Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Anemoi
Suka
Favorit
Bagikan
32. Bagian 32

SCENE 63 INT KANTOR BU TITA

Cast. Bu Tita, Bu Ningsih

Bu Tita : Apa dia udah pergi?

(Murung Bu Tita di belakang mejanya, satu tangan menempel erat di dahinya saat desahan keluar dari mulutnya)

Bu Tita : Apa kamu ... mengusirnya?

(Bu Ningsih menggelengkan kepalanya, bersyukur karena tak perlu melakukannya)

Bu Ningsih : Zafia datang menjemputnya sebelum saya sempat mengusirnya

Bu Tita : Syukurlah...

(Senyuman bahagia tapi sedih terlihat di wajah Bu Tita, dan ia bergumam pelan seolah berbicara pada dirinya sendiri)

Bu Tita : Aku selalu tahu kalau kedua bocah itu sangat cocok, Zafia dan Sadajiwa hubungan mereka unik dan menyenangkan buat dilihat...

(Bu Ningsih tersenyum kecil dan sepertinya bersimpati pada Bu Tita)

Bu Ningsih :  Kamu merindukan mereka

Bu Tita : Ya... tentu aja. Mereka itu dokter magang paling kekanak-kanakan yang pernah saya temui... Tapi mereka juga anak-anak yang baik

(Bu Tita tampak tersesat di dalam pikirannya lagi dan senyum sedih lainnya muncul)

Bu Tita : Kabar Dayana gimana belakangan ini?

Bu Ningsih : Nggak baik

(Bu Ningsih memberi tahunya dengan penuh penyesalan, raut wajahnya menjadi gelap)

Bu Ningsih : Para perawat bilang Dayana menolak minum obatnya dan dia sangat nggak responsif terhadap segalanya. Dia nggak pernah keluar dari kamarnya atau ngomong sama siapa pun sejak minggu lalu

(Bu Tita mengangguk, sekali lagi memijat keningnya dengan lelah)

Bu Tita : Terima kasih. Saya akan memeriksanya sendiri

SCENE 64 INT KAMAR NO 8

Cast. Dayana, Bu Tita

(Rasanya seperti déjà vu ketika Bu Tita masuk ke kamar Dayana dan menemukan gadis berambut hitam itu duduk diam di tempat tidurnya dengan pandangan yang hampa dan mulutnya bergumam semacam nyanyian yang tak jelas)

(Hal itu mengingatkan Bu Tita pada awal-awal gadis itu masuk RSJ, mengurung diri di kamarnya dengan ekspresi mengerikan yang tampak sepuluh tahun lebih muda tapi sama dinginnya)

(Bu Tita beringsut lebih dekat pada Dayana, tapi ia mendengar suara aneh yang digumamkan Dayana berulang kali)

 

Bu Tita : Dayana?

(Dayana tak memandangnya, dan bahkan tak mendengar panggilannya)

Bu Tita : Dayana...

(Bu Tita menepuk pundaknya, dan gadis ODGJ itu akhirnya menatapnya dengan mata lebar)

Bu Tita : Kamu lagi ngapain, Daya?

(Bu Tita bertanya dengan cemas, kekhawatiran dan rasa bersalah mencengkeram pangkal perutnya)

Bu Tita :  Kamu ngomong sama siapa?

(Dayana menatapnya tanpa jiwa dan berkedip)

Dayana : Itu lirik lagu

(Tangan Bu Tita turun dari bahunya dan begitu pula kerutan di wajahnya)

Dayana : Itu lirik lagu yang biasa dinyanyiin sama ibuku saat aku merasa kesal...

(Dayana berbalik untuk menatap jendela lagi, mengenang masa lalu dengan tatapan dingin)

Dayana : Seperti saat aku pulang ke rumah dengan sangat putus asa karena hampir mukulin beberapa teman sekelasku sampai mati

(Bu Tita duduk di sampingnya perlahan)

Bu Tita : Kenapa?

Dayana : Karena mereka ngejek aku

(Senyuman lembut dan pahit keluar dari bibir Dayana saat ingatan akan masa kecilnya yang bergejolak dan penuh kekerasan kembali menghampirinya)

Dayana : Karena mereka ngatain aku orang aneh dan ternyata hal itu mendekati kebenaran, dan aku juga nggak tahu cara nanganin kegilaanku saat itu...

(Bu Tita menunduk dan suaranya terdengar pelan)

Bu Tita : Kamu sekarang jauh lebih baik daripada sebelumnya, Daya. Jangan nyalahin diri kamu sendiri terus-menerus

Dayana : Sungguh?

(Dayana menatapnya dengan tatapan kosong dan mendelik)

Dayana : Aku masih merasakan dorongan itu... dorongan dari dalam diriku untuk menghancurkan sesuatu dan meledak setiap kali aku mengalami sedikit kesedihan. Itu... membuatku frustrasi dan kadang aku kewalahan. Kamu pasti paham, ibuku pernah berkata kalau aku akan jadi lebih baik seiring bertambahnya usia, tapi gimana kalau ternyata nggak?

(Dayana menangkap pandangan Bu Tita untuk waktu yang lama, dan kepala dokter itu sontak menunduk, hatinya campur aduk)

Dayana : Gimana kalau aku nggak pernah sembuh, Bu Tita? Jujur aja, tanpa obat-obatan, bisa nggak aku keluar dari sini — suatu hari nanti dan hidup seperti orang normal? Bisa nggak aku punya kerjaan, menikahi... seseorang, dan membesarkan anak-anakku seperti orang lain?

(Bu Tita menelan ludah, dan sekali lagi jawabannya masih parau)

Bu Tita :  Kamu bisa lakuin semua itu kalau kamu berjuang lebih keras lagi

Dayana : Bohong

(Dayana tertawa, mengalihkan pandangannya lagi ke jendela karena kenyataan terlalu berat untuk dipahami)

Dayana :  Saat aku nggak minum obat-obatan itu rasanya aku seperti tentara cacat yang memakai kursi roda. Setiap galau, suara-suara itu kembali lagi bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Mereka nggak pernah benar-benar pergi. Mereka cuma terkubur dalam diriku ini karena efek dari obat-obatan sampai aku terpeleset pada masalah yang sepele lagi, suara itu tetap akan menghancurkan, dan menghancurkan semua hal dalam diriku

(Tatapan Dayana tetap skeptis saat ia bergumam)

Dayana : Aku akan selalu jadi gadis impulsif dan paranoid yang berjalan di garis tipis antara kewarasan dan kegilaan di setiap harinya

(Suara Bu Tita menjadi sangat pelan hingga ia hampir berbisik)

Bu Tita :  Itukah alasanmu melepas Sadajiwa?

(Dayana tampak tertegun selama sepersekian detik tapi sikapnya yang sedingin es dengan cepat pulih kembali layaknya sebuah topeng)

Dayana : Sadajiwa pantas dapetin yang lebih baik. Dia nggak punya masa depan denganku sementara aku terkurung di sini, selamanya

(Kepala Bu Tita tertunduk begitu rendah hingga wajahnya tertutup separuh rambutnya. Setelah keheningan yang abadi, Bu Tita mendapatkan cukup keberanian untuk bicara)

Bu Tita : Ibu tirimu menelepon

(Dayana mengalihkan pandangan ke arahnya, akhirnya bisa fokus pada Bu Tita)

Bu Tita : Itu panggilan pertama setelah... sekian lamanya

(Bu Tita sedikit gelisah, berharap kegugupannya tak diperhatikan Dayana)

Bu Tita :  Biasanya cuma sekretaris yang bicara dengan kami soal biaya bulananmu

Dayana : Dia ngomong apa?

(Telapak tangan Bu Tita berkeringat. Kata-kata itu terasa seperti duri mati yang menyeret tenggorokannya)

Bu Tita : Dia menyuruhku untuk memindahkanmu ke rumah sakit lain

(Keheningan yang memekakkan telinga kembali menyelimuti ruangan, dan Bu Tita mengira Dayana akan meledak dengan reaksi marahnya, tapi hal itu tak terjadi. Dayana tetap diam seolah telah menduga hal ini sejak ribuan tahun yang lalu)

Dayana : Udah kuduga, pasti dia mau aku pindah dari sini

(Senyuman kecil yang menyakitkan muncul di wajah Dayana dan dia membuang muka dengan cepat)

Dayana : Ishana pasti ngasih tahu dia soal aku. Nggak masalah. Mungkin itu yang terbaik. Aku bisa memulai hidup yang lebih baik di tempat baru dan semua orang bisa lupain aku

Bu Tita : Dayana, tolong jangan ngomong kaya gitu –

Dayana : Nggak apa-apa, Bu Tita

(Dayana berbalik lalu menatapnya tanpa emosi)

Dayana : Kamu nggak perlu ngerasa bersalah soal itu. Kamu cuma menjalankan pekerjaanmu. Wanita itu wali sah aku

(Bagian di dalam hati Bu Tita sakit, dan untuk sesaat dia berharap dengan keras kalau Dayana tak begitu baik padanya. Bu Tita harap akan ada yang memukul dirinya sendiri sebagai ganti kesalahannya)

Dayana : Aku pasti bakalan kangen

(Kata-kata itu menusuk perut Bu Tita lebih keras, membuatnya merasa sepuluh kali lebih sakit dan lebih jahat. Bu Tita ingin bumi menelan seluruh tubuhnya, hidup-hidup)

Dayana : Kamu satu-satunya yang konstan dalam hidupku selama sepuluh tahun ini. Kamu membantuku sejak awal, mengatasi semua kegilaanku dan selalu dengerin aku, walaupun aku benci diriku sendiri

(Dayana tertawa ringan saat mengingatnya, lalu bergumam pelan)

Dayana : Kaya waktu itu saat aku bersikeras nggak mau dipanggil dengan nama asliku karena aku sangat membenci ayahku sehingga kamu ngasih aku nama ini, nama Dayana ini ngasih aku kekuatan baru

(Bu Tita merasa sakit diperutnya semakin dahsyat dan napasnya tersengal-sengal — Malu. Dia merasa sangat malu. Dan tak ada yang mampu menyelamatkannya dari aib ini bahkan sampai kematiannya datang. Bu Tita akan menanggung rasa bersalah itu selamanya dan dia pantas mendapatkannya)

Bu Tita : Ibu juga pasti bakal kangen sama kamu

(Bu Tita berkata di akhir, masih parau)

Bu Tita :  Mudah-mudahan kamu akan menemukan kedamaian di tempat barumu itu, Dayana. Hiduplah dengan baik. Ibu akan selalu... mengingatmu di sini

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar