni yang terus berlalu. Ia mengernyitkan dahinya seolah ada hal penting yang mengganjal di benaknya: “Mungkikah ia jadi miliku? Perjalananku masih panjang, adakah ia akan terus bertahan di desa ini? Ataukah ia akan pergi merantau suatu saat, seperti kebanyakan gadis di desa ini? Ah... entahlah”.
Murni hilang di tikungan jalan desa. Fade out
Hamid melanjutkan membaca suratnya:
Tapi jangan khawatir kak, Murni pergi ke sana cuma dua tahun kok, sebagaimana kakak pernah meninggalkan Murni dua tahun, ha ha ha! (Hamid tersenyum) Bukan balas dendam lho, Murni cuma ingin mencari kegiatan saja, habis. . . di Karawang tidak ada yang dikerjakan Kak!.
Mungkin ini dulu yang dapat Murni sampaikan. Pepatah mengatakan;
“kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi, kalau ada umurku panjang, boleh kita bertemu lagi”
Maaf ya Kak, Murni tidak bisa membuat pantun yang baru, hi hi hi!
Salam sayang
Murni
Hamid menengadah ke atas menatap langit-langit kamar. Ia menghela nafas dalam-dalam. Surat dari Murni yang masih berada di tangannya belum ia lipat. Seolah tak percaya Murni akan pergi, ia melihat kembali surat yang dipegangnya itu. Terlihat kembali tulisan yang berbunyi “Insya Allah dalam dua atau tiga bulan lagi Murni akan pergi ke negeri tetangga, Brunei Darussalam”.
Hamid menggeleng-gelengkan kepalanya, menelan ludah, lalu memasukkan surat itu ke dalam amplopnya yang berwarna putih dengan border bergaris diagonal warna merah dan biru. Hamid membawanya menuju ke sebuah lemari kayu kecil berwarna coklat muda yang berada di sudut kamar dengan langkah yang lemas. Dibukanya lemari itu perlahan, lalu menaruh surat tersebut di bawah pakaiannya. Ia kembali menutup lemari sambil menunduk ke lantai dengan pandangan kosong untuk beberapa saat. Hamid sekali lagi menarik nafas dan segera keluar kamar. Ia menuju ke depan untuk menemani Yadi yang sedang menunggu pembeli di depan sambil mendengarkan lagu karya IKLIM.
“aku adalah insan yang tak punya, cuma rasa cinta membara. . .”
Lagu terus mengalun hingga sampai pada perbincangan antara Yadi dan Hamid, lagu mulai terdengar samar di balik dialog.
Kepala Yadi mengangguk-angguk menikmati lagu sambil asyik membaca buku. Hamid lewat di depan Yadi tanpa sepatah kata pun dan langsung menuju ke meja tempat menyajikan bakso. Ia segera membereskan beberapa botol saus dan kecap yang terlihat kurang rapi. Yadi menghentikan anggukannya dalam menikmati lagu, perlahan ia menengok ke arah Hamid yang sedang membereskan botol-botol. Yadi mengernyitkan dahinya. Ada sesuatu yang beda dari Hamid. Ya! Pandangannya kosong. Ia segera menegurnya:
Yadi : Waduuh . . yang abis baca surat, bukannya seneng malah bengong! Ha ha ha! Ada apa man?
Hamid : (tersenyum, menghentikan kerjaannya) iya nih Yad, hari ini senang sekaligus bingung . (menggaruk-garuk kepalanya)
Yadi : lha? Maksud ente? (menajamkan alisnya)
Hamid : Ane seneng dapat surat dari dia, tapi . . .
Yadi : Tapi apa . . .
Hamid : Dia mau pergi Yad . . .
Yadi : Pergi ke mana hari gini??
Hamid : Pergi ke Brunei, katanya sih mau cari kegiatan aja di sana selama dua tahun.
Yadi : Lha terus kenapa ente jadi bingung begitu?? Kan dia pergi cuma mu cari kegiatan aja, kecuali dia pergi buat hal-hal yang enggak bener. Ente doain aja lah dari sini, kan masih bisa kirim surat juga.
Hamid : Iya sih Yad . . .(menghela nafas, badannya terlihat lemas). Cuma ane merasa khawatir aja sama dia. Ya ente tau sendiri selama bertahun-tahun kita di pondok jarang banget ketemu sama yang namanya makhluk lembut alias perempuan. Nah sekarang giliran hubungan ane lagi hangat-hangatnya, dia malah pergi ke Negeri seberang. Komunikasi udah pasti agak sulit tuh Yad!
Yadi : Yaa ane bisa ngerti sih bagaimana jadinya kalo di posisi ente. Maklum baru pertama mengenal cinta, he he he! Sory nih man, ane apalagi, belom ada yang nyangkut nih! Ha ha ha!. Nah sekarang gini aja deh, ente ijin aja ama koordinator kita barang dua hari buat pulang ke Karawang. Insya Allah diizinin. Bilang aja ada urusan keluarga, lagian dua hari besok kan libur. Hari Jum’at emang kita libur, Sabtunya ente ga ada jadwal ngajar kan? Urusan toko bakso biar ane yang ngurus! Kan ada mas Pardi.
Hamid : Iya ya . . . (mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum)
Yadi : Iya Mid, mendingan ente pastiin dulu tuh apa emang bener dia mau pergi ke sana, siapa tahu itu baru rencana. Kalo emang jadi pergi ke sana ya ente pesen sesuatu ke dia, yakini kalo kalian bisa saling percaya, biar sama-sama tenang. Daripada di sini ente ngerjain tugas sambil bengong, ga bagus juga man! He he he!
Hamid : Iya Yad, ane mau langsung izin deh!
Yadi : Iya izin aja. Koordinator kita sekarang ada di toko buku tuh lagi meriksa daftar harga buku!
Hamid mengangkat jempolnya ke arah Yadi dan langsung membalikkan badannya ke luar toko bakso menuju toko samping. Yadi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia melanjutkan membacanya sambil mendengarkan lagu IKLIM. Kembali ia mengangguk-angguk menikmati lagu. Saat itu liriknya:
“kini engkau telah pergi, aku sendiri berteman sunyi . . .”
Saat sedang asyik mendengarkan lagu dan membaca bukunya, sepasang suami istri masuk. Suaminya mengenakan baju koko putih celana biru tua, istrinya mengenakan baju kurung warna biru muda dengan jilbab warna putih. Ia membawa tas hitam di sebelah kiri pundaknya. Mereka berdua langsung mengambil tempat duduk di barisan kedua dari depan, sebelah kiri Yadi.
Bapak : Pesen Bakso mas 2 porsi, campur mawon nggeh! (Ibu tampak membuka tasnya yang berwarna hitam berhiaskan pernak pernik warna keemasan seperti ingin mencari sesuatu)
Yadi : Oh nggeh Pak, siap!
Yadi segera menuju ke belakang untuk menyiapkan bakso. Tak lama kemudian Hamid masuk dan menemui Yadi. Yadi menyiapkan 2 buah mangkok bakso.
Hamid : Yad ane udah dapat izin, mungkin sekarang ane langsung berangkat.
Yadi : Iya Mid, hati-hati di jalan! Ente ga bawa apa-apa?
Hamid : Enggak Yad, paling baju salin aja satu. Udah ya Yad, ane berangkat dulu, assalamu’alaikum (langsung memutar badannya dan menuju keluar toko)
Yadi : Waalaikumussalam, (melihat Hamid keluar sebentar, lalu langsung melanjutkan tugasnya menyiapkan bakso buat konsumen) fade out