Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SCENE 61 INT KAMAR NO 8
Cast. Dayana, Sadajiwa
Sadajiwa : Hai
(Dayana merasakan kehadiran Sadajiwa lebih dari sekadar mendengarnya, karena sekali lagi kegelapan pekat kamarnya menghilang oleh semburan cahaya terang yang tiba-tiba)
(Dayana berbalik dari jendela lalu melihat Sadajiwa berdiri di ambang pintunya, ponsel ramping terselip di dalam saku celana jeans depannya)
Sadajiwa : Hai
(Sadajiwa menyapa kembali dengan tenang, pikiran Dayana tak fokus saat matanya tertuju pada benda kecil itu. Sadajiwa melangkah maju dan memberikan ciuman di bibirnya, memeluknya dengan sedikit pelukan)
(VO Dayana) Kopi... Tentu aja mereka bertemu lagi sambil minum kopi. Semua bau kopi di hari sebelum-sebelumnya mungkin berasal dari kencannya dengan Ishana juga. Bukan salah Sadajiwa juga sih...
(Dayana telah memberikan akses bebas pada Sadajiwa kalau ia bisa bertemu dan berbicara dengan Ishana selama ia tidak menyebutkan atau bertanya tentang hubungannya dengan Ishana)
(Tapi tetap saja, itu sebelum Dayana tahu siapa Ishana dihidup Sadajiwa. Sebelum dia menyadari bahwa saudara tirinya itu adalah orang yang selama bertahun-tahun dirindukan dan diimpikan Sadajiwa. Yang Sadajiwa bicarakan dengan begitu banyak kekaguman dan yang digambarnya dan juga orang yang dinyanyikan dengan gitar oleh Sadajiwa)
(Dada Dayana sakit dan kepalanya berputar)
(VO Dayana) Ada berapa banyak hal yang kita rahasiain pada satu sama lain?
Sadajiwa : Kamu udah makan belum?
(Sadajiwa meletakkan tasnya di meja samping tempat tidur dan duduk di kursi)
Sadajiwa : Jangan bilang kamu ngabisin waktu seharian sembunyi di sini sendirian lagi
Dayana : Aku udah makan
(Dayana terdiam, matanya masih tertuju pada saku Sadajiwa sampai ia memalingkan pandangannya dengan paksa dan melihat ke arah yang lain tanpa melihat Sadajiwa lagi)
Dayana : Kamu udah nemuin ponselnya?
Sadajiwa : Oh? Hm...
(Sadajiwa tersentak sedikit, meringis)
Sadajiwa : Udah ketemu. Gimana kabarmu?
(Dayana mengabaikan pertanyaan itu sekali lagi dan langsung mencari akar penderitaannya)
Dayana : Di mana kamu nemuinnya?
(Salah satu alis Sadajiwa terangkat dan mulai bingung karena Dayana terus-menerus tertarik pada ponselnya, dan dia mengutuk dirinya sendiri secara mental karena harus berbohong lagi)
Sadajiwa : Ketemu di meja perawat departemen neurologi, dan mereka cukup baik, jadi ponselnya disimpenin terus dikasihin ke aku lagi
(Senyuman sedih muncul di wajah Dayana, dan dia merasakan harapan terakhirnya jatuh dengan tragis)
(VO Dayana) Berbohong. Begitu banyak kebohongan di antara kita berdua. Berapa banyak kebohongan yang akan kita lakuin, Sada? Dan seberapa banyak kebenaran yang tersisa sehingga kita masih bisa bertahan?
Dayana : Adik tiriku pernah bilang kalau... cinta nggak boleh dipaksakan dan penuh dengan kebohongan...
(Gumam Dayana, Sadajiwa menatap Dayana layaknya ia sudah mengatakan sesuatu yang sama sekali tak masuk akal)
Dayana : Dia juga bilang kalau dalam hubungan itu harus ada kejujuran di dalamnya, dan hubungan seharusnya nggak boleh kaya gini
Sadajiwa : Apa?
(Tanya Sadajiwa, bingung)
Sadajiwa : Daya, kamu ngomong apa sih?
Dayana : Aku udah bunuh ayahku sendiri
(Dayana menjatuhkan bomnya, ia sudah terlalu lelah menjaga semua rahasianya dan Dayana hanya ingin berhenti berpura-pura)
(VO Dayana) Hentikan suara ini. Berhenti. Berhenti. Buat suara ini berhenti. Tolong hentikan semuanya!
Dayana : Aku membiusnya, mengguyurkan bensin padanya, dan membakarnya hidup-hidup...
(Dayana bertemu dengan mata Sadajiwa, yang sekarang terbelalak karena pengakuan tak terduga itu dan sudah menghancurkannya)
Dayana : Karena aku sangat membencinya dan aku mau ayahku sengsara
(Dayana tertawa kecil dan bersuara sedih)
Dayana : Aku bahkan menikam dan mencabik mata ibu tiriku dengan tanganku sendiri sambil membiarkan putrinya yang berusia dua belas tahun yang nggak bersalah menyaksikannya, karena aku juga membenci mereka berdua. Aku menikmati perasaan itu dan nggak peduli soal perasaan mereka semua
(Tatapannya tetap tertuju pada Sadajiwa saat ia mengucapkan kata terakhir yang disimpannya rapat-rapat)
Dayana : Dan anak yang berusia dua belas tahun itu adalah Ishana
(Sadajiwa menganga, pikirannya bingung dan jiwanya terlempar keluar dari tubuhnya)
Dayana : Ican. Ishana... adik tiriku dan sahabat lama terbaikmu itu
(Sadajiwa tergagap dan terlihat sangat terkejut sehingga Dayana tak tahu bagaimana Sadajiwa akan bertahan dari pernyataan berikutnya)
Dayana : Gadis yang kamu idamkan selama bertahun-tahun dan alasan kamu bohongin aku sekarang ini
(Sadajiwa melompat dari kursinya, tapi Dayana lebih cepat mundur selangkah)
Dayana : Aku tahu kamu berbohong demi kebaikanku. Kamu nggak mau kalau kita debat karena masalah yang kecil lagi. Kamu bukan pembohong, Sada — akulah penyebab kamu berbohong, karena betapa gila dan irasionalnya sikapku. Lagian aku juga membohongimu karena aku takut kamu bakal berhenti nganggap aku gadis yang manis dan baik hati lagi — gadis yang membuatmu jatuh cinta
(Tawa pahit keluar dari bibir Dayana sebelum menangis)
Dayana : Tapi, lucunya aku sebenernya dari awal emang bukan cewek manis dan baik kaya ekspektasimu. Aku itu pembunuh. Aku menunggu dan merencanakan pembunuhan itu dengan sangat teliti layaknya seorang psikopat dan aku menikmati setiap momennya. Aku orang gila, yang tega mencabik-cabik orangtuanya sendiri tanpa mengedipkan matanya bahkan saat aku baru berusia lima belas tahun
(Air mata mengalir di pipinya lalu Dayana mulai tertawa terbahak-bahak)
Dayana : Kamu harus pergi, Sada. Pergi jauh dariku. Suara ini ... suara mengerikan di dalam kepalaku... nggak akan pernah berhenti. Nggak ada obat di dunia ini yang mampu menghilangkan bisikan-bisikan ini dari kepalaku sepenuhnya. Bisikan itu udah jadi bagian dari diriku. Kesimpulannya, inilah aku...
(Dayana bertatapan dengan Sadajiwa sekali lagi, dan suaranya parau)
Dayana : Pergi, Sada
(Sadajiwa menelan ludah dan mencoba bicara, tapi Dayana menghentikannya)
Dayana : Enyah. Aku... udah muak dengan semuanya, apalagi yang bisa diselamatkan dari hubungan ini sedangkan kita berdua berbohong di depan wajah masing-masing. Dan aku juga udah capek berpura-pura jadi cewek normal yang sebetulnya bukan jati diriku
(Dayana melihat ke arah Sadajiwa dengan rasa sakit, dan kemudian mengucapkan kata-kata terakhirnya yang terasa seperti pil pahit di lidahnya)
Dayana : Kembalilah ke pelukan adik tiriku. Dia itu wanita sempurna dibanding aku
(Dayana meraih tas Sadajiwa, melemparkannya ke dalam dada Sadajiwa, dan kemudian mendorong Sadajiwa keluar dari kamarnya. Sadajiwa berhak menjalani kehidupan yang normal. Pintu dibanting hingga tertutup dengan keras dan Dayana menguncinya. Sunyi sepi dan hanya ditemani oleh bisikan di telinganya, Dayana menangis tanpa suara)
SCENE 62 INT DEPAN KAMAR NO 8, LOBI, DAN GERBANG GEDUNG
Cast. Sadajiwa, Bu Ningsih, Zafia
Bu Ningsih : Mas Sada, kamu nggak bisa masuk ke dalam
(Sadajiwa maju ke depan, mendorong penjaga gerbang untuk menerobos dengan paksa)
Bu Ningsih : Dia nggak mau ketemu sama Mas Sada
(Bu Ningsih menghela napas, nada suaranya perlahan naik)
Bu Ningsih : Saya udah ngasih banyak kelonggaran di masa lalu tapi kalau kamu terus buat masalah, saya nggak punya pilihan selain mengusir Mas Sada!
(Sadajiwa berhenti memaksa untuk beberapa saat dan menatap mata Bu Ningsih yang dingin)
Sadajiwa : Aku harus melihatnya. Kumohon, apa dia minum obatnya tepat waktu tanpaku? Apa dia nggak makan sama sekali? Dia membutuhkanku dan Bu Ningsih paham betul soal itu
Bu Ningsih : Mungkin aja!
(Bu Ningsih akhirnya berteriak, kesabarannya menghilang)
Bu Ningsih : Dengar, Nak, saya nggak tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua seminggu yang lalu tapi dia menegaskan kalau dia nggak mau melihatmu. Para perawat punya banyak masalah dalam menanganinya dan kami nggak butuh lebih banyak kekacauan karena kamu memutuskan untuk jadi mantan kekasihnya yang keras kepala!
(Sadajiwa menatapnya dengan sedih dan akhirnya suaranya berubah menjadi permohonan yang lebih lemah)
Sadajiwa : Kumohon. Aku harus melihatnya. Ada - masih banyak yang harus diomongin
Bu Ningsih : Maaf, Mas Sada
(Bu Ningsih menggeleng lelah dan menolaknya mentah-mentah)
Bu Ningsih : Aku nggak bisa biarin kamu masuk tanpa izinnya. Kamu bukan anggota keluarga. Silakan, silakan pergi aja dari sini
(Bu Ningsih mengira kalau Sadajiwa hendak meninggalkan tempat itu, tapi ketika Bu Ningsih berasumsi kalau dokter magang itu telah menyerah, Sadajiwa mengejutkannya dan nekat menerobos gerbang kamar Dayana)
Bu Ningsih : Penjaga!
(Dua pria berseragam dengan cepat menangkap Sadajiwa, dan sedetik kemudian Sadajiwa terjebak dalam pergulatan fisik yang tak bisa dimenangkannya)
Sadajiwa : Biarin aku masuk!
(Sadajiwa memohon, kedua lengan dan bahunya digenggam erat oleh penjaga. Sadajiwa meronta-ronta dengan sekuat tenaga tapi dia hanya seorang diri dan harus melawan kedua pria berotot baja itu)
(Mereka menyeret Sadajiwa keluar saat seseorang berlari melalui pintu depan dan menghentikan mereka dengan teriakan panik)
Zafia : Oi! Tunggu! Tunggu! Berhenti!
(Zafia melesat ke lobi dengan kecepatan yang sangat tinggi, mantel putih berkibar liar saat ia merangkul tubuh Sadajiwa dari belakang)
Zafia : Aku yang bisa kendaliin dia! Aku aja yang bawa dia keluar! Tolong, jangan lakukan sesuatu yang kasar padanya
(Orang-orang itu saling memandang dengan ragu, dan Zafia memberi mereka anggukan meyakinkan sebelum menarik temannya yang putus asa itu keluar dari bangsal psikiatri)
Zafia : Ngapain sih?
(Zafia membombardir Sadajiwa begitu mereka keluar dari bangsal psikiatri, matanya menatap pria yang lebih pendek itu dengan tak percaya)
Zafia : Kamu nggak bisa dihubungi selama seminggu dan tiba-tiba kamu lari ke rumah sakit dengan penampilan seperti pria gila? Bercerminlah!
(Zafia menunjukan jarinya ke arah penampilan acak-acakan Sadajiwa, menarik dan menghembuskan napas dengan kasar)
Zafia : Aku nggak percaya waktu Prianka bilang kalau kamu nerobos gerbang utama pakai setelan hoodie kusut dan celana olahraga! Apa-apaan ini, Sada? Selama seminggu aku nutupin keabsenanmu dan bohong sama rumah sakit kalau kamu lagi demam tinggi! Kamu nggak bisa ngelakuin hal seenak jidatmu kaya gini terus! Dewasalah!
(Sadajiwa menatapnya dengan linglung, masih tak fokus dan mulai bersendawa)
Sadajiwa : Zafia, aku harus melihatnya. Dayana... Aku harus melihat Dayana
Zafia : Nggak! Jangan bergerak sejengkal pun dari situ!
(Zafia mencengkeram pundak Sadajiwa lagi, menguncinya di tempat saat mata Zafia menembusnya tajam)
Zafia : Kamu nggak boleh ke mana-mana terutama di gedung ini! Kalau dokter departemen neurologi lihat kamu kaya gini setelah satu minggu cuti tanpa alasan, kamu bakalan gagal!
(Suaranya sedikit merendah saat melihat Sadajiwa yang begitu terpukul dan sengsara saat itu, dan Zafia luluh dibuatnya)
Zafia : Pulang dan ganti bajumu, Sada. Mandi, makan, dan pakailah setelan dokter dengan rapi. Aku tunggu kamu di departemen neurologi
(Zafia menepuk punggungnya, bernapas dengan lelah)
Zafia : Kita bahas Dayana setelah kamu balik ke sini dengan kewarasanmu