Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
*SETAHUN KEMUDIAN*
Hamid sedang duduk di teras rumah, tiba-tiba datang seorang tukang pos menggunakan motor masuk ke latar depan.
Tukang pos : Selamat siang mas . . .
Hamid : Siang pak
Tukang pos : Apa benar di sini rumah Hamid?
Hamid : Ya pak, saya sendiri.
Tukang pos : Ini surat untuk mas
Hamid : Terima kasih pak
Tukang pos : Sama-sama, mari
Hamid : Mari
Tukang pos memutar balik motornya dan menuju Jalan. Hamid bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Terlihat di luar amplop si pengirim bernama Murni. Hamid tersenyum sebentar lalu langsung membuka surat tersebut.
Assalamu’alaikum,
Apa kabar kak?
Murni doakan semoga semuanya baik-baik saja dan apa yang kakak cita-citakan dapat terwujud sesuai yang diharapkan.
Kak . . . Murni ingin meminta maaf atas perlakuan Murni waktu itu. Murni betul-betul tidak punya pilihan kak. Semoga kakak dapat memaafkan Murni.
Oh ya kak, insya Allah dalam waktu dekat, kira-kira dua minggu lagi Murni akan pulang ke Karawang, tapi Murni tidak tahu akan kembali ke Brunei lagi atau tidak.
Kakak tidak perlu membalas surat ini, karena khawatir surat kakak sampai di Brunei, sedangkan Murni sudah kembali ke Karawang.
Sekian dulu dari Murni ya Kak
Salam,
Murni
Hamid melipat kembali surat itu dengan perlahan. Surat yang ia baca kini tak sehangat dulu. Hamid merasakannya berbeda, lebih terkesan datar, jauh dari kemesraan, dan hambar tanpa bumbu penyedap seperti yang sudah-sudah. Dilihatnya cincin dari Murni yang masih melingkar di jari manis Hamid. Ya! Cincin yang retak!
Hamid menajamkan alisnya saat terpaku melihat cincin itu. Kerutan dahinya menunjukkan ada hal yang sangat penting yang terlintas di benaknya. Ia berkata:
“Cincin ini retak, apa benar-benar pertanda hubunganku dan Murni . . . akh! . . . semoga tidak!” (menggeleng-gelengkan kepalanya). Baiklah, dua minggu lagi aku akan pulang ke Karawang untuk membuka pesantren kilat lagi, sehubungan datangnya Ramadhan juga.