Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Dzikir Sebuah Cincin Retak
Suka
Favorit
Bagikan
5. SCENE 5 EXT/INT, DESA BAYUR KIDUL, RUMAH ASIH, KARAWANG, PAGI

Suasana pedesaan dengan hamparan sawah membentang di Karawang. Tampak seorang petani yang menggunakan baju hitam dan celana kecoklatan yang terlihat penuh dengan lumpur di ujungnya sedang menggarap sawah. Tidak jauh dari situ tampak seorang ibu paruh baya menggunakan baju batik yang didominasi warna hitam dengan kain batik warna coklat sedang menggiring itik-itiknya. Sebuah motor melintas dimana Hamid membonceng. Ia tersenyum melihat aktivitas petani di sawah tersebut. Motor belok ke dalam gang yang cukup untuk dilewati satu mobil dan akhirnya berhenti di sebuah rumah berwarna kuning dengan daun pintu berwarna hijau. Di depannya dihiasi pagar bambu yang terlihat sudah mulai dimakan usia. Hamid membayar ongkos ojek. Dari jauh tampak seorang anak laki-laki berkulit hitam manis berumur 5 tahun memanggil-manggil nama Hamid.

Wahid : Mamaaaaang! Mamang Hamiiiiid! Hore mamang Hamid pulang!

Hamid : E e e eh, ponakan mamang udah gede ya! (Hamid mengangkat keponakannya setelah meletakan barang bawaannya di dekatnya). Sudah sekolah belum nih? (menurunkan kembali)

Wahid : Belum mang, tapi aku ngaji setiap habis magrib sama guru!

Hamid : Alhamdulillah..... waaaah, rajin sekali ya ponakan mamang! He he he

Di tengah dialog, terdengar suara seorang wanita paruh baya berkacamata menggunakan daster warna hijau gelap memanggil namanya dan menghampirinya. Ia adalah bibinya Hamid. Hamid menurunkan keponakannya. Keponakannya segera berlari menghampiri teman-teman sebayanya yang sedang bermain mobil-mobilan.

Bi Sari: Mid! Kamu sudah lulus? (merapikan jilbabnya)

Hamid : Alhamdulilah bi, saya sudah lulus!

Bibi : Ayo masuk! Tuh Ibu kamu dan kakakmu ada di dalam (mencoba untuk mengangkat barang-barang Hamid)

Hamid : Biar saja bi, saya yang bawa (segera mengambil barangnya dari tangan bibinya)

Hamid : Assalamu’alaikum, (pintu rumah terbuka. Seorang wanita berusia 45 tahun, mengenakan daster coklat, kerudung hitam keluar dari dapur. Ia adalah ibunya Hamid)

Bu Sanih: Wa’alaikum salaaam... (terpengarah, wajahnya tampak haru) Hamid anakku..... (menghampiri Hamid, kedua tangannya terbuka ingin memeluk. Hamid langsung menyambut pelukan Ibu, mencium tangannya dan berlutut di bawah kaki Ibunya. Suasana haru)

Hamid : Ibu, maafkan Hamid bu, Hamid banyak salah sama Ibu, Hamid juga jarang kirim surat kepada Ibu (wajahnya terangkat, kedua alisnya terangkat terlihat merasa bersalah, matanya berkaca-kaca)

Ibu : Sudahlah nak (memegang dan mengangkat kedua pundak Hamid agar ia segera berdiri). Kamu tidak bersalah. Ibumulah yang salah, hingga kau lulus dari pondok, Ibu sama sekali belum pernah menjengukmu. Berterimakasihlah pada kakamu dan bibimu yang sudah mengirimkan uang bulanan untukmu belajar.

Hamid : Baik bu. Ibu tetap mulia di mata saya. Doa Ibu begitu saya rasakan selama saya berada di sana. Dukungan dari kakak dan bibi tentu akan saya junjung tinggi dan tak kan pernah terlupakan.

Seorang wanita muda keluar dari dapur, mengenakan kaos panjang berkerah warna hitam, celana panjang biru gelap keluar dari dapur. Ia adalak Kakak kandung Hamid. Wajahnya sumringah.

Asih : E e eh Mamang udah pulang. (memanggil “mamang” agar ditiru anaknya)

Hamid : Iya nih Umi (ponakannya memanggil ibunya dengan sebutan “umi) (Hamid menghampiri Kakaknya dan mencium tangannya). Apa kabar Mi?

Asih : Alhamdulillah baik, he he he (Bu Sanih tersenyum)

Hamid : Terimakasih ya Mi, atas segalanya, aku tidak bisa membalas apa-apa..

Asih : Sudahlah, ini adalah perjuangan bersama. Buktinya rumah yang sempat dimiliki sudah dijual untuk biaya pendidikan mamang dan sampai sekarang kita tinggal di rumah Bibi. Bukannya mamang sudah tahu?

Hamid :Betul Mi. Ya biarlah, mungkin suatu saat Allah akan menggantinya...(menunduk penuh harap)

Asih :Sebetulnya aku sih mampu mang untuk membangun rumah lagi. Alhamdulilah bisnis sawahku lancar! tapi... (menunduk, terlihat bingung)

Cut to:

Bi Sari keluar rumah menuju jalan dan menemui seorang wanita paruh baya yang menjual sayuran di atas kepalanya dengan menggunakan tampah.

Cut to:

Hamid : Tapi kenapa Mi? (wajah penasaran)

Asih :Begini, Mamang tahu kan Bibi sudah tua. Jika akau membuat rumah lagi, dia di sini sama siapa. Lagipula beliau selalu melarang jika aku ada niat untuk membuat rumah. Kalau kita tetap dengan pendirian kita, takut disangkanya tidak sayang sama beliau. Mamang tahu sendiri kita ikut beliau sejak kecil.

Bu Sanih:Ini semua salah nenek (bahasa untuk cucunya) yang tidak bisa membelikan rumah untuk kalian berdua (memotong dan terlihat sedih)

Asih : Tidak Nek (panggilan “nek” agar ditiru anaknya). Semuanya ini telah diatur sedemikain rupa oleh Allah. Lagian Bi Sari sangat sayang kepada kita semua. Kami yakin suatu saat nanti akan terasa hikmahnya, iya kan Mang?

Hamid : Betul Mi. Kita tetap percaya Allah memberikan yang terbaik untuk kita kelak.

Asih : Eh, ngomong-ngomong ayo kita makan dulu, ada sambel terasi buatan Bibi lho, pasti sedap! Ayo Nek! Mumpung mamang ada di sini. Kita kan jarang ngumpul he he he!

Hamid : Ayo Bu (menggandeng Ibunya. Ibu tersenyum dan mengangguk). Oh, ya. Gimana warungannya Mi? Lancar?

Asih : Alhamdulillah Mang, lancar-lancar saja (sambil membuka tutup nasi dan menyediakan makan. Ayo sendok nasinya! Aku mau ambil sayur asemnya).

Hamid : Alhamdulillah, ketemu lagi nih makanan Karawang he he he (sambil menyendok nasi dan mengambil gerejeg. Kakaknya kembali sambil membawa 2 mangkok sayur asam dari ujung dapur. Mereka segera menyantap masakan yang ada). Fade out

(Hamparan sawah di Desa Bayur Kidul, Karawang)

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar