Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SCENE 73 INT DEPARTEMEN NEUROLOGI
Cast. Dayana, Sadajiwa
Sadajiwa : Hei
(Dayana mendengar suara pelan, begitu lembut dan sejuk sehingga seperti semilir angin puncak)
Sadajiwa : Hei ini aku...
(Suara itu berulang di sampingnya, tapi itu sangat hangat dan penuh perhatian bahkan dalam keadaan setengah sadar, Dayana tahu bahwa itu bukanlah bisikan busuk kebanyakan orang. Dayana membuka matanya dan merasa bersyukur karena tak ada cahaya yang membutakannya kali ini. Ruangan itu gelap gulita dengan hanya lampu samping tempat tidur yang menyala di sampingnya untuk menerangi sedikit penglihatannya)
(Saat itu malam hari. Semua orang tertidur)
Sadajiwa : Hei, kamu bisa dengar aku?
(Suara itu memanggil lagi, dan Dayana berpaling ke sisi sebelahnya kali ini lalu melihat – Sadajiwa. Ada Sadajiwa di situ)
Sadajiwa : Ssst...
(Sadajiwa meletakkan jari di bibirnya sendiri dan mengisyaratkan Dayana untuk tetap diam. Tangannya yang lain menyisir rambut kepala Dayana dengan belaian lembut)
Sadajiwa : Tolong jangan bersuara. Aku nggak mau mereka maksa kamu supaya pingsan lagi...
(Dayana hampir tak mampu bernapas sama sekali saat itu dan menyadari betapa keringnya mulut dan tenggorokannya. Rasanya seperti dua amplas saling bergesekan. Dayana terbatuk)
Sadajiwa : Ini
(Sadajiwa dengan cepat merangkul punggungnya untuk membantunya duduk)
Sadajiwa : Air
(Sadajiwa duduk di samping tempat tidur dan membawa gelas ke bibirnya. Cairan dingin mengalir ke tenggorokan Dayana seperti oasis menuju gurun pasirnya)
Dayana : Makasih
(Lirih Dayana, suaranya pendek dan serak. Dayana tak mengatakan apa-apa lagi karena tak ada apa-apa dipikirannya. Perasaannya kosong setelah satu hari penuh dengan siksaan, amarah dan kesedihan. Dayana merasa hampa)
Sadajiwa : Apa kamu nggak mau ngasih tahu aku apa yang terjadi?
(Sadajiwa bertanya perlahan, suaranya hampir seperti bisikan)
Sadajiwa : Apa yang terjadi padamu, Daya? Kenapa kamu... melukai diri sendiri?
(Sadajiwa terdengar sedih. Dayana membuang muka dan ketika Sadajiwa berbicara, dia terdengar sangat pahit)
Sadajiwa : Dayana...
(Sadajiwa bergumam pada dirinya sendiri)
Dayana : Setelah semuanya terungkap, nama itu terdengar sangat memuakkan
(Alis Sadajiwa terangkat kebingungan sambil terus mendengarkan)
Dayana : Nama Dayana kedengarannya penuh dengan kepalsuan sekarang dan Larasati masih terasa menyakitkan seperti sebelumnya. Nggak ada lagi nama yang terasa benar untukku
(Tatapan Dayana tetap kosong)
Dayana : Kenapa aku bisa ada di sini, Sada?
(Dayana bergumam, bertanya mengenai kondisinya saat itu dengan perih)
Dayana : Mengapa aku lahir ke dunia ini ... cuma buat menjalani kehidupan kaya gini?
(Sadajiwa gagal memahami maksudnya tapi Dayana tampaknya tak menyadarinya. Dayana sudah terputus dari dunia, semuanya terlepas sendiri. Dayana bahkan tak menyadari air mata membasahi pipinya sampai Sadajiwa meluncur turun dari tempat tidur untuk berlutut di sampingnya)
Sadajiwa : Hei...
(Sadajiwa menggenggam tangannya erat-erat, menangkupkannya di dalam tangannya sendiri)
Sadajiwa : Lihat aku. Please, lihat aku
(Dayana mengalihkan pandangannya dan saat mata mereka bertemu, Sadajiwa meremas tangannya lebih keras)
Sadajiwa : Aku nggak tahu pasti apa yang terjadi sampai kamu ngasih tahu semuanya sama aku, tapi aku berasumsi kalau itu ada hubungannya dengan masa lalu
(Tatapan Dayana melembut, dan Sadajiwa mengusap punggung tangan Dayana dengan lembut dengan ibu jarinya)
Sadajiwa : Hal buruk terjadi, dan sementara beberapa tindakan nggak bisa dibatalkan apa pun yang terjadi, orang-orang pasti udah banyak berubah selama bertahun-tahun. Setiap orang berubah dari sebelumnya dan itu termasuk kamu juga. Kamu perlu ingat walau sebagian dari hidup dan keputusanmu buruk, bukan berarti itu akan buruk selamanya
(Sesaat hening berlalu di antara mereka, dan sedetik kemudian, Sadajiwa merasa ada kilatan jiwa masuk kembali ke mata Dayana meski singkat dan terkubur jauh di bawah kesedihan. Sadajiwa sangat berharap bisa melihat jati diri Dayana lagi)
Sadajiwa : Segalanya bisa berubah, Sayang. Aku tahu sulit untuk memaafkan semua orang dan dirimu sendiri, tapi kumohon...
(Sadajiwa memohon, memegang tangan Dayana lebih erat)
Sadajiwa : Tolong jangan menyakiti diri sendiri cuma karena kamu mikir kalau hidupmu nggak ada gunanya dan nggak bisa diselamatkan. Kamu masih memiliki perjalanan panjang di masa depan untuk dijalani dengan lebih baik
(Sadajiwa mengulurkan tangan untuk menghapus air mata Dayana, memeluk pipinya dengan lembut saat suaranya juga melembut)
Sadajiwa : Tolong jangan sakiti dirimu sendiri, Sayang. Itu benar-benar ... menyakitkan bagiku. Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau sama aku lagi, aku cuma - aku cuma berharap kamu nggak melukai diri sendiri
(Dayana membuang muka, dan meskipun air matanya mulai mencekiknya di dalam, dia menolak untuk mengeluarkan suara apa pun. Bagaimana dia bisa memberi tahu Sadajiwa bahwa tak ada masa depan yang terbentang di depannya? Bahwa dia akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa yang berbeda - mungkin bermil-mil jauhnya dari Jakarta - keesokan harinya?
Bahwa tak ada perjalanan yang penting baginya saat ini karena semuanya akan berakhir di sel, di suatu tempat di RSJ? Karena masa depan tampak begitu suram baginya sehingga dia tak punya apa-apa selain menyalahkan dan meremehkan masa lalu untuk itu? Semakin Dayana memikirkan tentang keadaannya, semakin dia memikirkan tentang hidupnya yang sudah dicuri, semakin dia marah sampai yang tersisa dalam dirinya hanyalah kebencian. Kebencian yang dalam dan sakit yang membusuk sampai ke intinya dan menghapus semua emosi lain dari hatinya. Bahkan cinta, kepercayaan - mereka tak lagi mampu berdiam di dalam hatinya. Hanya dendam dan dendam tak berdasar yang menghabisinya sampai babak belur)
Dayana : Kamu sebaiknya pergi
(Dayana serak, menjaga suaranya tetap stabil saat dia melihat ke arah Sadajiwa mungkin untuk yang terakhir kalinya)
Dayana : Ini udah larut malam dan aku mau istirahat
(Sadajiwa mengangguk setengah hati dan bangkit, menawarkan senyuman kecil dan lemah)
Sadajiwa : Selamat malam, Sayang...
(Sadajiwa berbisik dan mencondongkan tubuh ke depan, memberikan ciuman lembut di atas kepala Dayana yang membuat gadis yang lebih tua itu ingin berteriak ke alam semesta untuk semua cinta yang tak diberikan padanya. Untuk masa depan yang dipaksakan agar dia menyerah sebelum bisa memiliki Sadajiwa sepenuhnya)
Sadajiwa : Tidur yang nyenyak
(Sadajiwa mengusap punggung jari-jarinya ke pipi Dayana, dan setelah pandangan terakhir, ia meninggalkan ruangan dengan tenang. Dayana menatap punggungnya untuk waktu yang lama, sampai menghilang di balik dinding dan dia membiarkan isak tangisnya pecah)
SCENE 74 EXT JALANAN KOTA
Cast. Ishana, Sadajiwa
(Saat itu hampir pukul 23.00 ketika Ishana berjalan-jalan di jalan kota dengan perut kosong. Dia memeluk bagian perutnya, menahan dirinya dari angin musim penghujan yang dingin saat kakinya melangkah tanpa tujuan. Ishana berhenti di depan sebuah toko kecil, dan setelah menelan makanan instan yang dia beli, Ishana memutuskan untuk terus berjalan. Dunia tampak aneh dan asing baginya sekarang setelah semua rahasia telah diketahui. Ishana menundukkan kepalanya)
Ishana : Halo?
(Ishana mengangkat teleponnya pada getaran kedua, langsung tahu bahwa itu adalah Sadajiwa bahkan tanpa membaca nama peneleponnya)
Sadajiwa : Hei, maaf. Aku baru aja keluar dari rumah sakit dan melihat pesanmu. Apa ada masalah? Kamu terdengar lagi punya masalah
(Ishana berhenti berjalan dan menarik napas panjang. Kepalanya miring ke atas untuk menatap langit tanpa bintang saat dia mengumpulkan sisa dari jiwanya yang hancur)
Sadajiwa : Sakit?
Ishana : Boleh nggak aku tidur di tempatmu?
(Pertanyaan itu keluar dengan spontan dan lelah, seolah dia hanya menginginkan tempat untuk beristirahat dan melupakan segalanya malam ini)
Sadajiwa : Mau nginep?
(Sadajiwa terdengar bingung, tapi bukannya mempertanyakan permintaan tiba-tiba itu, dokter magang itu menjawabnya dengan pengertian)
Sadajiwa : Oke
Ishana : Oke?
(Ishana memastikan, tak memercayai pendengarannya yang sedang tak fokus)
Sadajiwa : Ya, aku bilang oke. Dimana kamu sekarang? Apa kamu mau dijemput? Atau kamu mau pergi ke rumahku sendirian?
(Ishana tertawa pelan dan melihat ke sepatunya sambil malu-malu)
Ishana : Sebenernya, aku udah nggak punya mobil lagi
(Ishana menendang sebuah batu, mengambilnya lalu membuatnya jatuh ke jalanan)
Ishana : Dan aku juga nggak punya uang. Jadi, ya, tolong jemput aku. Aku berada di suatu tempat ... di jalanan Menteng...