Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Anemoi
Suka
Favorit
Bagikan
33. Bagian 33

SCENE 65 INT RUMAH SADAJIWA

Cast. Ishana, Sadajiwa

Sadajiwa : Kapan kamu pertama kali bertemu dengannya?

(Ishana menatap sahabatnya dengan perasaan campur aduk yang tak terlukiskan, terpecah antara ingin melarikan diri dari situasi yang tak nyaman dan merasa tak enak karena keadaan Sadajiwa yang menyedihkan)

Sadajiwa : Berapa usiamu?

(Sadajiwa terus bertanya tanpa lelah, Ishana akhirnya menjawab)

Ishana : Sembilan. Umurku sembilan tahun. Kak Daya berusia dua belas tahun saat aku pertama kali bertemu dengannya. Orang tua kami menikah awal tahun itu, dan kami tinggal bersama selama tiga tahun

(Sadajiwa mendengarkannya dengan penuh perhatian sambil menghela napas)

Ishana : Ceritanya panjang, Sada. Aku nggak bisa ngasih tahunya satu per satu. Kak Daya pikir ibuku mencuri ayahnya, aku nyoba deketin dia dan kita sempet deket layaknya saudara semestinya—setelah banyak usaha yang kulakukan, tapi semuanya hancur lagi saat dia membakar orang tua kami hidup-hidup dan mencabik-cabik mata ibuku — di hadapanku

(Sadajiwa memucat saat mendengar hal itu lagi, dan Ishana murung)

Ishana : Percayalah, kamu pasti nggak kuat dengerinnya, Sada

(Sadajiwa mengetuk meja dengan cemas)

Sadajiwa : Apa ... ibumu ... mencuri ayahnya?

(Ishana menatapnya dengan tegas seolah kecewa)

Ishana : Kalau pun itu benar. Bukan berarti dia berhak bunuh mereka berdua cuma karena itu, Sada. Hati gampang berubah dan pernikahan terkadang gagal, tapi kamu nggak pernah lihat para anak tiri berambisi memusnahkan orang tua baru mereka, kan?

(Ishana melihat temannya yang kalah berargumen dan menghela napas)

Ishana : Ada simbiosis mutualisme di antara ayah dan ibu. Ayah tiriku menginginkan... uang, dan ibuku menyukai ayah tiriku pada saat itu. Tindakan mereka salah, tapi kita nggak bisa membenarkan tindakan brutal Kak Daya...

(Wajah Sadajiwa terlihat murung, Ishana terenyuh melihat itu)

Ishana : Aku tahu kamu rela lakuin apa aja agar hatimu merasa lebih baik saat tahu soal tindakan brutalnya, bahkan mencari cara agar membenarkannya, tapi sungguh, Sada, terkadang ada hal-hal yang harus kamu terima sekali pun itu mengerikan

(Ishana berhenti, melihat ke arah Sadajiwa dengan ekspresi meminta maaf)

Ishana : Kamu harus bisa terima kalau orang yang kamu cintai itu ternyata nggak sempurna dan jauh dari apa yang kamu ekspektasiin selama ini

(Sadajiwa tampak seperti akan menangis saat ia menggelengkan kepalanya)

Sadajiwa : Aku... Aku nggak mikir sampai situ, oke? Cuma nggak masuk akal aja ngebayangin dia itu orang yang begitu ... mengerikan dan nggak berperasaan. Apa kamu nggak lihat ekspresi polosnya? Dayana begitu - sangat ketakutan, sangat lemah, dia bisa hancur cuma dengan sedikit sentuhan. Dia terkadang emosional dan meledak-ledak, tapi dia berjuang untuk mengendalikan diri. Dia bahkan benci sama sisi emosionalnya itu

(Sadajiwa mengalihkan pandangannya yang putus asa kembali ke temannya dan menangkupkan tangan si pirang untuk menyampaikan maksudnya)

Sadajiwa : Aku mengerti deritanya, Ishana — dan sejak malam pengakuannya... orang yang mengaku senang membunuh orang tuanya sendiri itu, sama sekali bukan dirinya. Aku nggak tahu dorongan apa yang bisa buat dia jadi agresif, apa itu stres yang berlebihan dari seorang anak yang merasa dikhianati atau manajemen diri yang kurang tepat, tapi aku yakin dia nggak bakalan lakuin hal itu kalau dia jadi dirinya sendiri

(Ishana menatapnya dengan sedih dan senyum muram tersungging di bibirnya)

Ishana : Nah, itu masalahnya, Sada. Dia bukan dirinya sendiri hampir di sepanjang waktu. Aku tahu itu, dan kamu juga tahu itu. Aku yakin kamu udah mengalaminya walau sebentar. Kamu cuma lagi berusaha menyangkalnya

(Wajah Sadajiwa menjadi sedih, dan setelah satu menit berlalu, suaranya jadi serak)

Sadajiwa : Apa kamu membencinya?

(Ishana tampak termenung sambil berpikir)

Ishana : Nggak. Benci adalah kata yang sangat kuat. Mungkin dulu, selama beberapa tahun, tapi sekarang udah nggak lagi. Sekarang aku cuma mau... menjauh darinya dan dari semua kenangan buruk itu

(Ishana bertemu dengan mata Sadajiwa lagi, senyuman menderita terpancar di wajahnya)

Ishana : Aku belum benar-benar memaafkannya atas apa yang dilakukannya, karena sama sepertimu, aku juga dulu pernah mempercayainya dengan sepenuh hati. Aku mempercayainya dan aku menyayanginya, dan rasa itu ternyata belum cukup kuat buat mengurungkan niatnya untuk menghancurkan keluarga kami

SCENE 66 INT KAMAR NO 8

Cast. Dayana, Ishana

(Dayana tak menyadari sudah jam berapa sekarang tetapi langit sudah gelap ketika Bu Ningsih mengetuk pintunya dan membawa seseorang yang tak ingin dilihatnya)

(Ishana berdiri di ambang pintunya yang terbuka, memandang ke sekeliling kamar tidurnya yang putih bersih, seolah sadar dan betapa suramnya bilik tertutup yang ditinggali saudara tirinya selama sepuluh tahun itu)

(Dayana merasa sesuatu yang mirip dengan belas kasihan atau kekhawatiran yang terpancar dari wajah murung adik tirinya itu, tapi dia tak bisa memastikan apa itu nyata atau Dayana hanya membayangkannya saja)

(Lagipula, Dayana telah ... kehilangan Ishana sejak lama)

Ishana : Nggak masalah kalau aku ditinggal di sini sendiri

(Dayana mendengar Ishana berkata, Bu Ningsih pamit dan keluar kamar dengan sopan. Ishana berbalik lalu menatapnya secara langsung, tapi meskipun Dayana bisa merasakan tatapannya, dia tak ingin membalas tatapan saudara tirinya itu)

Dayana : Kirain kamu nggak mau masuk

(Ishana menegang sedikit saat mendengar suara Dayana memecahkan kesunyian)

Ishana : Aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal

(Dayana meliriknya sedikit sebelum berbalik untuk menatap dinding lagi)

Dayana : Tentu aja

Ishana : Tentu aja?

(Alis Ishana terangkat, walau tidak mendapatkan tanggapan, Ishana memutuskan untuk segera mengabaikannya)

Ishana : Aku datang ke sini karena aku mau lupain semuanya dan melanjutkan hidup tanpa punya perasaan yang memuakkan ini lagi

(Dayana tak bergerak atau bersuara, dan saat detik demi detik berlalu dengan keheningan yang menakutkan, Ishana terpaksa melanjutkannya lagi)

Ishana : Kamu nggak pernah minta maaf sama aku...

(Mendengar itu, Dayana menoleh dan dia menatap lurus ke arah Ishana dengan ekspresi yang datar. Bukan karena tak terbaca tapi karena sudah mati)

Ishana : Kamu nggak pernah minta maaf padaku atas apa yang kamu perbuat. Bahkan setelah bertemu aku lagi setelah sepuluh tahun karena prioritasmu pada saat itu cuma menyuruhku pergi agar Sadajiwa nggak tahu soal hubungan kita...

(Dayana terus menatapnya selama beberapa detik, sampai Ishana bicara lagi dengan serak)

Dayana : Ini udah cukup kacau, hm? Terus? Kamu datang jauh-jauh ke sini cuma mau aku minta maaf?

Ishana : Apa menurutmu itu nggak perlu?

(Ishana terdengar sedih, meskipun Dayana mengatakannya tanpa niat jahat—tapi Dayana mengatakannya dengan ekspresi dingin)

Ishana : Kamu tahu apa? Lupain aja. Aku sangat, sangat bodoh karena udah mikir kalau Sadajiwa ada benarnya juga soal kamu. Kalau jati dirimu yang sesungguhnya emang tulus, aku sempat akan percaya kamu lagi. Walau kamu nggak pernah peduli sebelumnya. Bahkan nggak peduli sampai sekarang. Kamu hidup di dalam pikiranmu sendiri dan aku seharusnya nggak pernah berharap lagi

(Sorot mata Dayana redup saat itu, dan untuk sepersekian detik Dayana tampak hidup lagi)

Dayana : Sadajiwa ngomong gitu?

(Ishana tak diberi waktu untuk menjawab karena Dayana langsung mundur lalu mengalihkan pandangannya)

Dayana : Syukurlah kalau kalian berdua masih bertemu

Ishana : Jangan ngomong sesuatu yang maknanya nggak tulus

(Dayana menelan ludah dengan tenang dan melihat ke sprei-nya)

Dayana : Itu serius. Aku menyuruhnya buat milih kamu

(Mendengar itu, alis Ishana naik dan dia tampak marah)

Ishana : Kamu siapa, ya, berani mutusin hal itu buat kami berdua?

Dayana : Dia mencintaimu

(Dayana bersikeras, berkedip untuk menjaga wajahnya tetap tenang)

Dayana : Aku masih peduli sama kamu - dan aku nggak tahu kenapa...

(Dayana memandangi adik perempuannya dan suaranya merayap dengan datar lagi)

Dayana : Jangan bilang kamu juga nggak mencintainya karena udah jelas kalau kamu bohong

(Mulut Ishana menganga tapi Dayana memotongnya bahkan sebelum Ishana bisa menemukan kata-katanya)

Dayana : Kamu membuatnya sangat jelas karena kamu terlihat lebih terpukul oleh fakta kalau Sadajiwa berkencan denganku daripada pertemuan mendadak kita, Ican...

(Gadis yang lebih muda mulai pucat)

Dayana : Kita emang, sepasang saudara perempuan yang jahat, bukan?

(Dayana menatap mata Ishana dengan penuh kejujuran yang polos dan terus terang)

Dayana : Bukankah itu alasan kamu minta ibumu buat ngirim aku ke rumah sakit yang lain? Supaya aku bisa jauh dari Sadajiwa?

Ishana : Apa?

(Sekarang Ishana tampak bingung, cemberut seperti baru mendengarnya pertama kali)

Ishana : Maksudnya apa? Bukan aku yang nyuruh ibu

(Dayana berkedip sebentar, dan matanya menunjukkan sedikit emosi - kebingungan - untuk pertama kalinya hari itu)

Dayana : Bukan kamu?

Ishana : Bukan aku

(Ulang Ishana, sama terkejutnya dengan Dayana)

Dayana : Tapi tadi kamu bilang kamu datang mau ngucapin selamat tinggal –

Ishana : Karena aku rencananya mau berhenti berkunjung ke sini

(Ishana berkata tanpa berpikir)

Ishana : Maksudnya aku mau nyelesain masalah di antara kita selama ini, dapetin closure, dan lanjutin hidup lagi

(Dayana berkedip perlahan, seolah seluruh kata itu tak masuk akal baginya)

Dayana : Jadi ... ibumu mindahin aku atas dasar keinginannya sendiri...?

(Kerutan terlihat di wajah Ishana)

Ishana : Dia nggak suka kalau aku ada di deket kamu. Aku sih nggak kaget.. Dulu juga ibulah yang nyuruh aku ninggalin rumah pada malam tragedi itu

(Dayana menjadi pucat saat potongan informasi baru itu meletus ke permukaan)

Dayana : Apa?

Ishana : Malam itu. Malam berdarah itu saat kamu memutuskan untuk membakar semuanya dan membunuh semua orang, ingat?

(Mengabaikan sedikit rasa sakit dan sarkasme itu, Dayana tambah bingung)

Dayana : Tapi paginya kamu masih ada di dalam rumah, aku ingat itu. Nggak mungkin kalau dia nyuruh kamu ninggalin rumah pas malemnya, tepat beberapa jam sebelum aku... membakar rumah?

(Ishana mengangguk dan memberinya senyuman sedih)

Ishana : Mungkin itulah takdir yang terbaik, kan? Kamu bakalah bunuh aku juga kalau ibu nggak nyuruh aku pergi. Itu mungkin hanya naluri seorang ibu ... Firasat yang tepat

(Dayana memucat karena semua darahnya terkuras ke dalam pikiran negatifnya)

(VO Dayana) Nggak...Nggak...Mustahil... Itu nggak mungkin terjadi secara kebetulan. Wanita sial itu pasti nyembunyiin sesuatu...

Ishana : Ayah menyesal udah berencana masukin kamu ke RSJ. Dia mau kamu tetap tinggal di rumah. Ayah mungkin udah bersikap buruk sama kamu tapi dia mau kamu tetap bersamanya. Ayah yang berdebat dengan ibu supaya kamu nggak jadi dimasukin ke RSJ, pada hari berdarah itu — sebelum malamnya kamu mengamuk

(Dunia Dayana hancur dan terbalik hanya dalam itungan detik. Bayangan yang meresahkan muncul di belakang pikirannya dan dia merasa mual)

(VO Dayana) Kumohon... Jangan sampai itu benar

Dayana : Aku nggak punya...

(Dayana berhenti, terengah-engah seolah tenggorokannya telah hancur)

Dayana : Aku nggak punya – rencana buat nyakitin kamu - malam itu aku meninggalkan kamarmu gitu aja-

(Dayana bertatapan dengan Ishana lagi, dan gadis yang lebih muda itu tampak sama bingungnya dengan Dayana)

Dayana : I-ishana, bilang sama aku... Apa kamu yang ... nelepon polisi malam itu?

(Ishana menggelengkan kepalanya, dan Dayana merasa ingin muntah. Empedunya naik ke tenggorokannya)

Ishana : Bukan aku

(Kata gadis yang lebih muda, semakin bingung)

Ishana : Aku sih selalu bersyukur, untung aja polisi muncul sangat cepat

(Semuanya tampak buram, dan Dayana merasakan kegelapan yang dingin meresap ke setiap pori-porinya seperti merayakan kejahatan lampau, the real evil)

(Suara di telinga Dayana tertawa keras, dan dia merasa takut mendengarnya)

(VO Dayana) Sepertinya ada seseorang yang sedang dipermainkan...

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar