Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Dzikir Sebuah Cincin Retak
Suka
Favorit
Bagikan
1. SCENE 1 INT, ASRAMA PONDOK, DINI HARI

Tampak asrama santri berwarna putih. Dalam sebuah ruangan yang cukup luas tampak beberapa santri masih terlihat tergeletak dengan berbagai macam posisi tidur. Seorang santri sedang menepak nyamuk yang mendarat di pipinya dengan keadaan matanya yang masih terpejam. Selimutnya berwarna abu-abu yang berhiaskan corak kotak-kotak putih itu berantakan. Ruangan tersebut disekat dengan deretan lemari kayu membentuk lorong, yang ternyata itu adalah ruangan untuk kakak pengasuh. Hamid baru saja bangun dari tidurnya. Ia melihat ke arah jam dinding berbentuk lingkaran dengan dasarnya yang berwarna putih menunjukkan pukul 04. 30 pagi. Hamid menghela nafasnya dalam-dalam sambil tersenyum seperti ada yang mengandung makna dibalik senyumnya. Ia tidak bisa tidur sejak jam tidur mulai berlaku. Ia masih teringat untaian kata yang tertulis dalam selembar surat dari seorang gadis dari kampungnya. Sejatinya surat tersebut bukanlah surat cinta, tapi ia baru pertama kali ia menerima surat dari seorang wanita. 

Ia menatap ke arah langit-langit dan membayangkan kembali saat pertama kali bertemu dengan gadis yang masih belia itu saat pulang shalat tarawih dari sebuah langgar. Gadis cantik berperawakan semampai rambut panjang hitam dan lurus dengan padanan kulit yang putih bersih bertemu dengannya di salah satu sudut rumah yang lampunya hanya lima watt. Senyumnya yang sumringah dan tutur kata yang ramah menghanyutkannya hingga sampai pada muara cinta. Pandangan Hamid masih tertuju pada jam dinding, namun pikirannya sebetulnya masih terpaku pada gadis itu. Maklumlah di pesantrennya memang hanya ada anak laki-laki, tidak ada anak perempuan. Saat ia masih bengong, tiba-tiba ada suara; “qum! qum! qum! qum yaa akhi!” (bangun! Bangun! Bangun!)

Hamid terperanjat dan langsung membereskan selimut dan kasur lipatnya. Ia segera menyusunnya di ujung deretan lemari teman-temannya tersebut. Tampak dua orang kakak pembina yang sudah berpakaian lengkap. Baju kemeja dengan sarung yang diberi ikat pinggang serta jas safari warna hitam menghiasi kewibawaan mereka. Mereka berdua sedang membangunkan adik-adik kelasnya, anggota asrama itu dengan cara menggoyang-goyangkan sajadahnya. Hamid harus membantu teman-temannya membangunkan adik-adik kelasnya. Suara lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan seorang qari di masjid ikut membangunkan santri-santri dimana mereka harus bergegas mengambil air wudhu dan pergi ke masjid. Hamid segera berpakaian shalat seperti dua orang temannya tadi dengan jas safarinya dan membantu membangunkan adik kelasnya.

Setelah shalat subuh, Hamid mengontrol adik-adiknya yang sedang membaca Al-Qur’an. Di tangan kanannya ada Al-Qur’an kecil. Sajadahnya yang berwarna merah berada di atas pundak sebelah kanan. Para santri duduk berhadap-hadapan sepanjang teras asrama. Ia memastikan satu demi satu di antara mereka, bahwa mereka harus membaca Al-Qur’an. Tampak di antara mereka ada yang mengantuk hingga dahinya menyentuh Qur’an kecil dengan cover berwarna coklat tua yang dipegangya. Hamid segera membangunkannya sambil berkata “la tan’as ya akhi! Iqra quraanak! (jangan ngantuk! Baca Al-Qur’anmu!). Hamid berhenti di ujung barisan lalu duduk dan membaca Al-Qur’annya.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar