Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tampak sebuah lumbung padi yang cukup besar. Dindingnya terbuat dari seng, beberapa bagian seng sudah terlihat berkarat. Di belakangnya hamparan sawah yang luas. Lumbung itu terlihat usang, sudah tidak digunakan lagi. Di depan lumbung, tampak Hamid duduk di atas motor astrea grand warna hitam sambil membuka kembali surat dari Murni. Sesekali ia menatap jauh ke arah tikungan jalan. Ya! Ada seseorang yang ia nanti-nantikan. Siapa lagi kalau bukan Murni.
Tidak lama kemudian tampak seorang gadis mengendarai sepeda biru tahun 98-an dengan santai dari arah tikungan jalan. Mata Hamid menatap tajam sambil mengernyitkan dahinya. Ia segera melipat surat yang dibawanya dan memasukkannya ke dalam amplop. Gadis itu semakin dekat. Sepeda warna biru, kaos panjang warna krem dan rok panjang batik warna hitam dengan hiasan bunga rampai membuatnya terlihat makin feminim. Rambut hitamnya yang panjang dan lurus terurai dengan indah pada bahunya. Sepeda itu segera masuk ke depan parkiran lumbung padi. Ia menyandarkan sepedanya tidak jauh dari motor Hamid sambil menoleh ke arah Hamid dan tersenyum. Hamid membalas senyumnya.
Murni : Dari tadi kak?
Hamid : Ah enggak, baru lima menit yang lalu (sambil beranjak dari duduknya. Di tangannya masih tergenggam surat dari Murni)
Murni : Lho itu seperti surat dari Murni ya kak? Kenapa dibawa-bawa?
Hamid : (tersenyum) Ya, ini memang surat dari kamu. Kaka sengaja mengajakmu bertemu di sini Mur. Ada hal penting yang akan kita bicarakan. Yuk di dalam saja, tidak enak di sini dilihat orang yang lewat.
Mereka masuk ke dalam lumbung padi. Hamid masuk terlebih dahulu, Murni berjalan di belakangnya. Pintu lumbung padi yang bagian depan dan belakangnya sangat terbuka lebar itu membiarkan angin sawah sepoi-sepoi masuk dan keluar dengan bebas.
Di dalam sudah ada dua buah kursi besi lipat yang sudah usang. Hamid meniup debu yang ada di salah satu kursi tersebut, lalu memberikannya pada Murni. Kemudian ia juga meniup debu yang ada di kursi yang lain dan langsung ia duduki. Saat ia baru saja duduk, ia langsung berkata:
Hamid : Jadi, apa benar kamu mau pergi ke Brunei Mur?
Murni : Iya kak (sambil menunduk)
Hamid : (mendesah, diam beberapa saat sambil membolak balik amplop Murni yang berisi surat darinya). Kamu sudah yakin? (mengernyitkan dahinya)
Murni : Insya Allah Murni sudah yakin Kak . . .
Hamid : Murni tega meninggalkan Kakak?? (menajamkan alisnya)
Murni : (Tersenyum)Lho . . . yang meninggalkan kakak itu, siapa kak?
Murni ke sana kan untuk mencari kegiatan aja, sedangkan di sini Murni sudah lulus sekolah, masak mau nganggur?
Hamid : Ya kan bisa melanjutkan sekolah dulu ke tingkat yang lebih tinggi?
Murni : Inginnya sih begitu kak, tapi . . . (pandangannya perlahan keluar lumbung menatap hamparan sawah yang luas, menghela nafas). Kakak tahu sendiri, aku bukanlah seperti kebanyakan orang yang hidup serba berkecukupan . . . aku harus merubah nasibku kak . . (menajamkan alisnya)
Hamid : (Menghela nafas) Seandainya saja Kakak sudah bekerja . . . (terdiam sambil menatap jauh ke arah hamparan sawah)
Murni : Kenapa kak?
Hamid : Kalau Kakak sudah bekerja tentu tidak begini ceritanya Mur. Pasti Murni sudah Kakak bawa pergi. Atau meneruskan sekolah dengan bantuan Kakak. Nah apa mungkin kakak akan meneruskan kuliah sambil bekerja sehingga nanti kakak bisa mendapatkan uang dan kakak bisa mensupport kamu Mur. Tapi ya kendalanya kakak harus melanjutkan pengabdian dulu dan di sana itu kan memang tulus untuk pengabdian, artinya bukan bekerja. Mungkin nanti setelah pengabdian sekitar setengah tahun lagi, insya Allah kakak akan bisa segera mencari kerja Mur
Murni : Sudahlah Kak, tak ada gunanya berandai-andai. Mungkin sekarang memang bukan saatnya kita bersama Kak. Anggap saja perpisahan sementara ini sebagai proses pematangan diri kita masing-masing . . .
Hamid : (tersenyum) wah. . . ternyata cara berpikirmu lebih bagus daripada Kakak Mur! (menggeleng-gelengkan kepalanya)
Murni : Ah, mungkin saya kebetulan lagi bener aja Kak! hi hi hi!
Oh ya Kak, hari sudah mulai sore, Murni harus membantu ibu memasak . . .
Hamid : Hm m m m h h Mengapa Kakak terasa berat melepasmu ya Mur??
Kita memang sudah dua tahun menjalin hubungan ini, tapi kita kan jarang sekali bertemu muka. Paling hanya setahun dua kali. Itu artiya baru empat kali kita bertemu yang sesungguhnya.
Murni : Ahaai sesungguhnya... hi hi hi!.. Kakak bisa aja deh... Emang kalau ketemu di jalan kalau Murni mau ke warung itu bukan sungguhan ya?!
Hamid : Ya sungguhan sih sungguhan.... tapi yaaah...... cuma sebentar, kurang puas rasanya Mur! (menundukkan wajah sambil senyum)
Murni : Ya ayo bawa nih makanya ha ha ha!.....
Hamid : Ya itu dia tadi Mur yang kakak bilang, kalau kakak sudah ada pekerjaan, tentu bukan seperti ini kisahnya, toh?
Murni : Toooh... hi hi hi!
Hamid : Yeee... nih anak malah becanda. Orang lagi beduka dan bingung begini...
Murni : Iyaaa Murni paham kok kak (sambil tersenyum)
Hamid : Waduh senyumnya.... bikin ge er aja nih. Lihat tuh sebelah sana mentari ikut tersenyum. Itu kayak lagu Tommy J Pisa Mur, dengan judul Senja Nan Merah, Lagunya begini nih...”Mentari pun turut tersenyum... di saat kau lempar senyumu padaku....
Murni: Diiih... aneh tuh... apa iya, senyum kok di lempar, bola kali ah yang dilempar ha ha ha!
Hamid : Bener nih Mur kakak berat banget melepas kamu (menatap Murni dan segera melipat kedua bibirnya ke dalam sambil menajamkan alisnya)
Murni : (Terdiam membisu dan menunduk seperti sedang memikirkan sesuatu. Suasana hening beberapa saat. Tidak ada suara kecuali hembusan angin sawah yang menembus dinding-dinding lumbung padi)
Hamid : (melanjutkan kata-katanya) Apa kamu sudah siap tinggal di sana, sama siapa di sana, bagaimana lingkungan di sana. Dan bagaimana di sana kalau ada cowok yang ganteng, gagah, kaya raya dan dia suka sama kamu Mur. Kamu tuh cantik dan baik. Sementara aku ini masih belum terlihat jelas jalanku. Di pondok aja baru lulus belum kuliah...belum bekerja, dan....
Murni : Nah.. Nah... Nah... Kalau kakak berpikiran seperti itu bagaimana hubungan kita akan baik, kak. Kakak lho yang berkata seperti itu, bukan Murni. Bagaimana kalo kejadiannya nanti seperti yang kakak bilang, hayoooo...
Hamid : Astaghfirullah.... ih iya ya, ngeri juga sih...
Murni : Kalau menurut Murni, kita jalani saja dulu kak masing-masing. Hindari dulu keraguan yang ada. Itu kan bagaimana kakak saja yang mengatur diri kakak. Kalau kakak diliputi kecemasan seperti itu, nanti cita-cita kakak bisa terganggu karena belajar dan berkegiatan juga tidak akan maksimal.
Hamid : Ia Mur, mohon maaf kalau kata-kata kakak ini mungkin berlebihan. Semua itu karena kakak terlalu khawatir akan dirimu
Murni : Tenang aja kak, Murni tidak akan melupakan kakak kok. Kakak juga orang yang Murni kenal dengan baik. Murni akan ingat selalu dengan kebaikan kakak yang kakak selama ini berikan kepada Murni. Kalau memang kita berjodoh, pasti kita kan dipertemukan kembali kak
Hamid : Menganguk-angguk perlahan, kemudian berucap : “Amin...”
Keduanya menunduk dan terdiam beberapa saat. Perlahan keduanya saling bertatapan mata seolah sama-sama berat berpisah. Hamid memegang tangan kanan Murni lalu dipegangya erat-erat, dan berkata:
Hamid : Murni. . . jangan lupakan kakak ya . . .(nada bicaranya seperti tersendat menahan tangis, matanya berkaca-kaca dan berusaha menahan tangis)
Murni : (tersenyum, matanya berkaca kaca, namun ia juga berusaha menahan tangisnya)
Tidak kak, Murni tidak akan melupakan Kakak. . . Oh ya, Murni ada sesuatu untuk Kakak. Sesuatu itu bukanlah barang berharga, tapi itu benda kesayangan Murni.
Lagu pengiring untuk adegan di bawah: Senja Nan Merah, Tommy J Pisa
Senja itu tak pernah ku lupa
Dikala aku sedang merajut cinta
Ketika mentari merah mewarnai awan
Disanalah hatiku lalu terlena
Mentaripun turut tersenyum
Di saat kau lemparkan senyummu padaku
Adakah rasa rindu di balik tirai hatimu
Pintu hatiku terbuka untukmu
Masih ingatkah engkau dikala mentari mulai menepi
Di hamparan rumput nan luas menghijau
Kau genggam erat tanganku kau peluk diriku
Masih ingatkah engkau di kala mentari mulai menepi
Di hamparan rumput nan luas menghijau
Kau genggam erat tanganku kau peluk diriku
Adegan:
Murni melepas sesuatu dari jari kelingking di tangan kirinya. Benda itu adalah cincin tembaga yang dulu pernah disebut-sebutnya saat pertama kali ia kirim surat ke Hamid sewaktu Hamid di pondok. Perlahan ia raih tangan kiri Hamid dan memasukkannya ke jari kelingking Hamid dan menatap Hamid sambil tersenyum. Hamid membalas senyumnya dengan mata yang masih berkaca-kaca sambil menahan tangis.
Murni langsung bergegas keluar lumbung menuju sepedanya. Hamid menatap tak berkedip. Ia mengikuti langkah Murni perlahan. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Bibirnya terkatup rapat. Murni menaiki sepedahnya, lalu mengayuhnya dengan segera menuju jalan utama. Murni perlahan makin jauh, tangannya terlihat menyeka air mata. Rambutnya yang hitam dan panjang melambai tertiup angin senja. Ia segera lenyap di tikungan jalan. Hamid berdiri mematung di depan lumbung. Pandangannya perlahan tertuju pada cincin yang melingkar di jari manisnya yang sebelah kiri. Tangan kanannya perlahan memegang cincin itu dengan gemetar. Satu tetes air mata tepat jatuh di atas cincin yang akan ia pegang. Hamid memegang dan memutar-mutarnya. Lagi . . . air matanya menetes di atas cincin tersebut.
(BCU: Dari cincin naik ke dada, leher, hingga wajah Hamid dengan air mata yang berlinang). Hamid menyeka air matanya, menghela nafas dalam-dalam dan langsung menuju motor bututnya. Hamid segera menghidupkan mesin motornya dan melaju menuju jalan raya untuk pulang ke rumah bibinya.
(Lumbung padi tempat Hamid dan Murni bertemu)
(Lumbung padi tampak dari luar)