Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
153. INT. DI KAMAR UNIT APARTEMEN RANI — MALAM
Pemain: Rani, Adipati
Walau tak perlu berdandan mewah, tapi setidaknya Rani ingin tampil lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
Tepat di depan cermin riasnya, Rani tak berhenti memandangi wajah dan juga penampilannya selama berjam-jam. Selalu ada saja yang menurutnya harus diperbaiki. Dress hitam sebatas lutut yang menjadi pakaian terbaiknya pun masih kerap memberinya rasa tak nyaman. Karena grogi, Rani kesulitan mempertahankan kepercayaan diri.
Adipati memasuki apartemennya tanpa suara. Rani melihatnya ketika sudah berada di kamar dan berjalan di belakangnya dari pantulan cermin. Dia berhenti di belakang Rani seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Tawa Rani mengudara lirih mendengarnya.
Pria itu mesem. Diulurkan satu tangannya ke arah Rani yang dengan senang hati meraihnya. Dia menuntun Rani yang harus berjalan berhati-hati menggunakan sepatu hak tinggi sampai ke dekapannya. Kedua tangannya melingkari pinggang Rani dengan rapat, sementara Rani memberi jarak dengan meletakkan kedua tangannya di bahu sang kekasih. Beberapa detik Adipati menyelami mata Rani dengan mata yang berkilatan. Rani terpaku, tapi juga tersipu.
Adipati mesem, lalu mengangguk satu kali.
Saat Adipati mendekatkan wajahnya dengan lirikan mata yang mengincar bibir, segera Rani menahannya. Ia menutupi mulut pria itu dengan sentuhan dari dua jari.
Kekhawatiran Rani kali ini disambut tawa geli oleh sang kekasih. Usahanya mengumpat suara, membuat kedua pundaknya berguncang. Adipati pun lantas menundukkan kepala di bahu Rani.
Rani pun tergelak di saat yang bersamaan.
CUT TO.
154. INT. RUANG MAKAN UNIT APARTEMEN ADIPATI — MALAM
Pemain: Rani, Adipati, Ibunya Adipati, Ara
Adipati membiarkan tangannya digandeng Rani sampai masuk ke apartemennya. Mereka disambut ceria oleh sang putri dengan wajah berseri-seri. Di meja makan, semua hidangan dengan menu ala western telah tersaji. Lantaran tak ingin membuat Rani dan ibunya kerepotan, Adipati memutuskan untuk memesan semua makanan dari salah satu restoran.
Di detik kelima pada pukul tujuh malam, mereka berempat telah menduduki kursi. Rani merasakan sedikit lebih santai, sebab ia melihat ibu Adipati tidak sekaku biasanya. Wanita itu tampak lebih berseri dan berkenan membuka diri untuk bercengkerama bersama cucunya di depan Rani. Sambil menyantap menu steik yang dipadu olahan spageti, obrolan hangat seputar perkembangan Ara sesekali mencairkan suasana. Sungguh ia berharap akan ada kabar baik seusai makan malam ini berakhir.
Ibu Adipati tampaknya akan memulai perbincangan serius ketika semua telah menghabiskan makanan, dan Rani baru mengelap bibirnya dengan selembar kain.
Dialihkan pandangannya dari meja yang kini dihiasi piring kosong, pada Rani yang menempati kursi di hadapannya.
Sementara Ara sudah tak betah duduk manis untuk menghormati makanan, gadis itu memilih bermain di depan televisi usai menghabiskan santapan malamnya. Rani yang fokus pada sang ibu, bersama Adipati pun mendadak tegang.
Rani hanya bergeming sambil berpikir maksud perkataan Ibu.
Rani masih sibuk menerka-nerka.
Namun ibunya kembali membacakan syarat berikutnya dengan tetap menatap Rani lurus-lurus, tanpa mengulas senyum.
Mendadak Rani terkejut. Ia merasa ada yang berdenyut-denyut nyeri di balik dada. Kesakitan yang telah lama ia pendam dengan susah payah, kini seakan dibangkitkan oleh pengajuan syarat sang calon mertua.
Menyadari perasaan Rani yang tengah tersinggung, Adipati menatapnya cemas. Diam-diam tangannya menyelinap menggenggam tangan Rani yang disembunyikan di balik meja.
Kini dua pasang mata yang sempat bersitegang tersebut beralih menatapnya.
Rani mengejutkan Adipati dan ibunya dengan keputusan tersebut.
Rani mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya bisa ia embuskan dengan tenang.
Rani berupaya tetap duduk tegak meski ia merasakan dadanya mulai sesak. Tak segan ia mengungkap semua apa yang ia pikirkan saat ini.
Rani tak ingin gentar meski takut. Ia kira bukan lagi saatnya air mata yang berbicara. Sudah saatnya luka di dadanya bersuara dalam bentuk kata.
Rani melemahkan pandangan, menembus piring-piring kotor di depannya dengan angan-angan kosong.
Terang-terangan Rani menarik napas besar dari mulutnya sebagai pencegahan tangis, seraya mengembalikan arah matanya pada ibu Adipati yang tampak termangu-mangu mengawasinya.
Sigap berdiri, suara dengik dari kursi Rani yang bergeser ketika dirinya bangkit pun sontak menegur keterdiaman Adipati dan ibunya.
Rani membungkukkan punggung memberikan salam perpisahan pada ibunya Adipati. Lalu tanpa ingin melihat sang kekasih lantaran ia sudah tidak sanggup lagi menahan kesakitan dalam dada, Rani memilih langsung meninggalkan mereka.
Rani tidak ingin berbalik. Ia raih tasnya di sofa dan tergesa-gesa pergi. Untung saja Ara tidak sampai melihatnya, karena gadis itu sibuk dengan sejumlah mainannya.
CUT TO.