Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Tali Pati Rani
Suka
Favorit
Bagikan
34. TPR skrip #34

110. INT. RUMAH WIRA — BEGIN MONTAGE

Pemain: Wira, Rani, Ibunya Wira

- Karena ibunya Wira sakit jantung dan tidak boleh stres, Wira meminta Rani untuk pindah kembali ke rumah ibunya.

- Rani tak punya pilihan lain selain mengalah dan menuruti permintaan Wira.

- Ibunya Wira belum sepenuhnya pulih, tetapi masih tak mau dirawat Rani.

-Rani tak bisa berbuat apa pun. Hanya bisa melihat seluruh waktu suaminya tersita untuk merawat ibunya.

END MONTAGE


111. EXT. DI PINGGIR PANTAI — MALAM

Pemain: Rani, Wira, Teman-temann Wira (Pria dan Wanita)

Wira mengajak Rani pergi ke pesta perayaan tahun baru di sebuah villa di pinggir pantai. Ada puluhan orang teman Wira dan Rani yang sedang menikmati pesta. Ada api unggun yang dinyalakan, juga banyak makanan dan minuman yang disajikan. Rani dan Wira datang dan dihampiri teman-temannya. Hampir semua memakai mantel dan syal karena angin laut yang dingin.


TEMAN 1 
Aah, coba lihat! Akhirnya kita kedatangan pasangan ini juga!

TEMAN 2
Hey, Wir! Lama banget lo nggak muncul. Gue pikir Rani lagi hamil!

WIRA
Akh, jangan ngomongin hal yang nggak mungkin saat ini!


Pandangan Rani beralih cepat pada Wira yang melontarkan kalimat bernada remeh tersebut.


WIRA
(sadar diperhatikan Rani)
Maksud gue, untuk dibicarakan saat ini. Kita lagi berpesta, kan? Ayolah, waktunya kita bersenang-senang!


Teman-temannya tergelak.


WIRA
Iya kan, Sayang?


Rani tak menjawab, juga tak mengangguk mengiyakan. Rani merasa sakit hati karena ucapan Wira.


TEMAN 3
Setuju! Untuk apa buru-buru punya anak? Lagi pula lo selalu pulang dalam keadaan mabuk berat. Kalau Rani sibuk mengurus anak, siapa lagi yang bakal ngurusin lo?!

TEMAN 4
Atau kalau nggak, Wira yang akan seharian sibuk di rumah menggantikan popok anaknya!


Mereka semua terbahak-bahak di hadapan Rani. Candaan seperti itu seharusnya sudah menjadi kebiasaan mereka, dan Rani tak pernah keberatan. Namun kini, semua terasa berbeda. Cara Wira dan teman-temannya menyangkal pentingnya anak dalam kehidupan pernikahan mereka, sangat berbanding terbalik dengan kenyataannya ketika mereka berhadapan dengan keluarga di rumah.


TEMAN 1
Ayo kita minum!

WIRA
Eh, sebentar!
(menjawab panggilan telepon di ponsel yang diambil dari saku mantelnya)
Hai! Udah sampai di tempat parkir? Oke, aku ke sana sekarang!
(mematikan teleponnya)
Gue akan jemput teman gue sebentar.

TEMAN 3
(menimpali)
Ah, yang lo bilang waktu itu?

WIRA
Iya, dia udah ada di depan. Kalian pergi minum aja dulu. Titip istri gue, ya! Berikan minuman terbaik untuknya!

TEMAN 5 (WANITA)
Huuu, iya iya, Tuan Raja! Ratumu akan mendapat pelayan terbaik dari kami!


Rani hanya tersenyum dengan perlakuan suaminya. Wira berlalu, Rani dan teman-temannya pun beranjak untuk bergabung dengan yang lainnya. 

CUT TO.


112. EXT. TEPIAN PANTAI — MALAM

Pemain: Rani, Wira, Teman-teman Rani, Adipati

Rani memilih berdiri di tepian pantai menikmati ombak kecil yang dinaungi gelap malam. Seorang teman wanita menyuguhkan sebotol minuman favoritnya, akan tetapi ia menolak.


RANI
Aku lagi nggak mau minum.

TEMAN RANI 1
Oh? Ini anggur kesukaan lo, Ran!

RANI
Makasih, tapi aku lagi nggak mau.

TEMAN RANI 1
Gimana kalau rokok?

RANI
Nggak juga. 

TEMAN RANI 2
Eh? Kenapa sama lo?

RANI
Aku merasa sedikit nggak enak badan. Kalian bersenang-senanglah, jangan cemasin aku, aku pengen di sini aja!

TEMAN RANI 3
Lo yakin?

RANI
Ya.

TEMAN RANI 2
Oke kalau gitu, mungkin lo akan berubah pikiran setelah Wira kembali.


Mereka meninggalkan Rani seorang diri untuk mulai memeriahkan pesta. Ia pun kemudian melempar pandangan ke lautan yang membentang di hadapannya. Sesekali tangannya bergerak merapatkan syal baru yang melilit di lehernya.


WIRA
(memanggil dari arah belakang Rani)
Sayang!


Wira kembali. Rani berbalik tanpa paksaan. Namun seseorang yang datang bersama Wira kini membuat Rani menyesal sudah datang ke pesta ini.


WIRA
Kamu masih ingat dengannya? Yang waktu itu, di Bandung.


Rani hanya diam saja. Rani menatap pria itu, dan sama, Adipati pun memandangnya dengan mata dan senyuman yang layu. Ia menundukkan kepala memberi salam, tapi Rani sedang tidak berselera diajak berpura-pura.


WIRA
Rani, syal yang kamu pakai itu hadiah darinya.

RANI
Hah?


Pengakuan sang suami seketika mengejutkan Rani. Tangannya langsung terangkat tanpa kendali menyentuh syal merah muda berhias bordir bunga-bunga cantik yang melingkar di lehernya kini. Kembali Rani memandang Adipati ragu-ragu, pria itu hanya mengulas senyuman tipis.


WIRA
Adi, ayo kita bergabung dengan yang lain!

ADIPATI
Oh? Nggak usah, aku lagi flu. Aku akan di sini aja.
(menolak secara sopan)

WIRA
Apa-apaan ini? Aku ngundang kamu ke sini untuk berpesta!

ADIPATI
(terkekeh pelan)
Maaf. Kalau bukan karena kebetulan ada urusan pekerjaan di sini, aku pasti akan memilih tidur seharian di Bandung.


Wira manggut-manggut mencoba menerima alasannya. 

WIRA
Okelah kalau gitu. Jangan sungkan untuk minum ataupun makan di sini, ya!


Adipati mengangguk.


WIRA
(beralih pada Rani)
Sayang?

RANI
Aku akan menyusul nanti.

WIRA
Oke, oke. Kalian tunggu aja di sini, ya! Ngobrol aja, aku akan bersenang-senang dulu sebentar dan segera kembali!


Wira pun meninggalkan Rani bersama Adipati dengan menaruh kepercayaan penuh. Begitu berbaur dengan teman-temannya, Rani melihat jati diri sang suami yang sebenarnya. Dari mulut salah seorang teman, Wira mengambil rokok menyala yang tengah diisap untuk dipindahkan ke mulutnya. Dari tangan temannya yang lain pula, dia merampas segelas bir tanpa mendapat protes dari mereka. Mereka bersenang-senang. Rani selalu bisa melihat kebahagiaan suaminya di saat seperti ini.


Biarlah Adipati melihatnya juga, sebagai alasan mengapa Rani ingin menjadi bagian dari kebahagiaan Wira, pikir Rani. Kepalanya perlahan berputar ke arah depan. Ia tersentak begitu mendapati pria di hadapannya tengah mengawasinya dengan tatapan yang dalam. Sejak kapan Adipati memperhatikan dirinya seperti itu? Mendadak resah, Rani pun melempar pandangan kembali ke arah lautan sembari memperlancar pernapasannya.


ADIPATI
Ini, tas dan sepatu kamu yang tertinggal di rumahku.


Adipati mengulurkan tas kotak berbahan kertas kepada Rani. Sejenak tercenung, Rani pun menerimanya tanpa membukanya.


ADIPATI
Maafkan perlakuan ibuku. Aku sangat menyesali itu.


Rani kembali memandang pria itu, kali ini agak terkejut. 

RANI (V.O.)
Adipati tahu penyebab aku pergi dari rumahnya? Apa dia bertengkar dengan ibunya karena itu?


Adipati kembali meneruskan sebelum Rani sempat mengutarakan pemikirannya. 

ADIPATI
Tapi aku lebih menyesal karena kamu nggak mau menungguku sebentar saja. Pertanggungjawaban yang kamu tawarkan padaku hari itu, jadi nggak berlaku lagi.


RANI (V.O.)
Pati ....


Adipati tersenyum sinis. 

ADIPATI
Janji yang pernah aku katakan bahwa aku nggak akan membiarkanmu kembali padanya, nggak bisa kupaksakan. Kamu yang memilih kembali padanya. Nggak apa. Seharusnya aku udah bisa mengiranya dari awal. Kamu bahkan nggak bisa menjadi Rani-ku kurang dari satu minggu. Bukan masalah. Wira lelaki yang baik, dia sangat mencintai kamu. Aku tenang sekarang.


Seandainya dia tahu, Rani sakit hati mendengarnya. 

RANI (V.O.)
Hari itu aku memang berniat untuk membuktikan tanggung jawabku. Tapi sekarang ini, pasti Pati berpikir aku nggak punya pendirian.

ADIPATI
Bisakah ... kamu merekam suaramu untuk Ara? 
(meminta dengan lirih)
Sudah beberapa hari dia nggak mau makan dan bicara setelah kepergian kamu.
(berucap yakin)
Tapi jangan khawatir, aku pasti bisa mengatasinya. Memang nggak mudah, mungkin saja suaramu bisa sedikit membantuku.


Rani mengembuskan napas yang ditahannya sedari tadi. Membayangkan kondisi Ara membuat Rani tak kuasa membendung air mata.


Ia pun menodongkan satu tangannya kepada Adipati tanpa ingin melibatkan emosi, apalagi berlaku gengsi. Tertegun sesaat, pria itu lantas mengeluarkan ponselnya dari balik mantel dan memberikannya ke tangan Rani.


Saat membuka ponsel Adipati yang tak dikunci, gambar Ara mengenakan syal yang sama persis dengan milik Rani pun menghiasi layar utama, menegunnya untuk waktu yang lama. Di situ Ara tidak mengulas senyum, tampak murung dan kosong pandangannya. Tentu saja foto itu diambil setelah kepergian Rani. Namun meski tak bisa melihat senyumnya, kerinduan Rani lumayan terbayar.


Jangankan hanya suara, Rani tak segan untuk merekam dirinya dalam bentuk video. Ia menghadapkan layar ponsel tepat ke wajahnya, kemudian siap untuk bicara setelah menekan tombol bulat di tengah layar.


RANI
Ara, anak Mama. Maafin Mama, Sayang. Mama pergi di saat kamu tertidur lelap.
Mama juga nggak pernah menginginkannya, Mama masih ingin nemenin kamu, tapi Mama ingat sama pekerjaan di sini. Banyak sekali karyawan yang menunggu Mama untuk memberikan upahnya. Jadi Mama nggak boleh menundanya. Kamu mengerti kan, Sayang? Kamu mau maafin Mama kan, Nak?


Rani terdiam sejenak, lalu kembali meneruskan. 

RANI
Begitu semua urusan Mama di sini selesai, Mama pasti akan kembali menemui kamu. Sekarang tersenyumlah, jangan marah lagi ya? Hapus air mata kamu, kasihani papamu, dengarkan apa yang dikatakannya. Lihat, Mama juga memakai syal yang sama denganmu. Hadiah dari papa kamu. Mama akan menciumnya setiap kali merindukanmu. Mama sangat mencintai Ara. Ara juga sangat mencintai Mama, kan?


Ia berikan bentuk hati dari jari telunjuk dan jempolnya ke arah kamera. Dilebarkan senyumnya di tengah kesedihan dan rasa pilu. Usai mematikan videonya yang otomatis tersimpan, Rani tak dapat memaksakan senyumnya lagi. Satu tangannya yang masih terangkat pun meremas syalnya di bagian dada. 


RANI (V.O.)
Tuhan, mungkin aku bisa mengabaikan rasa sakit di hati akibat perlakuan ibu mertua maupun ibunya Pati, tapi mengabaikan putriku ... sungguh aku tidak sanggup. Sakit sekali rasanya.


Sadar bukan saat yang tepat untuk merana, Rani berbalik ke arah Adipati. Ia kembalikan ponsel milik pria itu dengan harapan itu saja bisa membantunya membujuk Ara.


ADIPATI
Makasih, ya.


Dan sebuah tanya yang tak dapat Rani pendam lagi setelah sekian lama, akhirnya meluncur juga dari mulutnya.

RANI
Kamu juga mencintaiku, kan ... Pati?


Pandangan Adipati yang semula tertunduk—fokus menyimpan ponselnya di balik mantel, pun langsung terangkat pelan-pelan kemudian terkunci di mata Rani. Rani tak memalingkan mata sedetik pun darinya.

CUT TO.


Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar