Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Dzikir Sebuah Cincin Retak
Suka
Favorit
Bagikan
58. SCENE 58 EXT, TERAS RUMAH CING INAH, MALAM

Ibu Hamid mengelus punggung Hamid dengan penuh kasih sayang sambil berkata:

Ibu : Sabar nak, itu tandanya Allah akan memberimu pengganti yang lebih baik dari dia.

Cing inah keluar rumah;

Cing inah : Iya Mid, bener tuh, ya perempuan mah banyak, laki-laki mah tua juga bisa milih, apalagi elu Mid.

Hamid : (diam beberapa saat sambil menunduk. Ia menarik nafas dalam-dalam). Iya cing. . .

Tiba tiba terdengar suara HP hamid berbunyi. Hamid segera merogoh HP nya yang ad adi kantong celana sebelah kanan dan membukanya. Ia memandang layar monotor HP bermerek Nokia 3330 berwarna silver itu. Tampak panggilan dari Asih (Bu Sanih dan Cing inah mulai mengarahkan pandangannya ke arah Hamid seolah ada ingin rasa ingin tahu tentang panggilan yang diterima Hamid.

Short Intercut:

Hamid : Halo assalamu’alaikum,

Asih : Waalaikumussalam, apa kabar mang?

Hamid : Baik Umi, alhamdulillah

Asih : Enggak putus asa kaaaan? He he he.

Hamid : Ah umi, bisa aja deh, (tersenyum ala kadarnya)

Asih : ini mang, sekedar mau mengabarkan, Seperti yang sudah aku bilang bahwa mamang dapat undangan biru dari Murni. Apakah mamang mau menghadiri?

Hamid : M m m m... gimana ya Umi? Kapan emang pesta pernikahannya?

Asih : enggak usah dijawab sekarang kalau mammang bingung. Nanti aja dipikir dulu. Pesta pernikahannya masih dua hari lagi. Yaaaa... aku tahu kok bagaimana perasaan mamang. Ini mah sekedar mengabarkan, barangkali mamamg mau menghadiri. Undangannya ada sama aku.

Hamid : Wah gimana ya, pengen sih umi, tapi hatiku kok masih beini ya...

Asih : Tenang gini aja, aku tahu sebagai lelaki sejati dan pantang putus asa, bahwa mamang sebenernya ingin menunjukkan bahwa mamang itu baik-baik saja meskipun tanpa dia, begitu kan?

Hamid : iya umi, bener tuh, bener banget!

Asih : Tapi mamang bingung karena hati yang masih terluka?

Hamid : Ah iya, bener banget!

Asih : Sekarang gini deh, aku kan yang penting udah ngabarin mamang toh. Nah selebihnya itu terserah mamang mau datang apa enggak.

Hamid : tampak pandangannya panjang sambil mengernyitkan dahinya. Berat sepertinya memutuskan perkara kali ini untuk menentukan datang atau tidaknya ke pesta pernikahan Murni (terbayang saat bedua duduk bersama di bekas lumbung padi sore itu, terbayang pula saat Murni memberikan cincinnya. Terbayang juga saat ia melayangkan pukulannya ke arah lemari kayu yang sudah usang hingga membuat cincin itu retak

Asih : Halo mang... mang....

Hamid : Eh oh, iya umi!

Asih : Iya apanya? Kok ngelamun? Waaah... ha ha ha!

Hamid : Enggak mi, yaa bingung aja sih mi... maklumlah, begini ya rupanya orang putus cinta itu (melirik ke arah Bu Sanih dan Cing Indah dan dibalas dengan cibiran candaan oleh mereka berdua)

Asih : Jadi bagaimana nih?

Hamid : Jadi deh umi, aku coba datang ke karawang

Asih : Udah bulet nih?

Hamid : InsyaAllah mi

Asih. Oh yaudah kalau bgitu sampe ketemu ya, salam buat encing Inah dan nenek. Assalamu’alaikum

Hamid : Iya umi, waalaikumussalam

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar