Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Dzikir Sebuah Cincin Retak
Suka
Favorit
Bagikan
40. SCENE 40 INT, RUMAH CING INAH, KAMAR HAMID, PAGI

Hamid duduk di atas ranjang sambil termenung di dalam kamarnya. Ia menatap langit-langit rumah. Sesekali ia melihat cincin yang diberikan Murni yang sudah retak. Ia menghela nafas dalam-dalam dan berkata:

Hamid : Hm m m m. Susah sekali mencari pekerjaan di Jakarta. Sudah sebulan sejak aku mengirimkan surat ke Murni, tapi belum ada hasilnya. Ada yang memanggil, tapi bagian multi level marketing yang mana aku tidak berkompeten dalam hal itu.

(Hamid melihat ke cincin retak yang di jari kelingkingnya)

Dan sekarang ini, hubungan dengan Murni yang berjauhan terpisah ruang membuatku harap-harap cemas. Apakah ini berarti sperti cincin ini?... melingkar di jari tapi ujungnya retak, sehingga tidak benar-benar menyatu? Ah tidak! Tidak! Jangan sampai berpisah dengan dia! Bagaimanapun jangan sampai berpisah!

Baru saja Hamid selesai dengan kata-katanya terdengar ketukan pintu kamar;

Cing Inah: Mid, ada surat ni

Hamid : Eh, iya cing, tunggu sebentar

Hamid membuka pintu kamar dan menemui bibinya. Hamid mengambil surat itu sambil tersenyum dan berkata:

Hamid : Makasih ya cing, pucuk dicinta ulam pun tiba!

Cing Inah: Duh seneng amat yang dapet surat! Udah ya encing mu masak dulu (membalikkan badan menuju dapur)

Hamid segera masuk kamar dan membuka surat dari Murni. Ia membaca surat itu;

Assalamu’alaikum,

Apa kabar kak? Semoga segala sesuatunya berjalan sesuai yang kakak harapkan, amin

Kak terima kasih ya hadiahnya dan itu . . bonekanya lucuuu sekali. Murni senang sekali kak! Gemeeesss!. (Hamid tersenyum). Tapi yang kerudung biru itu Murni tidak bisa memakainya kak karena licin.

Oh ya kak, Murni ingin menyampaikan sesuatu kak, mohon maaf jika apa yang Murni sampaikan ini tidak berkenan di hati kakak. . . .

 Mulai sekarang Murni minta agar kakak tidak menghubungi Murni lagi!!! Deah, tetangga kakak yang kebetulan satu tempat kerja dengan Murni selalu bilang bahwa Kakak adalah miliknya dan Murni tidak berhak mengganggunya!. Maafkan Murni kak. Memang Murni akui, Murni tidak punya apa-apa, Murni hanya punya gubuk reot yang suatu saat akan roboh tertiup angin. Sekali lagi Murni mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Biarlah kak Hamid akan menjadi milik Deah untuk selama-lamanya!!!

Semoga kakak bahagia

Salam,

Murni

Mata Hamid terbelalak, mulutnya ternganga lebar. Ia seolah mengalami mimpi di siang bolong. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan cepat menuju keluar mencari tempat sepi di udara terbuka. Ia merebahkan dirinya di bawah sebatang pohon. Matanya berkaca-kaca, kedua tangannya mengepal dengan keras dan memukulkannya ke tanah. Hamid berkata sendiri:

“Murni, tidak mungkin aku bersama Deah, dia itu bukan orang lain, dia hanya sepupuku. Atau mungkin kamu kecewa dengan kata-kataku dalam surat itu, bahwa aku tidak punya kerjaan, dan ingin melepaskan diri dari kamu sehingga kamu mencari alasan agar kamu bisa lepas diri dari aku? Mengapa Mur? . . .” (suara Hamid gemetar, matanya masih berkaca-kaca)

Saat Hamid baru saja selesai berkata, tiba-tiba ada suara memanggil:

Cing Inah : Mid, Hamid!

Hamid : Iya cing, (menyeka air matanya dengan tangan dan bajunya. Lalu menghampiri bibinya yang memanggil dari samping rumah)

Cing inah : Tadi ada yang nyari kamu tuh si Ma’mun. Katanya kalo kamu nganggur, kamu jaga kantin aja di Bintaro Plaza. Besok siang, pulang kuliah kamu ditunggu di sana.

Hamid : Oh iya cing, boleh! boleh! (tersenyum). Makasih cing!

Cing inah: Nah matamu kok merah begitu, kamu nangis Mid?

Hamid : Ah enggak cing, tadi duduk di bawah pohon di kebon, eh kejatuhan semut ke mata. . .

Cing inah: kirain. . abis baca surat nangis. Yaudah kalo begitu encing mu ke dapur! (membalikan badannya menuju dapur)

Hamid : Iya cing, makasih.

Tanpa panjang lebar Hamid bergegas menuju kamarnya dan membuka laci lemari. Di dalamnya ada sebuah buku agenda warna coklat tua. Dibukanya agenda itu. Di situ ada sebuah kertas yang tertulis beberapa angka memanjang ke kanan. Di bawahnya ada nama “Murni, Restoran Pantai Tu Tong Ta, Brunei Darussalam”. Hamid melipatnya dengan rapi, lalu memasukkan ke kantong celana panjang yang dikenakannya. Ia keluar rumah dan mengambil sepedahnya yang ia parkir di teras rumah bibinya lalu mengayuh sepedahnya ke jalan.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar