Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Tali Pati Rani
Suka
Favorit
Bagikan
39. TPR skrip #39

120. EXT. DEPAN UNIT APARTEMEN RANI — MALAM

Pemain: Rani, Adipati

Rani tak bisa berhenti memikirkan Adipati yang benar-benar bertingkah di luar dugaan setelah satu tahun lebih mereka tak bertemu. Rani terus mengeluarkan umpatan dalam perjalanan menuju unit apartemennya. Melewati lorong koridor dengan senyuman geli.


RANI
Dasar pria aneh! Bisa-bisanya aku punya anak dari dia!
(mencetus tak habis pikir sambil satu telunjuk tangannya mulai menekan kode untuk membuka kunci pintu)
Aakh, ada-ada saja. Takdir macam apa ini?

ADIPATI
(menyahut dari belakang Rani)
Takdir yang indah, kan?


Rani langsung menoleh, dan betapa terkejutnya ia melihat Adipati yang sedang dipikirkannya sudah ada berdiri di depan unitnya pula!


RANI
(memekik histeris)
Aargh!
Kamu?

ADIPATI
(meringis sambil menyeringai)
Ya, ini aku, yang selalu kamu pikirkan!

RANI
Ya ampun! 
(mencibir sambil celingukan ke kanan dan kiri)
Kenapa kamu ngikutin aku?

ADIPATI
Mengikutimu? Tapi aku tinggal di sini!

RANI
A-apa?


Tiba-tiba berputar arah, Adipati semakin membuat mata Rani membeliak dengan menghampiri pintu unit di depan unit Rani. Adipati menekan beberapa nomor di gagang pintu digital itu—yang dilengkapi dengan kunci berkode digital, sama seperti yang terpasang di pintu apartemen Rani. Dalam hitungan detik, pintu kamar itu otomatis terbuka.

CUT TO.


121. EXT. DEPAN UNIT APARTEMEN ADIPATI — MALAM

Pemain: Rani, Adipati

Dalam keadaan shock dan penasaran, Rani mendekat, menyerobot keberadaan Adipati. Secara lancang dirinya mendorong pintu unit apartemen yang memang sebelumnya tidak berpenghuni itu, hingga terbuka lebar. Matanya menjelajahi seisi ruangan dengan desain dan perabotan yang nyaris sama persis dengan kamarnya.


Seakan tahu apa yang Rani cari, Adipati menceletuk. 

ADIPATI
Ara nggak ada di sini.


Rani seketika kecewa.


ADIPATI
Kamu mau masuk dan minum dulu?

RANI
(menolak dengan galak)
Enggak!

CUT TO.


122. EXT. DEPAN UNIT APARTEMEN RANI — MALAM

Pemain: Rani, Adipati

Cepat-cepat Rani masuk ke unit apartemennya sebelum Adipati kembali mendesaknya untuk sesuatu yang sebenarnya Rani tidak siap menghadapinya.


RANI
(mengerutkan dahi)
Astaga, dia sampai menyewa apartemen di sini juga! Sejak kapan dia menguntitku?


Rani mengganti sepatunya dengan sandal di sebuah rak kecil di dekat pintu. Belum sempat ia melangkah, bel pintu unitnya berbunyi dua kali. Rani gegas kembali dan mengecek dengan video interkom, beserta monitor tujuh inci yang terpasang di balik pintu. Terngaga mulutnya mendapati Adipati melambai-lambaikan tangan di depan kamera. 


RANI
Dia lagi, mau apa, sih?


Tak bisa abai, Rani pun membiarkan pintunya terbuka.

RANI
Ada apa?

ADIPATI
Aku mau bikin kopi, tapi aku lupa beli gula.


Rani pun membuka pintunya lebar-lebar, kemudian beranjak ke meja dapur. Tak tanggung-tanggung, satu toples persediaan gula diberikannya langsung pada Adipati.


RANI
Ini, ambillah. 


Rani menyodorkan toples ke dada pria itu, dan Adipati langsung menangkapnya sebelum benda itu merosot.


ADIPATI
(tersenyum lebar)
Aku belum selesai bicara. Karena ternyata ... kopinya juga belum aku beli! 


Mencoba bersabar, Rani kembali ke dapur dan Adipati malah menyusulnya tanpa izin.

CUT TO.


123. INT. DI DAPUR DI UNIT APARTEMEN RANI — MALAM

Pemain: Rani, Adipati

Rani tak terlalu peduli saat Adipati berani masuk tanpa izin dan mengekorinya hingga ke dapur.


ADIPATI
Ini hari pertamaku menempati apartemen baruku di sini. Sebagai tetangga baru—

RANI
(menyela)
Bawa ini juga!


Rani menyodorkan setoples kopi ke dada Adipati yang sigap menangkapnya dengan satu tangan. Kini pria itu memeluk dua toples di dadanya.


ADIPATI
(berbicara sungkan)
Ngg? Aku juga belum punya panci untuk masak airnya.


Rani terpegun menatap gusar pria itu di hadapannya. Sekarang jelas sudah apa tujuannya datang bertamu. Rani pun akhirnya mengalah. Rani mengambil kembali kedua toples di dekapan Adipati, beranjak ke dapur untuk memasak air.


Sambil meracik kopi dan gula di sebuah cangkir, sesekali Rani mencuri pandang. Adipati tampak berjalan-jalan menjelajahi apartemen Rani, seperti petugas yang sedang memeriksa setiap benda apa pun yang menarik perhatian mata untuk diselidiki.


ADIPATI
Jadi, ini tempat persembunyian kamu selama ini?


Rani mendengkus dengan kedua bola mata yang naik.


ADIPATI
Kalau kamu suka, sekarang juga ini menjadi milik kamu!


Rani mengernyit beralih pandang pada pria itu. 

RANI
Jangan bilang kalau kamu ...?

ADIPATI
Ya. Berhari-hari aku mencari keberadaan kamu, ternyata kamu di sini aja. Padahal beberapa bulan yang lalu aku sempat berkunjung ke sini untuk melakukan peninjauan, bisa-bisanya kita nggak ketemu.
(tersenyum simpul)


Rani terkejut. Rani tidak pernah tahu jika apartemen yang ditempatinya selama satu tahun ini adalah milik Adipati. Ia masih tidak bisa percaya ini!

RANI
Kamu ... benar-benar pemilik semua ini?


Melihat Rani meragukannya, Adipati memaku pandangannya seraya berkacak pinggang. 

ADIPATI
Rani, apa kamu pikir aku akan selamanya menjadi lelaki nggak berguna yang hanya menumpang hidup pada ibuku?


Rani memberikan cibiran.


ADIPATI
Dengar, ya! Hati dan harapanku memang hancur ketika hari itu aku akan menjemput pengantinku, tapi dia malah memutuskan akan menikah dengan pria lain. 


Adipati memulai ceritanya, tapi wanita itu hanya cemberut karena tersinggung.

ADIPATI
Nggak hanya pada ibuku, aku juga sudah berjaji akan membawamu pulang pada putri kita. Tapi apa yang aku bawa? Kosong. Aku malu mengingat malam itu terus menangis di dalam kamar. Aku selalu menjadi pecundang setiap kali dia datang dan membawamu pergi dariku. Aku lebih nggak pengem melihat kamu menangis.


Usai menuang air mendidih ke dalam cangkir, pelan-pelan Rani mengaduknya sambil terus memasang pendengaran.


ADIPATI
Sampai suatu hari, perkebunan milik Ibu nggak mau berkembang dan akhirnya semua tanaman stroberinya mati. Aku semakin terpuruk. Tapi melihat putri kita yang selalu tersenyum, membuatku berpikir keras untuk bangkit. Setelah kepergianmu, aku nggak ingin senyuman anak kita menjadi tangis terus menerus kalau dia melihatku putus asa.


Rani tak dapat menahan kepalanya untuk tidak melihat wajah pria itu. Kedua tangan Adipati dimasukkan ke dalam dua saku celananya, sedangkan matanya terangkat menatap langit-langit kamar, seolah membayangkan kembali masa-masa sulitnya.


ADIPATI
Aku pun memberanikan diri menjual kebun Ibu kepada para pengusaha besar di Jakarta. Dari situlah aku bertemu orang baik, dan mengajakku memulai bisnis properti ini. Memang nggak mudah, tapi aku yakin aku bisa saat itu. Dan walaupun aku nggak bisa menyelesaikan kuliahku, aku bisa mengandalkan ilmu interior yang aku tahu untuk meyakinkan para investor dan juga mereka yang telah mendukungku. Hanya dalam hitungan tahun, Tuhan memberiku hasil semua ini.
Inilah alasan kenapa aku nggak punya waktu mikirin perempuan, selain karena aku juga nggak bisa ngelupain kamu. Dan seperti sudah ditakdirkan, kamu datang di saat aku sudah menata semuanya.


Rani menatap Adipati takjub dan terharu.


ADIPATI
Rani!

RANI
Hm?

ADIPATI
Apakah ... semua ini nggak bikin kamu tertarik untuk menjadi istriku?

RANI
Aku bukan wanita matrealistis!

ADIPATI
Tapi seenggaknya ini bisa kamu jadikan pertimbangan, kan?


Rani tak mau pusing menanggapinya. Adipati kembali mengelilingi apartemen Rani. Di depan meja kerjanya, Adipati bertahan lama di sana.

ADIPATI
Aah, foto anak kita kamu pajang di sini!
(beseru riang)
Kenapa nggak ada fotoku? Oh? Resep ramuan ini? Apa kamu masih meminumnya?


Rani rasa Adipati tidak membutuhkan jawaban darinya.

RANI
Silakan duduk!
(meminta dengan ekspresi datar ketika dirinya mengantar kopi yang telah jadi ke meja makan)


Dengan wajah yang berubah berseri-seri, Adipati mendatanginya tanpa malu. Dia langsung menduduki salah satu kursi di antara kelima kursi yang lain.


ADIPATI
Eh, mana kopi kamu?

RANI
Kalau udah, kamu bisa pergi!


Rani baru akan beranjak, tetapi pria itu menarik tangannya.

ADIPATI
Rani!


Pandangan Rani sontak kembali terpusat padanya.


ADIPATI
Aku bisa mengabaikan kamu, membuang perasaanku, dan juga mencari penggantimu. Sama seperti yang kamu lakukan padaku. Selama ini pun, aku nggak pernah berharap lebih ke kamu. Tapi aku nggak mengerti kenapa Tuhan seakan menahanku di satu tempat, di mana aku merasa nggak diberi pilihan untuk melakukan apa-apa. Ini udah sering terjadi, sudah lama, sejak kita pertama kali bertemu.
(menahan napas sejenak dan mengembuskannya)
Aku baru merasa bisa mengendalikan diriku hanya saat kamu datang atau kembali padaku. Dan yang selalu menjadi pilihanku, adalah kamu. Semua aku lakukan karena kamu, dan untuk kamu. Apakah ... kamu bisa menghentikan semua itu? Kalau kamu mampu, aku nggak keberatan harus merelakan kamu.


Rani merenungkan ucapan Adipati.


RANI
Aku akan mencobanya.
(mengentak tangannya agar terlepas dari genggaman Adipati dan berlalu)

ADIPATI
Kalau kamu nggak bisa juga nggak apa-apa, aku sama sekali nggak keberatan kamu menjadi alasanku untuk semua, atau bahkan tujuan hidupku!


Rani tidak peduli. Ia akan memberi Adipati waktu untuk menikmati minuman hitamnya dengan tenang di apartemennya. Sementara itu, Rani sudah tidak sabar untuk membuka surat-surat yang Ara tulis untuknya. 

CUT TO.


124. INT. DI SUDUT RUANG UNIT APARTEMEN RANI — MALAM

Pemain: Rani, Adipati

Di depan meja komputernya di sudut ruang, Rani memulai membuka satu amplop yang berhias pita. Ketia ia ambil dan buka isinya, tulisan tangan berukuran agak besar dan dipenuhi jeda pun menghiasi selembar kertas.


Rani cekikikan sendiri. 

RANI
Dia udah bisa membaca! Tulisannya juga bagus banget untuk anak seusianya.


Rani terus membaca surat-surat yang Ara tulis untuk mamanya itu. Ia terhanyut dengan kata-kata yang Ara sampaikan di sana.


Adipati tiba-tiba sudah berdiri di belakang kursi Rani, mengagetkannya. 

ADIPATI
Apa yang Ara tulis? 
Kayaknya seru banget!


Rani menangkup surat itu ke dada, menyembunyikannya. 

RANI
Ini untukku!

ADIPATI
Ah iya, baiklah. Aku nggak akan melihatnya! Lain kali aku nggak akan mendiktenya lagi.


Rani meloncat dari kursinya untuk bangkit mengahadapi Adipati.

RANI
Apa?

ADIPATI
Kenapa kamu terkejut begitu?


Rani cemberut dengan bola mata berputar-putar tak beralasan menyadari kalau mungkin saja yang ditulis Ara dalam surat-surat itu sudah melalui pengajaran dan pemeriksaan Adipati.


ADIPATI
Aakh, panas sekali di sini!


Adipati mengerang sembari melepas jas dan dua kancing kemejanya di bagian atas.


RANI
Pati! Jaga sikapmu di kamar seorang gadis, ya! Membuka pakaian seperti itu, bener-bener nggak sopan!

ADIPATI
Oh? Aku, kan bukannya mau telanjang! Lagi pula ... memangnya kamu masih gadis?


Rani tersentak begitu Adipati mengingatkannya. Sejurus kemudian, ia merasakan mukanya dibakar malu.


ADIPATI
(berujar sambil melirik nakal)
Omong-omong, senang mendengarmu memanggilku seperti itu lagi. Itu baru Rani-ku!


Takut Adipati akan melihat rona merah di pipinya, Rani segera menggiring pria itu menuju pintu utama.


RANI
Keluarlah! Kamu cuma ingin gangguin aku aja!

ADIPATI
Aku masih belum minum kopiku!

RANI
Nggak peduli! Salah sendiri!

ADIPATI
Kalau begitu, kamu harus menggantinya dengan makan malam nanti!


RANI
Nggak mau!

ADIPATI
Gimana dengan menikah?

RANI
Kembalilah ke tempatmu, aku mau mandi!


Cepat-cepat Rani menutup pintunya sebelum Adipati melakukan perlawanan dan kembali memasuki kamarnya. 

RANI
Ya ampun, aku bener-bener nggak percaya ini!

CUT TO.


Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar