139. DI DALAM KAMAR UNIT APARTEMEN ADIPATI — PAGI
Pemain: Rani, Adipati
Sesuatu merayap di permukaan wajah Rani, diam-diam tanpa suara mengusik tidurnya yang lelap. Samar-samar ia merasa geli, lalu tak tahan untuk membuka mata. Rasa kantuk yang tersisa membuatnya memerlukan waktu untuk memperjelas penglihatan. Ketika kesadarannya berangsur kembali, ia terkesiap mendapati Adipati mengawasinya dengan satu tangan menyentuh pipinya.
RANI
Pati?
Rani baru akan mengangkat kepala, tapi pria itu menahan pundaknya, memintanya untuk tetap berbaring.
ADIPATI
(mendesis)
Sst!!
Meski heran, Rani kembali menempelkan sebelah telinganya di bantal. Kini mereka saling terbujur miring berhadapan.
ADIPATI
Aku udah lama menantikan pertemuan kita. Apa nggak bisa kita singkirin keegoisan, dan berhenti bersikap seperti anak kecil, untuk berpelukan sebentar aja? Aku sangat rindu kamu, Rani!
Napas Rani tertahan tiba-tiba. Bibir berusaha menolak, akan tetapi kerinduan dalam hatinya memberontak.
RANI
Ya!
Seolah mendapat hadiah tak terkira, mata Adipati berbinar. Tanpa menunda, Adipati langsung mengangkat kepala untuk menggeser badannya mendekat ke raga Rani yang hanya berjarak empat jengkal. Namun di luar dugaan, Adipati yang meminta sebuah pelukan malah bertindak lebih dari itu. Dia menekankan ciuman di bibir Rani yang sontak membeliakkan mata.
Rani tercengang-cengang sampai Adipati membuka mulut untuk mengulum. Tak bisa menahan diri dari kerinduan dan gairah, Rani pun membalas apa yang dilakukan Adipati. Mereka sibuk saling mencecap bibir selama beberapa saat hingga hampir terbuai dan melakukan hal yang lebih dari itu.
RANI
(berbisik sambil mengontrol napas yang tak beraturan.
Ini bahaya, Pati!
ADIPATI
(memberikan saran sambil menempelkan keningnya ke kening Rani)
Kalau begitu, ayo kita menikah saja!
Rani menggeleng manja.
ADIPATI
Katakan, apa lagi yang kamu ingin aku lakukan! Apa kamu ingin menunggu sampai kita memberikan adik untuk Ara?
Senyuman Rani spontan tersungging karena pemikiran konyol Adipati itu.
RANI
Pati, aku masih belum ingin menikah saat ini.
ADIPATI
(meyakinkan)
Kenapa? Kita bisa berkencan atau bertunangan dulu kalau kamu merasa pernikahan masih terlalu cepat!
Satu tangan Rani terangkat memegang rahang pria itu sekalian untuk dijauhkan.
RANI
Ini bukan hanya tentang kita. Banyak lain hal yang harus kita pikirkan. Dan aku merasa belum siap dengan salah satunya.
Seolah mencerna dan mencari-cari jawabannya, kedua mata Adipati menjelajah ke dalam mata Rani.
RANI
Demam kamu udah reda. Makanlah supaya tenagamu kembali pulih!
(menggulingkan tubuh Adipati yang membungkuk di atasnya)
CUT TO.
140. INT. DI DAPUR UNIT APARTEMEN ADIPATI — PAGI
Pemain: Rani, Adipati
Rani bergegas ke dapur dan Adipati menyusulnya saat Rani ingin menyibukkan diri di sana. Bahan-bahan yang Rani keluarkan dari lemari es pun dirampas dari tangannya, lalu digeletakkan di meja. Rani bersyukur Adipati sudah bisa bangun dan berjalan, akan tetapi dia terlihat gerah dan meradang.
RANI
(menatap heran)
Pati, aku akan masak buat kamu!
ADIPATI
Tinggalin semua itu! Aku ingin kamu perhatikan aku!
Rani masih kebingungan sampai pria itu menggenggam kedua lengan Rani untuk dihadapkan padanya.
ADIPATI
Dengar ini baik-baik, karena aku nggak akan memintanya lagi.
(meminta serius)
Rani, menikahlah denganku!!
RANI
(menceletuk dengan ragu)
Kamu seorang pemimpin yang punya tanggung jawab besar saat ini. Sangat penting memperhatikan kesehatanmu dulu!
Adipati mendengkus seraya menurunkan kedua tangannya.
ADIPATI
Selama ada istri seperti kamu, aku akan baik-baik aja!
RANI
Pati, aku nggak bisa bersama kamu terus. Banyak pekerjaan yang aku tinggalkan karena merawat kamu!
ADIPATI
Bagaimana supaya kamu bisa bersamaku terus? Aku rela sakit asal kamu bisa selalu ada untuk menjagaku!
Pemikiran konyol Adipati itu membuat Rani tak tahan ingin tertawa.
RANI
Apaan sih kamu, tuh!
ADIPATI
Rani, bersedialah menjadi istriku! Mau, ya?
Rani menggeleng. Sudah ia duga, pria itu akan terus mengulangnya meski dia sendiri mengecam tidak akan memintanya lagi.
ADIPATI
Kita udah saling mengakui cinta, apa lagi yang masih kamu ragukan? Bilang sama aku, kita akan mencari jalan keluarnya sama-sama!
RANI
Kapan aku mengakuinya?
ADIPATI
Oooh! Lalu, siapa semalam yang mengatakan dirinya sanggup kehilangan seribu Wira?
(menyingir mengejutkan Rani)
Tapi aku nggak rela walau hidup jauh darimu, Pati!
(menyambung Adipati sengaja mengecilkan suara dan menirukan gaya bicara Rani disertai ekspresi mendramatis)
RANI
(memekik)
Pati!!
(menahan malu)
Jadi rupanya kamu nggak benar-benar tidur semalam?!
Adipati mentertawakannya, dan itu membuat Rani sewot.
ADIPATI
Kamu nggak perlu melakukan apa-apa. Aku hanya ingin kamu tinggal jawab 'iya' untuk menikah denganku!
(mengecup bibir Rani yang masih merengut secara kilat)
Lalu kita bisa segera menikah!
Tercengang-cengang akibat perbuatan nakalnya, Rani jadi naik darah.
RANI
Aku rasa kamu udah gila!
ADIPATI
Bukannya tipe cowok seperti ini yang kamu suka, huh?
RANI
(berteriak)
Jangan seenaknya menciumku!
ADIPATI
Oh? Eh, eh!
RANI
Jangan mentang-mentang karena aku udah nggak bersuami, kamu bisa seenaknya ke aku!
Rani lantas menarik satu kursi dari bawah meja makan, kemudian mendudukinya dengan kesal. Rani memutuskan untuk merajuk dan mogok bicara pada pria itu. Sebetulnya bukan Rani tidak suka cara Adipati melakukannya, seperti menciumnya tiba-tiba. Hanya karena hal itu membuat Rani malu, Rani pun merasa harus menguatkan penjagaan di tengah pertahanannya menolak lamaran pria itu.
Namun bukannya takut atau jera, Adipati membalikkan keadaan dengan membuat sebuah kejutan lagi. Setelah terlihat berlalu sesaat ke arah ranjang, Adipati kembali. Kedua tangannya terulur melewati pundak Rani. Di atas meja makan, di hadapan Rani, dia mempersembahkan sepasang cincin emas polos dari kotak perhiasaan berbahan beludru hitam. Hanya butuh beberapa detik saja bagi Rani bisa mengenali benda apa itu. Perhiasan yang pernah ia temukan di laci kamar Adipati di Bandung.
ADIPATI
Ini kubeli saat kamu masih tinggal di LA dan masih aku simpan sampai saat ini.
Adipati menjawab rasa penasaran Rani dulu yang sontak memberikan efek haru sekaligus menyanjung.
ADIPATI
Kita menikah, ya? Atau kamu mau model yang lebih baru? Aku bisa membelikannya lagi untuk kamu.
(berkata dengan sangat lembut di dekat telinga Rani)
Kalau sekali lagi kamu menolaknya, aku akan membuang benda ini!
RANI
Pati, aku nggak mau menikah!
ADIPATI
Apa karena aku orangnya?
RANI
Pati, aku nggak percaya lagi pada pernikahan. Itu hanya akan membuatku tertekan.
Tiba-tiba Adipati berlutut di bawahnya, dan Rani pun otomatis membenarkan posisi duduk ke hadapan pria itu. Sorot matanya begitu tajam, Adipati seakan telah menemukan sebuah cara untuk meyakinkan Rani dari caranya menggenggam keduan tangan Rani di pangkuan.
ADIPATI
Percayalah, aku nggak akan menuntut banyak hal dari kamu!
RANI
Aku nggak yakin sama diri aku sendiri.
ADIPATI
Apa lagi yang kamu cari, Rani? Apa kamu masih merasa kesulitan menemukan bahagia? Apakah menurut kamu cintaku ini belum cukup besar untuk bisa membahagiakan kamu?
RANI
Pati ....
ADIPATI
Aku nggak tahu, mungkin kamu pernah merasakan cinta yang lebih besar dari aku. Tapi beri aku waktu untuk bisa membahagiakan kamu dari sesuatu kecil yang aku miliki. Aku pun berharap kamu mau melakukan hal yang sama untukku, sekecil apa pun itu!
RANI
Tapi aku ... aku udah nggak memiliki apa pun, sesuatu untuk bahagiain kamu.
Nggak ada yang tersisa lagi dariku. Orang lain akan berpikir aku nggak pantas buat kamu. Aku nggak ingin mempermalukan kamu karena itu, Pati.
ADIPATI
Apa yang kamu bicarakan? Kamu pikir, yang aku inginkan dari diri kamu hanya soal keutuhan dan kepuasan? Kita sudah saling memberikan kenyamanan. Walaupun sama itu juga yang kamu berikan pada yang lain, tapi aku merasa itu spesial bagiku.
Rani tak ingin berpaling dari tatapan yang terus menengadah padanya.
ADIPATI
Lagi pula ... ketika aku melepaskan kamu untuk Wira, bukankah semua dari kamu telah aku ambil? Nggak ada alasan bagiku untuk mempermasalahkan itu. Kalau akhirnya kamu kembali padaku, itu karena memang sudah menjadi milikku. Nggak ada yang berkurang, enggak satu pun! Aku menjadi sempurna karena kamu!
RANI
(mengatakan ketakutannya)
Aku nggak akan bisa kasih kamu anak lagi.
Kedua alis Adipati bertaut.
ADIPATI
Jika tujuan memiliki anak hanya sebagai ahli waris, itu artinya sejak dia belum ada, orang tua telah menyiapkan beban yang sangat besar untuknya. Segalanya sudah ditentukan tanpa memberi anak pilihan. Tuhan pun nggak akan tega menitipkan anak yang nggak berdosa kepada orang tua semacam itu, Rani.
RANI
Oh? Pati ....
ADIPATI
Anak bukanlah suatu pencapaian, Rani. Bukanlah pengukur kebahagiaan dalam sebuah pernikahan. Itu adalah perkara tanggung jawab. Sering kali kita memikirkan apa yang belum kita miliki, tapi kita lupa untuk bertanggung jawab pada apa yang sudah Tuhan beri.
RANI
Apa yang akan kamu katakan pada orang-orang kalau aku menjadi istri kamu, dan mulai mempertanyakan itu? Apakah ... kamu akan berkata bahwa aku memang belum siap menjadi seorang ibu?
ADIPATI
Untuk apa kita harus menjelaskannya pada mereka?
(terheran-heran, kemudian mengulas senyuman manis)
Semua nggak selalu berpusat pada pihak perempuan aja. Karena aku sendiri yakin, aku masih belum siap kalau kamu harus membagi cinta kamu untuk yang lainnya lagi, seperti cintamu pada Ara. Perhatianmu padaku jadi terbagi.
Rani tertawa kecil mendengar pengakuan konyol Adipati.
ADIPATI
Tapi kita pasti akan mengusahakannya, walau hal itu sangat mustahil sekalipun. Sekecil apa pun harapannya, kita nggak akan berhenti. Karena mungkin saja dari semua usaha, ada satu yang bisa membuat dia tertarik menjadi anak kita, hm?
RANI
Kamu akan berpikir ini karena aku terlalu bergantung padamu?
ADIPATI
Eh, terlalu bergantung pada orang lain memang nggak baik. Tetapi kalau seorang istri nggak mengandalkan suami, maka hilang martabat suaminya!
Mendadak matanya berembun tebal, Rani lekas menyeka sebelum air mata itu menjatuhi pipinya. Lalu ... dengan pundak yang terbebas dari beban, dengan hati yang terlepas dari jeratan kecemasan, Rani pun memberikan jawaban mantap.
RANI
Kalau kamu seyakin itu, baiklah. Aku mau!
ADIPATI
Apa? Bisa kamu ulangi lagi?
RANI
Iya, aku mau kita menikah!
Tercengang beberapa detik seakan tak menyangka Rani akan memberikan jawaban yang diidam-idamkannya, Adipati tersenyum lalu berangsur menjadi tawa. Adipati masih tampak termangu-mangu, menatap Rani dengan rasa tak percaya.
ADIPATI
Yes!
Rani tergelak memperhatikannya.
Adipati berdiri, direntangkan kedua tangannya ke depan, meminta Rani menyambut kebahagiaannya dalam sebuah pelukan. Malu-malu Rani bangkit, penuh keyakinan menyerahkan dirinya pada pria yang kini akan menjadi suaminya.
ADIPATI
(mengucap lantang)
Aku mencintai kamu!
RANI
(membalas)
Aku juga mencintai kamu.
CUT TO.