Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Tali Pati Rani
Suka
Favorit
Bagikan
27. TPR skrip #27

87. INT. KAMAR IBU ADIPATI — PAGI

Pemain: Adipati, Rani, Ibunya Adipati

Adipati berlutut di hadapan ibunya yang merajuk di kursi goyangnya.

Adipati
(Suara lembut)
Aku tahu Ibu membencinya karena aku. Aku tahu Ibu sakit hati padanya karena aku.


Rani menguping, melihat kebersamaan Adipati dan ibunya dari celah pintu.


Rani (V.O)
Tuhan, aku selalu meyakini musibah yang menimpaku ini adalah sebuah cobaan, seperti yang pernah Pati katakan. Tapi aku masih tidak mengerti apa yang harus aku lakukan untuk menyudahinya.

Adipati
Tapi Ibu nggak tahu, kan ... kemarahan Ibu pada Rani, justru membuat putra Ibu ini semakin terbebani.


Tak hanya sang ibu, pandangan Rani pun meluluh memikirkannya.


Ibu
Kamu teh sudah cukup menderita sejak kepergiannya. Dia menghancurkan hidupmu!


Rani merasa sesak napas mendengarnya.


Adipati
Aku nggak hancur, Bu. Aku baik-baik aja. Ibu lihat, kan!
(Membusungkan dada sambil tersenyum)

Ibu
(Memegang rahang Adipati)
Bagaimana mungkin kamu teh baik-baik saja, Nak? Kamu membesarkan putrimu seorang diri selama ini. Kamu harus menjalani peran sebagai seorang ayah sekaligus ibu bagi Ara. Kamu juga masih harus menghadapi semua pertanyaan dari orang-orang tentang keberadaan ibunya. Kamu pikir Ibu teh nggak tahu semua itu membuatmu menderita, hah?

Rani (V.O)
Itu benar.
Selama aku pergi menjalani rumah tangga bersama Wira, semua pendapat ibu Pati itu pun juga sempat singgah dan menetap sesekali di benakku. Adakalanya aku merasa sangat bersalah membiarkan Pati mengatasi akibat perbuatan kami seorang diri. Tapi kebahagiaanku bisa hidup bersama orang yang aku inginkan, menguatkan keyakinanku bahwa apa yang telah aku putuskan sudahlah benar.

Ibu
Dia mengkhianatimu, menghancurkan masa depanmu. Jangankan untuk mendapatkan jodohmu, kamu bahkan direndahkan setiap kali mencari pekerjaan. Apa dia pernah memikirkan itu? Apa dia peduli itu?


Rani mengembuskan napas berat. Tersadar hati dan pikirannya.


Ibu
Sekarang setelah kamu mulai bangkit, kenapa dia teh harus datang lagi? Kehadirannya di sini hanya akan membuatmu kembali lemah, Adi! Karena Ibu tahu, kamu teh nggak bisa membohongi matamu kalau kamu masih—

Adipati
(Menyela)
Ibu, sudahlah. Aku nggak apa.


Rani (V.O)
Apa yang masih Pati inginkan dan rasakan hingga detik ini, sampai-sampai ibunya menganggap kedatanganku akan membuatnya lemah? Mengapa Pati harus menutupinya?

Adipati
(Menggenggam kedua tangan ibunya yang ada di pangkuan)
Hidup ini nggak selalu tentang cinta dan cita-cita, Bu. Untuk bisa bertahan hidup, tenang dan bahagia, ada saatnya seseorang hanya perlu bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.


Rani masih bertahan di balik pintu melihat dan mendengar mereka yang saling bertatapan, tanpa ingin berkutik.


Adipati
Sejak tahu aku akan menjadi seorang ayah, aku sudah berjanji pada calon ibu anakku itu akan bertanggung jawab dan selalu ada untuknya. Aku nggak masalah kalau dia nggak menjanjikan hal yang sama padaku, Bu. Karena memang salahku sudah merenggut kesuciannya. Salahku yang telah merusak masa depannya. Akibat kesalahanku itu, hilang kesempatan dia untuk memilih cara bagaimana dia akan bahagia.

Rani (V.O)
Pati ...
Itukah alasanmu tidak ingin membenciku? Karena ingin aku bahagia dengan caraku?


Adipati
Aku memang sakit hati saat Rani memutuskan untuk memilih hidup bersama pria lain, dan meninggalkan putrinya. Aku merasa bingung dan putus asa. Ibu menjadi saksi bagaimana aku nggak ingin bangun lagi setelah kepergiannya. Tapi melihat Ara yang nggak berdosa, aku teringat pada tanggung jawabku dan juga janjiku pada Rani untuk ayahnya.


Badan Rani kian menegak, serius menyimak.


Adipati
Hari itu aku berpikir, jika aku memilih berhenti dan nggak menyelesaikan apa yang sudah aku mulai, aku hanya akan meninggalkan beban pada putriku nantinya, pada Ibu juga. Membenci Rani, menjauhkannya dari anak kami, dampaknya akan sangat buruk bagi cucu Ibu.

Rani (V.O)
Tuhan, kebenaran macam apa ini? Setelah sekian lama pergi, mengapa baru hari ini aku bisa memikirkan semua yang dikatakan Pati?


Rani terkesima dengan cara berpikir Adipati.


Adipati
Seperti aku yang mendendam pada Ayah, seperti Rani yang nggak pernah mengenal ibunya. Ara bisa menjadi lebih hancur dan nggak terarah seperti kedua orang tuanya ketika dewasa nanti. Aku nggak mau itu terjadi, Bu. Aku nggak ingin egois, aku nggak akan membiarkan hal itu terjadi pada anakku.

Rani (V.O)
Pati ... memang cuma dia yang sangat memahami aku. Dia berpikir panjang, dan juga dalam tenang. Aku yang selalu ingin mencoba sesuatu hal baru demi mendapatkan sebuah pengalaman, justru nggak mendapatkan apa pun. Hanya kekhilafan dan penyesalan.


Adipati
Rani punya hak untuk menolak hidup bersamaku, Bu, apalagi jika karena alasan dia nggak mencintaiku. Dia pun punya hak untuk bertemu Ara, karena Ara adalah anaknya juga. Mengakuinya atau tidak, itu hanya perkara waktu.

Rani (V.O)
Kenapa ... aku merasa ada yang salah pada diriku?


Adipati
Aku mohon pada Ibu untuk tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Semua telah berlalu, aku dan Ara baik-baik saja sekarang ini. Ibu teh jangan cemaskan apa pun lagi, ya? Semua akan terjadi seperti yang sudah ditetapkan. Takdir nggak akan pernah tertukar. Walaupun harus berputar-putar, walaupun harus menunggu lama, putramu ini pasti akan segera menemukan pasangannya.

Cut to.


88. EXT. TERAS DEPAN — SIANG

Pemain: Rani, Adipati.

Rani melamun, duduk lesehan di lantai teras. Menatap tanaman di halaman.


Rani (V.O)
Aku pikir, saat aku mendapat kesempatan untuk meraih cita-cita dan juga cintaku, maka saat itu pula semua tujuanku telah tersampaikan. Aku merasa sudah menjadi orang yang berhasil dalam hidupku. Janji-janjiku pada Ayah telah aku wujudkan. Menjadi seorang desainer yang sukses dengan merek brand perusahaanku sendiri, juga menikah dengan lelaki yang direstui Ayah. Semua harapanku tercapai, tinggal mempertahankan sebagaimana aku akan menjalaninya.


Rani mengingat perjalanan hidupnya di masa lalu.


Rani (V.O)
Ya, semua itu tentang diriku, tentang hidupku, dan juga keinginanku. Itulah masalahnya. Bagaimana bisa aku baru menyadarinya?


Adipati datang sambil menggerutu dan langsung duduk di sebelah Rani.

Adipati
Aakh, benar kata mereka. Semakin tua, semakin kekanak-kanakan!
Begitu wanita merajuk, sarapan pagi bisa-bisa jadi makan malam.


Sampai pria itu kembali bersungut, Rani masih tak ingin berpaling dari pemandangan di depannya.


Rani (V.O)
(Melamun)
Sungguh walau hanya sepintas, aku nggak pernah berpikir bahwa sejak aku melahirkan seorang anak dan menjadi seorang ibu, sejak saat itulah seharusnya duniaku bukan hanya tentang diriku saja.

Adipati
(Heran mengawasi Rani dan tak mendapat respon darinya)
Oh? Sekarang semua perempuan di rumah ini nggak mau bicara sama aku, ya?


Rani (V.O)
Bagaimana aku bisa lupa, bahwa di dalam tubuh putriku juga mengalir darah Pati? Bagaimana aku bisa tega tidak mempertanyakan apalagi memikirkan dunia Pati? Tentang perasaannya, tentang hidupnya, tentang janji-janjinya, juga tentang masa depan putrinya. Apa yang aku jalani selama ini bersama Wira, apa hanya kebodohanku?

Adipati
(Ragu-ragu)
Rani, apa kamu lapar juga? Mau nggak, temani aku dan Ara makan di luar, hm? Mau, ya? Ya, ya, ya?


Adipati menyenggol-senggol lengan Rani dengan bahunya, tapi tetap saja usahanya itu tak membuat Rani ingin keluar dari renungan-renungannya akan masa lalu. Beberapa detik mengamati keterdiaman Rani, Adipati mendadak mengerang.


Adipati
(Berteriak kesakitan memegangi sebelah dadanya)
Aagrh! Aw, aakh! Kenapa tiba-tiba begini? Aduh, sakit banget!


Rani tertegur.

Rani
Pati? Kamu kenapa? Apa yang terjadi sama kamu?


Rani panik, memegangi dada Adipati di bagian yang sama, mengelus-elusnya. Pria itu merintih tanpa kata. Satu tangannya kemudian bergerak memengangi tangan Rani di dadanya.


Rani
Bagian mana yang sakit?


Masih tak mau bicara, tiba-tiba satu tangan Adipati dari dada terangkat di depan mata Rani. Dia mengacungkan bentuk hati yang tercipta dari jari telunjuk dan jempolnya sendiri. Tak butuh waktu lama untuk bisa mengartikan simbol finger heart yang diberikan Adipati. Dalam sekejap saja, pria itu sukses mengubah kepanikan Rani menjadi kekesalan. Dia berhasil mengecoh Rani.


Rani
Pati, itu sama sekali nggak lucu!
(Meremas jari-jari Adipati itu)


Adipati tergelak-gelak.

Adipati
Kamu ngelamun terus, sih. Nggak dengerin aku sama sekali. Aku jadi sakit hati.


Rani cemberut keki. 

Rani
Gimana dengan ibu kamu?


Adipati berpikir keras.

Adipati
Nggak ada masalah yang serius. Nggak perlu ada yang dikhawatirin.

Rani
Bagaimana mungkin? Aku beneran merasa nggak enak hati lama-lama di sini.


Adipati
Jangan terlalu dipikirin. Biarin waktu yang akan memulihkan semuanya.


Dari tatapan mantap Adipati, pandangan Rani menurun ke bawah. Ia tidak menyangka semuanya akan menjadi serumit ini. Sejenak Rani merilekskan diri dengan meregangkan tubuh yang memang akhir-akhir ini kerap diajak bersitegang.


Rani
(Teringat)
Pati, jadi makan di luar, enggak?

Adipati
Oh?

Cut to.



Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar