Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SCENE 47 EXT JALAN RAYA DAN KAFE
Cast. Sadajiwa dan Ishana
(Lalu lintas macet. Sadajiwa mengumpat secara mental saat turun dari bus pada pukul 18.20)
(Ishana, kalau dia masih suka on time seperti dulu, pasti sudah menunggunya cukup lama. Tadinya Sadajiwa ingin menunjukkan versi dirinya yang lebih baik, tapi nyatanya dia masih lambat seperti di sekolah menengah)
(Sadajiwa berhenti di depan kafe, napas tertahan dan dahi berkeringat karena berlari dari halte. Tangannya bertahan di atas pegangan pintu tanpa bergerak. Sadajiwa mendorong pintunya ke depan sebelum bisa berubah pikiran)
(Hembusan AC menghantamnya dengan dingin, tapi Sadajiwa mendapati dirinya semakin cemas karena tak menemukan sosok yang dikenalnya duduk di dalam)
Pelayan : Selamat datang, Mas. Apa anda sedang mencari meja untuk satu orang?
Sadajiwa : A-Aku sedang mencari temanku. Apa anda kebetulan melihat wanita berambut pirang dengan matanya yang sipit—
(Sadajiwa berhenti. Ishana mungkin saja sudah mengubah warna rambutnya. Kebodohan macam apa itu. Sadajiwa mengutuk dirinya sendiri saat melihat ke sekeliling dengan gugup, berharap bisa melihat sosok yang sudah dikenalnya sebelum pelayan itu mengusirnya karena bersikap aneh)
Sadajiwa : Maksudnya, apa anda melihat wanita yang sangat cantik-
Ishana : Sadajiwa!
(Sadajiwa berbalik dan merasakan jantungnya berdegup kencang saat pemandangan yang sangat familiar namun sangat berbeda itu akhirnya menyambutnya. Ada blazer hitam tergantung rapi di atas kaos dalam putihnya dan skinny jeans hitam memeluk kakinya dengan ramping. Ishana terlihat jauh lebih dewasa dan elegan dari yang terakhir diingat Sadajiwa. Namun, ketika bibirnya melengkung lebar, senyum sendu khasnya terpajang saat ia berlari, Sadajiwa mau tak mau merasa seperti kembali ke ‘rumah’)
Sadajiwa : Is-ishana...
(Kata-katanya kacau dan gagap persis seperti pertama kali diberikannya pada gadis itu bertahun-tahun yang lalu, di baris terakhir kelas mereka ketika dia terlalu malu untuk melihat siswa baru)
Ishana : Lama nggak ketemu, kamu... kamu tampak hebat
(Jawaban Ishana seperti sebuah pelukan. Pelukan besar dan hangat yang membuat Sadajiwa terenyuh)
Ishana : Kirain kamu nggak bakalan dateng...
(Suara Ishana terdengar tulus sekaligus mengharukan pada saat yang sama dan Sadajiwa mendengar dengusan teredam sebelum Ishana memeluknya)
(Saat pelukan ramah itu berakhir, Sadajiwa melihat mata Ishana merah dan berkilau)
Sadajiwa : Ma-maaf, lalu lintasnya macet dan aku... aku-
Ishana : Kamu terlambat seperti biasanya
(Gadis itu meninju lengan Sadajiwa, tertawa pelan, dan Sadajiwa mendapati kegugupannya perlahan menghilang. Kehangatan membanjiri dirinya seperti teman lama yang baik dan senyum manis terbentuk di bibirnya)
Sadajiwa : Ya, aku masih suka terlambat kaya dulu
Ishana : Untungnya aku masih sabar dan pengertian kaya dulu juga
(Ishana bercanda dan menyeretnya dengan cepat ke meja mereka, bertindak seolah-olah tujuh tahun terakhir tanpa kehadiran satu sama lain bukanlah apa-apa)
Ishana : Kopi susu?
(Ishana mengangkat alisnya dari menu dan Sadajiwa tertawa kecil)
Sadajiwa : Iya. Kamu masih ingat favoritku
Ishana : Aku masih ingat semuanya, kamu nggak suka minuman pahit karena seleramu kaya bayi dan suka memakai sepatu kets usang dan hobi banget koleksi celana jeans robek
(Sadajiwa memandang ke bawah ke pakaiannya yang tak terlalu bagus itu dan tertawa gugup, tiba-tiba merasa seperti petani di seberang wanita yang anggun dan rapi itu)
Sadajiwa : Aku nggak terlalu merhatiin apa yang kupakai karena kalau di rumah sakit bajuku berubah jadi jubah putih
Ishana : Rumah Sakit...
(Suara Ishana melemah saat ia mundur untuk mengamati Sadajiwa. Pria itu tiba-tiba merasa bersyukur atas secangkir kopi yang dibawakan oleh pelayan untuknya. Ishana menatapnya dengan intens)
Ishana : Jadi, akhirnya kamu benar-benar kuliah jurusan kedokteran
(Ishana tersenyum. Sadajiwa mendongak dari kopinya dengan kebingungan)
Ishana : Kamu menepati janjimu sementara aku nggak menepatinya
(Pikirannya samar-samar kembali ke janji konyol yang mereka buat di atap sekolah ketika mereka masih jauh lebih muda dari sekarang)
Sadajiwa : Oh itu. Nggak usah khawatir. Bukan salahmu juga aku ngambil jurusan lubang neraka ini. Ayahku memaksaku, ingat?
(Sadajiwa tertawa gugup. Ishana menyeringai sambil meletakkan dagunya di atas kedua tangannya)
Ishana : Bagus, jadi aku nggak merasa terlalu jahat
(Sadajiwa melihat kopinya lagi)
Ishana : Gimana kabarmu, Sada? Gimana hidupmu? Gimana sekolah kedokteran? Ceritain semuanya. Aku penasaran
(Ishana terdengar sangat tertarik, jadi Sadajiwa tertawa pelan sebelum memulai)
Sadajiwa : Menyenangkan, aku lagi magang tahun terakhir dan cuma butuh magang di beberapa departemen tersisa sebelum akhirnya nerima gelarku. Agak sulit pada awalnya karena nggak pernah sungguh-sungguh menyukai sains dan aku bisa aja menukar buku kedokteran dengan gitar kapan aja, tapi itu ... nggak pernah terjadi...
(Sadajiwa menggigit bibirnya)
Sadajiwa : Gimana kabarmu, Shan? Apa kabar?
(Mata Ishana tampak membelalak sepersekian detik dan Sadajiwa bertanya-tanya mengapa. Namun Sadajiwa langsung tahu)
Ishana : Shan... udah lama sekali sejak seseorang memanggilku seperti itu
(Ishana tersenyum, terdengar senang karena Sadajiwa masih memanggilnya dengan nama lamanya secara alami. Sejujurnya Sadajiwa juga terkejut dengan betapa nyamannya itu meluncur dari lidahnya. Mungkin, jarak dan waktu tak pernah jadi masalah bagi sebagian orang. Mereka berbicara seolah tak pernah berpisah, mengisi cerita satu sama lain semudah dan semulus tahun-tahun yang lalu. Ishana menjelaskan bagaimana dia masuk ke jurusan bisnis daripada sekolah kedokteran karena ibunya sudah tua dan ingin Ishana melanjutkan perusahaan mereka)
(Dia masih sama dengan Ishana yang menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhannya sendiri dan Sadajiwa mau tak mau menggelengkan kepalanya dengan senyum manis. Di tengah obrolan panjang dan ceria mereka, Sadajiwa menyadari bahwa hal yang paling ditakutinya perihal datang ke sana adalah betapa mengerikan atau canggungnya mereka setelah perpisahan yang tak terucapkan bertahun-tahun lalu. Namun, itu ternyata kekhawatiran yang sama sekali tak berguna, karena Ishana tak akan pernah membuatnya merasa tak nyaman)
(Itulah yang membuat mereka menjadi sepasang teman yang tak terpisahkan bertahun-tahun yang lalu, sampai Sadajiwa memutuskan untuk menyukai temannya itu)
Sadajiwa : Kenapa kamu pergi tujuh tahun lalu tanpa pamit, Shan?
(Suara Ishana telah mereda dari gelak tawa yang mereka bagi beberapa waktu lalu dan Sadajiwa tahu bahwa bagian sebenarnya dari pertemuan ini akhirnya telah tiba. Ishana mengaduk cangkirnya yang sekarang kosong saat Sadajiwa melanjutkannya)
Sadajiwa : Kamu pergi tanpa mengatakan apapun. Kamu pindah rumah, kamu pindah sekolah, aku bahkan nggak bisa menelepon nomor lamamu karena kamu menonaktifkannya
(Ada rasa bersalah yang menggerogoti dada Ishana dan ketika Ishana menyadari betapa terpukulnya Sadajiwa akan hal itu)
Sadajiwa : Aku merindukanmu, kamu harus tahu. Aku sangat putus asa saat mencarimu. Tapi kemudian, sebagian dari diriku takut kamu benar-benar nggak mau melihatku lagi. Misalnya, kamu nggak mau ditemui? Aku khawatir selama bertahun-tahun kalau kamu masih marah sama aku...
(Sadajiwa mundur sedikit di kursinya dan dia tampak begitu murung, Ishana ingin mengulurkan tangannya)
Ishana : Aku nggak marah, Sada. Aku nggak mungkin marah sama kamu. Aku pergi karena ibuku yang menyuruhku untuk pergi. Aku juga merindukanmu...
(Sadajiwa menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan Ishana tersenyum sayang)
Sadajiwa : Jadi ... kita baik-baik aja? Kamu nggak benci sama aku karena pengakuanku sebelumnya?
(Pikiran Sadajiwa kembali ke bayangan temannya bertahun-tahun yang lalu, berdiri di lorong dengan bunga ditangannya—Sadajiwa menyatakan cinta pada sahabatnya. Walau Ishana telah merobek hati Sadajiwa, ternyata Ishana tak mampu menyakiti hati temannya tanpa menyakiti dirinya sendiri juga)
Ishana : Ya, kita baik-baik aja, dan nggak, aku nggak membencimu
(Mata sendu Ishana berseri lagi dan Sadajiwa membiarkan tangannya yang hangat menemukan tangan Sadajiwa di atas meja saat Ishana menatapnya dengan cermat. Mata yang sama yang membuat perutnya terbalik bertahun-tahun yang lalu sekarang hanya memberinya kenyamanan bersahabat. Sadajiwa berpikir begitulah seharusnya mereka, sahabat selamanya)
Ishana : Wow, waktu berlalu begitu cepat
(Kata Ishana sambil melihat ke langit yang gelap di luar kafe. Sadajiwa hampir melompat berdiri ketika ingat bahwa jam malam Dayana sudah lewat)
(Sadajiwa merapikan barang-barangnya dengan terburu-buru dan Ishana tertawa renyah)
Ishana : Mau pergi ke suatu tempat?
Sadajiwa : Ya sebenernya, dan sial, aku terlambat lagi
(Sadajiwa mengerutkan kening pada arlojinya dan Ishana hanya terkikik pelan)
Ishana : Mau aku anterin nggak? Mobil sport mahalku mampu berlari satu mil dalam beberapa menit aja
(Ishana menggodanya, iseng. Sadajiwa mendecakkan lidahnya, mempertimbangkan sebentar, sebelum mengangguk setuju)
Sadajiwa : Ya, kayanya itu pilihan paling aman
SCENE 48 EXT GERBANG RSJ
Cast. Sadajiwa, Ishana, Dayana
(Saat itu jam 9 malam. Sudah satu jam melewati jam malam rumah sakit. Setiap orang yang bukan perawat, dokter atau magang yang bertugas sudah diminta pulang sejak satu jam yang lalu. Dayana bersembunyi di sekitar gerbang gedung psikiatri sendirian, memeluk tubuhnya sendiri untuk melindungi diri dari hawa dingin yang menggigit. Tubuhnya bergoyang-goyang seperti besi di lapangan rumput)
(Dayana bertanya-tanya apa yang membuat Sadajiwa keluar begitu lama. Pikiran paranoidnya memikirkan kecelakaan seperti tabrakan mobil, tapi dia segera mengatakan pada dirinya sendiri untuk berhenti menjadi orang aneh yang cemas berlebihan)
(VO Dayana) Sada mungkin aja terjebak kemacetan
(Sebelum Dayana memikirkan hal-hal yang lebih menakutkan, untungnya, suara Sadajiwa muncul dari kejauhan di luar gerbang yang terkunci. Tapi, ada suara lain di belakangnya. Suara seorang gadis)
Sadajiwa : Shan, aku udah aman kok. Kamu nggak perlu nganterin sampe gerbang
(Sadajiwa terkekeh, ringan dan bahagia, dan Dayana merasa kecemburuan mulai mengaum lagi di kepalanya. Dayana hampir tak menyadari nama yang terdengar terlalu familiar – dan ada suara yang terdengar lebih familiar – memukul gendang telinganya)
Ishana : Aku cuma penasaran seperti apa tempat kerjamu! Selain itu, wow, rumah sakit memang terlihat menyeramkan di malam hari
(Dayana membeku. Balasan terlalu bahagia yang Sadajiwa berikan nyaris tak tercatat di kepalanya saat pemandangan gadis itu akhirnya terbayang di depannya)
(Beberapa meter dari gerbang, dengan punggung Sadajiwa menghadapinya sementara wajah gadis lain terlihat olehnya, Dayana berhenti bernapas seolah-olah air dingin dipaksa turun ke pipa udaranya. Napasnya tersengal-sengal dan matanya membelalak ketakutan saat ia dengan cepat berbalik. Tangannya gemetar hebat di sampingnya saat mendengar gadis yang dulu terlalu dikenalnya itu berbicara dengan Sadajiwa lagi)
Ishana : Sampai ketemu lain kali? Masih banyak yang harus kita curhatin
Sadajiwa : Tentu. Dengan senang hati
(VO Dayana) Ican. Ican. Ican, saudara tiriku
(Dayana berlari kembali ke kamarnya sebelum Sadajiwa bisa melihatnya)