Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
149. INT. DI DALAM KAMAR UNIT APARTEMEN RANI — PAGI
Pemain: Adipati, Rani, Ara
Adipati baru saja keluar dari kamar mandi, dan Ara langsung meneriakkan kabar yang sontak membuat raut wajah pria itu dirundung kekhawatiran. Dia mempercepat langkahnya menuju kasur tempat Rani masih terduduk dengan setengah tenaga.
Duduk di tepian ranjang, Adipati sigap memerika suhu tubuh Rani menggunakan tangan. Tak berkenan, Rani menyingkirkan tangan sang kekasih dari keningnya.
Ara malah meringis bandel.
Rani merasa tidak enak pada ibu Adipati. Ia yang seharusnya bisa melayani nenek Ara itu dengan baik untuk dapat mengambil hatinya, malah terkendala keadaan. Namun Rani tidak memungkiri rasa lemah yang mengganggu staminanya kini. Mungkin benar, itu karena dirinya kelelahan. Sebenarnya semalam Rani sudah merasakan gejalanya, tapi ia tidak ingin berterus terang.
Adipati tersenyum kecil sepanjang menyaksikan sang buah hati bercakap dengan Rani. Gadis itu berlalu meninggalkan orang tuanya berdua untuk pergi ke apartemen papanya.
Rani berpikir keras.
Sebuah kecupan singkat pun Adipati daratkan ke kening Rani tanpa permisi.
Mereka saling melempar pandang, memperkuat perasaan sambil kembali mengingat kejadian semalam.
CUT TO FLASHBACK.
150. INT. RUANG UTAMA UNIT APARTEMEN RANI — MALAM
Pemain: Rani, Adipati
Hampir saja terjadi sesuatu antara keduanya. Rani dan Adipati hampir kembali terjerumus untuk melakukan hubungan terlarang sebelum mereka sah menjadi suami istri. Namun, Adipati tiba-tiba berhenti saat kesadarannya mulai menipis.
Sesuatu yang terdengar remeh, tapi Rani tak mengira akan sebahagia itu merasakannya. Dia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama di masa lalu dengan menodai Rani lagi. Walaupun kini keduanya saling mengungkap cinta dan setuju untuk menikah, Adipati sungguh-sungguh ingin menahan dirinya hingga hari itu tiba.
END OF FLASHBACK.
151. INT. DI KAMAR UNIT APARTEMEN RANI — PAGI
Pemain: Rani, Adipati
Rani menggengam tangan Adipati di pipinya, ingin merasakan ketulusan cintanya.
Adipati pun beranjak meninggalkan Rani untuk pergi bersama Ara. Rani menunggu sambil merebahkan diri di ranjang selama beberapa saat ke depan.
Sambil berbaring, Rani mengawasi gambar yang menjadi latar layar ponselnya. Satu potret yang memperlihatkan keharmonisan sebuah keluarga kecil. Di situ Ara menyunggingkan senyuman yang menampilkan seluruh barisan gigi ketika Rani dan Adipati menekankan kecupan di masing-masing pipi sang putri, tepatnya di hari ulang tahunnya kemarin. Rani tidak menyangka, keutuhan itu mampu membuatnya berbunga-bunga.
Renungan Rani dibuyarkan oleh bunyi bel yang berdenting nyaring. Sampai dua kali terdengar, ia baru mampu memaksakan dirinya bangkit. Ia terhuyung dalam perjalanannya menuju pintu utama.
CUT TO.
152. INT. RUANG TAMU UNIT APARTEMEN RANI — PAGI
Pemain: Rani, Adipati, Ara, Ibunya Adipati
Tanpa ingin mengecek monitor interkomnya dulu karena merasa ingin cepat kembali berbaring, Rani dikejutkan oleh sesuatu dari balik pintu. Sosok wanita yang belakangan ini sangat ia takuti, berdiri di hadapannya dengan raut wajah yang bisa dikatakan kaku. Mata memicing dan mulut meringis Rani sebagai usaha menahan sakit pun langsung memudar. Tangannya menurun perlahan, selambat waktu yang berjalan kini. Ya, itu ibu Adipati.
Rani menggeragap.
Nenek Ara menyodorkan sebuah mangkuk yang katanya berisi bubur. Walaupun terdengar kaku, tapi suaranya lebih hangat dari sebelumnya.
Tentu saja sikapnya yang tiba-tiba itu membuat Rani bingung di samping usaha menggali ingatan atas kesalahan yang mungkin saja ia lakukan, sehingga ibu Adipati itu sampai mendadak mendatanginya.
Rani masih terbengong-bengong menatap mangkuk di tangan wanita itu dan lantas segera mengambilnya dengan tangan gemetar.
Ia pikir setelah ini Rani bisa kembali merenungkan perubahan sikap sang calon ibu mertua. Kalau bisa, ia akan menghubungi Adipati untuk mengadukan keanehan ini. Namun wanita paruh baya itu kembali mengejutkan Rani dengan menyerobot masuk ke dalam dan duduk di sofa tanpa diminta.
Mendadak gagap, Rani mengangguk saja. Ia duduk di kursi depan nenek Ara. Karena di tutup mangkuk telah melekat sendok dengan warna yang senada, Rani jadi tak perlu lagi pergi ke dapur untuk mengambil alat itu. Uap yang menghantar aroma lezat langsung merebak begitu ia buka tutupnya. Makanan berbahan dasar nasi yang dihaluskan dengan irisan daging ayam itu seketika mengembangkan senyum Rani. Itu sama persis dengan bubur idaman yang ia pesan pada Adipati.
Rani mengangguk tanpa ragu-ragu. Kendati perubahan ini sangat aneh, Rani tidak ingin menaruh curiga pada sang calon mertua. Berkenan datang dan bicara padanya, adalah sesuatu yang sangat membahagiakannya. Tepat seperti yang pernah dikatakan Adipati. Jika Tuhan sudah berkehendak, tidak ada yang menduga apa yang akan terjadi dalam satu detik berikutnya.
Perubahan mencengangkan dalam semalam ini membuat Rani larut oleh berbagai perasaan yang bercampur aduk. Senang, terharu, Rani tak kuasa membendung air matanya, tapi juga tak dapat menahan senyumnya.
Tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu, Rani yang sempat terperangah pun langsung mengangguk cepat.
Ibu Adipati terdiam sesaat. Tatapannya begitu menyelidik, seakan mencoba menemukan cela dalam mata Rani.
Wanita itu terus bertanya, Rani jadi merasa sedang diinterogasi. Seluruh perhatian manusia di dunia seakan sedang berpusat padanya.
Sedetik kemudian seolah tersadar itu bukanlah jawaban yang serius, Rani tersentak menutupi mulutnya sendiri dengan tangan.
Sang ibu mencibir.
Denyutan di sebelah kepala Rani lenyap tanpa ia sadari, berganti dengan debaran keras di balik dada yang tak terlatih.
Tak berselang lama saat ibu Adipati membuka suara—mungkin untuk memberikan pertanyaan berikutnya, pintu utama terbuka dan Ara bersama ayahnya masuk sambil membawa banyak kantong belanjaan.
Tak hanya putrinya, Adipati pun tertegun tak dapat berkata-kata hingga beberapa detik.
Dia memalingkan pandangannya bergantian ke arah ibunya lalu ke arah Rani setelah meletakkan semua barang belanjaannya di lantai.
Tak lantas menjawab rasa penasaran putranya, ibu Adipati bangkit dari duduknya disusul Rani.
Adipati masih penasaran sekaligus tercengang dalam satu waktu. Terlebih saat ibunya kembali dan meninggalkan mereka, Adipati masih bertanya-tanya.
Tawa kecil pun Rani lepaskan untuk menggambarkan sisi kebahagiaan yang dirasakan, meski ia sendiri masih tak menyangka.
Secara mendadak, lemas dan meriang yang menerpanya sejak semalam menyingkir tak berjejak. Senyum Adipati berangsur merekah memikirkan perubahan baik pada ibunya. Tawa keduanya pecah bersamaan setelah sempat termangu-mangu. Dipegangnya kedua rahang Rani di sela napasnya yang tiba-tiba tersengal-sengal, seperti yang Rani rasakan lantaran terlalu senang.
Spontan, Rani memekik girang. Ia berloncatan sampai akhirnya tak kuasa menahan diri untuk memeluk sak kekasih.
Begitu mendapat anggukan dari Rani, gadis itu berseru riang, lantas berlari ke atas ranjang dan meloncat-loncat kegirangan di sana.
Pandangan Rani menurun lemah dari kedua mata Adipati yang melebar cerah.
Seakan tahu Rani tak meyakininya, Adipati menduga.
Tersentak, Rani menggeragap kembali memandang kekasihnya penuh rasa bersalah.
Seraya bersedekap, Adipati menentang ke langit ruangan. Mereka terus memikirkan jawaban yang harus diberikan pada ibu bahkan hingga Adipati berangkat ke kantor.
Merasa frustrasi, keluhan itu Rani tulis dalam pesan chat yang ia kirimkan ke nomor Adipati. Sore hari, pria itu pamit pergi ke kantornya untuk menyelesaikan beberapa urusan dan berjanji akan pulang lebih awal untuk ikut makan malam bersama.
Tak lama, Adipati membalas pesannya.
Rani tersenyum geli.
CUT TO.