Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SCENE 71 INT Restoran
Cast. Bu Tita dan Ibu Ishana
Ibu Ishana : Silakan pilih dulu pesananmu
(Bu Tita duduk di seberang wanita berjas abu-abu itu dengan kaku, berdehem)
Bu Tita : Terima kasih. Saya sedang nggak mau makan saat ini. Saya datang ke sini untuk berbicara
(Ibu Ishana bersandar di kursinya, dan tanpa menyentuh buku menu yang mewah tersebut, ia memberi isyarat pada pelayan untuk menuliskan pesanannya)
Ibu Ishana : Tolong, ambilkan sebotol wine...
(Pria rapi itu mengangguk dan pergi setelah pamit dengan sopan)
Ibu Ishana : Jadi...
(Wanita tua itu memulai, beristirahat di kursinya dengan mata tertutup oleh bayangan gelap seperti biasanya)
Ibu Ishana : Apa yang ingin kamu bicarakan, Tita?
(Anehnya Bu Tita merasa terintimidasi dan harga dirinya runtuh saat wanita tua itu tak memanggilnya 'dokter' di depan namanya. Bu Tita merasa seperti kembali menjadi gadis muda yang dikejar rentenir dan integritasnya pun hancur selamanya di depan uang ratusan juta - menikah muda adalah pilihan yang sulit, apalagi suaminya sakit-sakitan sejak SMA, cinta memang membutakan)
(Bu Tita menelan air liurnya sendiri)
Bu Tita : Aku ingin berbicara soal putrimu, Larasati
(Ibu Ishana tampak menolak keras)
Ibu Ishana : Aku hanya punya satu anak perempuan dan namanya Ishana
Bu Tita : Tolong jangan bicara seperti itu
(Tinju Bu Tita mengepal dan dia berjuang keras untuk menjaga suaranya tetap stabil)
Bu Tita : Kamu adalah satu-satunya keluarganya yang tersisa. Kamu itu wali satu-satunya
Ibu Ishana : Di atas kertas saja
(Wanita tua itu berkata tanpa ekspresi)
Ibu Ishana : Apa yang kamu inginkan, Tita? Saya datang ke sini bukan untuk mendengarmu berkhotbah tentang masalah keluarga saya
Bu Tita : Saya ingin kamu membatalkan permintaan pemindahan Larasati
(Bu Tita berkata tanpa berpikir, merasa seperti baru saja memuntahkan sebagian besar bebannya)
Bu Tita : Itu pilihan Larasati. Dia tahu segalanya sekarang. Dia tahu semua hal busuk yang kita lakukan dan saya yakin Ishana juga mengetahuinya. Selesai. Nggak ada gunanya mencoba memindahkannya sekarang hanya untuk menyembunyikan semuanya dari putrimu itu
(Ibu Ishana tampak jauh berpikir)
Ibu Ishana : Bukankah semakin banyak alasan untuk mindahin dia, bukan begitu? Aku nggak akan membiarkan Ishana berlari kembali padanya — dia mungkin masih segila sepuluh tahun yang lalu atau bahkan lebih. Larasati akan menyakiti anakku begitu melihatnya
(Bu Tita menatapnya lebar-lebar, sulit dipercaya)
Bu Tita : Apa kamu ... nggak punya hati nurani sama sekali? Setelah semua yang kamu perbuat padanya, kamu berhutang kesempatan padanya – setidaknya dia harusnya bisa membuktikan dirinya nggak gila dan psikopat, sepuluh tahun silam!
Ibu Ishana : Saya melakukan apa yang harus saya lakukan, Tita
(Ibu Ishana memotongnya, terdengar lelah dengan seluruh percakapan tersebut)
Ibu Ishana : Saya ingin melindungi Ishana seperti kamu ingin melindungi suamimu. Nggak ada yang senang jadi penjahat, kita hanya melakukan apa yang perlu dilakukan agar orang yang kita cintai tetap aman
(Bu Tita menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya)
Bu Tita : Kamu, lebih jahat dari orang lain, pahami dulu konsep itu sekarang
(Bu Tita menghela napas berat dan tak ingin menangis seperti anak kecil yang tak berdaya)
Bu Tita : Saya minta kamu untuk menghentikan transfer-nya karena saya memahami hal ini dengan sangat baik
(Ibu Ishana mengerutkan kening karena itu terdengar tak masuk akal)
Bu Tita : Ishana punya kamu untuk menjaganya tetap aman dan suamiku punya aku untuk menjaganya tetap aman. Tapi siapa yang Dayana punya?
(Suara Bu Tita bergetar sedikit dan tenggorokannya tercekat)
Bu Tita : Dia cuma punya satu pemuda yang menjaganya di rumah sakit dan sekarang kamu akan memisahkannya dari satu-satunya orang yang peduli padanya
(Bu Tita melihat ke pangkuannya, dan memohon)
Bu Tita : Tolong, jangan ambil bagian terakhir dari kewarasannya. Tolong, saya mohon
(Ibu Ishana terdiam untuk waktu yang lama)
Bu Tita : Kumohon, biarkan dia tetap di rumah sakit itu
Ibu Ishana : Apa kamu nggak takut sama dia?
(Bu Tita memandang perempuan tua itu dengan mata berkaca-kaca)
Ibu Ishana : Apa kamu nggak takut sama dia?
(Ibu Ishana mengulangi pertanyaannya)
Ibu Ishana : Dia pasti sangat marah sama kamu sekarang. Apa kamu nggak takut kalau harus menahannya di sana bersamamu? Dia bisa marah besar sama kamu dan juga pada setiap orang kapan saja dia mau. Meskipun saya ragu ada orang yang akan menganggap serius pasien gila kaya gitu, dia masih bisa menyakitimu secara fisik
(Bu Tita sangat marah atas tanggapannya)
Bu Tita : Saya nggak peduli!
(Bu Tita meludah, sangat muak)
Bu Tita : Kalau dia ingin menyakitiku, dia berhak melakukannya. Saya juga nggak peduli dengan posisi jabatan itu. Saya akan mundur dari pekerjaan ini atas kemauan sendiri. Saya bahkan bisa membusuk di penjara dan saya nggak masalah soal itu, saya hanya ingin memperbaiki kesalahan selama sepuluh tahun ke belakang!
(Bu Tita menatap wanita tua yang masih tenang itu dengan putus asa dan memohon)
Bu Tita : Tolong pikirkan tentang dia sekali aja dan biarkan dia tinggal di RSJ itu
SCENE 72 INT DEPARTEMEN NEUROLOGI
Cast. Dayana, Sadajiwa, Zafia
(VO Dayana) Jangan biarkan mereka lolos. Jangan pernah biarkan mereka lolos dari semua ini... Mereka membuatmu menderita sendirian di tempat ini selama sepuluh tahun... Sepuluh tahun kehidupanmu yang sudah dicuri dan sementara mereka semua berjalan di luar, hidup bebas dan terus berkembang... Kamu nggak bisa membiarkan mereka termaafkan begitu aja... Kamu harus membuat mereka membayar semuanya... Mereka ingin kamu jadi monster... Kamu harus memberi mereka pelajaran yang setimpal, Daya...
(Mata Dayana terbuka dan hal pertama yang dia lihat di atasnya adalah cahaya menyilaukan yang menembus kornea matanya seperti tombak ke tengkoraknya. Dia menutup matanya dan meringis, rasa sakit menjalari kepalanya dengan setiap gerakan kecilnya)
(Dayana mencoba mengangkat tangan untuk memegang kepalanya tapi gagal karena tertahan oleh logam dingin. Ada borgol di pergelangan tangannya)
Dayana : Brengsek
(Dayana mendesis keras, menggeram seperti binatang buas yang ditangkap di dalam kandang. Dia menarik borgol dengan keras dan meronta-ronta sampai seluruh tempat tidurnya bergetar. Logam itu menggigit kulitnya dan mengikis pergelangan tangannya)
Zafia : Eh, jangan!
(Dayana mendengar seseorang berteriak, diikuti rentetan langkah kaki yang terburu-buru)
Zafia : Dia udah bangun! Beri dia dosis obat penenang yang kuat lagi!
(Dayana melemparkan tatapannya ke sekeliling dan meringkuk di borgol itu sampai aliran darahnya terputus, menjerit dan menjerit dengan keras sampai pembuluh di kepalanya yang masih sakit mengancam akan meletus)
(Di tengah deliriumnya yang kabur dan wajah buram yang ditutupi topeng berbondong-bondong datang, dia melihat sepasang mata almond yang menatapnya dengan tatapan sedih. Itu anehnya mengingatkannya pada seseorang. Saat kesadaran perlahan menghilang darinya, Dayana pikir dia melihat mata coklat itu berkilau dengan lapisan air mata. Matanya sendiri berkaca-kaca kemudian, dan dia tertidur. Kembali ke kegelapan dan mimpi buruk yang sepertinya tak pernah berakhir)