Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SCENE 51 INT RUMAH LAMA DAYANA
Cast. Dayana, Ishana, Ibu Tiri Dayana, Ayah Dayana
*Flashback Dayana*
(Dan dengan kemarahan semesta alam. Tanahnya terbakar dan orang-orang di dalamnya seperti bahan bakar untuk api...)
(Ayah Dayana membuka mata dan dilihatnya asap hitam yang membakar. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan terbatuk dengan keras, tak hanya tersedak karena asapnya yang tebal tapi juga karena kaget)
(Di ujung tempat tidur berdiri putrinya yang berusia lima belas tahun, tersenyum dalam kegelapan dengan kepala miring ke satu sisi saat putrinya itu mengamatinya dengan tenang)
Dayana : Hai, Ayah
(Dayana menyapa ayahnya dengan manis. Semacam rasa dingin yang aneh mengalir di tulang punggung ayahnya saat melihat tampilan gigi yang sedikit muncul di antara seringai yang tak wajar itu. Senyumannya sangat menyeramkan, hampir seperti setan)
Ayah Dayana : Larasati
(Ayahnya terbatuk, melihat sekeliling dengan panik)
Ibu tiri Dayana : Apa yang terjadi di sini? Kenapa ada api?
(Ibu tiri Dayana terbangun di sampingnya dengan batuk yang sama, dan Dayana menawarkan senyum yang sama, mengusik batin semuanya)
Dayana : Oh hai juga, ibu tiri. Udah waktunya bangun, karena ... Aku nggak tahu, ini mungkin kali terakhirmu di dunia ini...
(Dayana menyeringai lagi, dan ketidaknormalan itu membuat kedua orang dewasa itu waspada. Jelas ada sesuatu yang salah dengan Dayana)
Ayah Dayana : Larasati, minggir dan berhenti bermain. Kita harus panggil petugas Damkar
Dayana : Uh huh. Aku nggak akan lakuin hal itu kalau aku jadi kamu, ayah...
(Dayana mencabut senjata panah pembius dari punggungnya, mengarahkan senjata hitam itu langsung ke wajah ayahnya)
(Pria itu berhenti dan menatap Dayana dengan mata terbelalak)
Dayana : Coba jawab, ya, kamu pasti tahu, kan, apa yang ada di dalam benda ini?
(Dayana melambaikan senjatanya sedikit, matanya berkilauan semacam maniak saat dia menjelaskan hal itu)
Dayana : Aku dapetin benda ini dari penampungan hewan yang ditawarkan secara sukarela beberapa bulan lalu. Ini digunakan untuk hewan besar ketika para pekerja terlalu takut untuk mendekati mereka. Tapi kamu nggak tahu soal itu, bukan? Tentang aku yang jadi sukarelawan di sana? Karena kamu nggak pernah memperhatikan apa pun yang kulakukan
(Dayana mengalihkan pandangannya ke wanita di sampingnya, rasa jijik tumpah tanpa ada upaya untuk menyembunyikannya)
Dayana : Karena kamu punya wanita baru dan anak perempuan yang harus diurus, kan?
(Ayah Dayana hendak membuka mulutnya untuk bicara tapi langsung tutup mulut saat Dayana membalasnya dengan pistol yang mencolok)
Dayana : Jadi, gimana tahu nggak kamu apa yang ada di dalam benda ini, ayah? Kita udah cukup keluar dari topik nih
(Ayahnya menelan ludah dengan tegang dan merendahkan suaranya)
Ayah Dayana : Laras, ada api di sini dan kita harus –
Dayana : Ssst. Jawab aku
(Dayana mengarahkan pistol panahnya lebih lurus, jarinya melingkar di sekitar pelatuknya lebih erat)
Dayana : Ayo, atau kita semua akan mati terbakar di tempat ini
(Ayah dan ibu tirinya saling berpandangan dengan putus asa, dan akhirnya ayahnya menyerah)
Ayah Dayana : Kami nggak tahu
Dayana : Ah, sayang sekali. Izinkan aku untuk menjelaskannya pada kalian
(Dayana mendekati mereka berdua, matanya sekali lagi berputar-putar dengan cepat ditambah kilatan yang sama gilanya dengan seringai di bibirnya)
Dayana : Di dalam benda ini ada suxamethonium. Ini adalah pelumpuh otot yang digunakan untuk melumpuhkan manusia atau hewan liar. Bukankah pemikiran aku agak jenius?
(Dayana tertawa sendiri seolah seluruh situasi itu lucu, dan melanjutkan penjelasannya lagi)
Dayana : Hal itu bisa melumpuhkan ototmu dalam hitungan detik, dan dengan dosis berbahaya, akan melumpuhkan diafragmamu dan membunuhmu dengan asfiksia. Menghentikan napasmu...
(Dayana tersenyum lebar, dan pancaran manik di matanya bersinar lebih terang dari sebelumnya)
Dayana : Tapi itu bahkan bukan yang terhebat. Apa kamu mau tahu apa yang paling dahsyatnya, ayah? Apa kamu penasaran juga, ibu tiri?
(Dayana menyapu pandangannya ke wanita di sampingnya, membuat wanita yang terduduk lemah di kasurnya itu menelan ludah dengan tegang)
Ibu tiri Dayana : Laras, aku tahu kamu mendengar suara-suara aneh dari halusinasimu tapi –
Dayana : Jangan ucapkan hal-hal yang nggak pernah kutanyakan!
(Dayana mendesis keras, sikap euforia tiba-tiba berubah menjadi kekuatan pembunuh hanya dalam sedetik)
Dayana : Jangan bilang kalau aku pengganggu yang aneh padahal kamu orang yang tanpa malu menempel pada suami orang lain dan menghancurkan keluarga yang sepenuhnya baik-baik aja!
(Dayana menggeram, dan marah seperti binatang yang terluka)
Dayana : Dan karena nggak ada dari kalian yang tahu jawaban atas pertanyaanku, baiklah, biarkan aku mewakilkannya
(Dayana melotot kembali ke ayahnya, mendidih)
Dayana : Benda itu nggak punya efek sedatif atau anestesi. Artinya, kalian akan bangun, dan kalian akan merasakan apinya membakar tubuh kalian. Merasakan kulit kalian terbakar tanpa bisa melakukan apa pun
(Otot menegang di leher ayahnya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Dayana melihat ayahnya pucat)
Dayana : Kenapa? Apa sekarang kamu mulai takut, ayah? Takut sama gadis kecil yang biasa kamu pukul? Gadis kecil yang biasa menangis di kakimu dan memohon agar kamu berhenti memukulnya?
(Jeritannya berubah menjadi seringai jelek dan keceriaan itu tiba-tiba jatuh dari wajahnya. Dia melotot dengan muram. Ekspresi Dayana berubah-ubah dengan cepat)
Dayana : Sapa para penghuni neraka untukku
(Dengan itu, dia menarik pelatuknya dan menembak dua kali, membuat ayah dan ibu tirinya jatuh kembali ke tempat tidur mereka dengan jeritan kesakitan)
(Ayah Dayana mencakar-cakar lehernya sendiri, mencekik dan terengah-engah tanpa daya)
(Dayana mengambil tangki bensin dan menuangkan sisa cairannya ke seluruh ruangan. Api — Lebih banyak api)
Ayah Dayana : Laras, a-adik… adik — adikmu…
(Ayahnya tercekat, mencoba untuk berbicara dan menghentikan Dayana sejenak dari amukannya)
Ayah Dayana : I-ican ... dia ... masih ... masih.. di lantai atas ... dia ... ng-nggak...punya...salah ... t-tolong ...dia
(Dayana membeku dan berbalik menghadapnya perlahan, terpaku oleh fakta bahwa meski saat sekarat, ayahnya masih bisa memikirkan putri tirinya. Sebuah isyarat yang tak pernah diterima Dayana bahkan ketika ayahnya masih hidup dan sehat)
(Dayana tertawa histeris, bunyinya menusuk dan hampir memuakkan saat asap hitam terus berputar di sekitar mereka)
(Matanya berkaca-kaca tak hanya karena udara yang panas tapi juga dari rasa sakit yang menggerogoti hatinya yang ia pikir tak dimilikinya lagi)
Dayana : Seandainya saja kamu memiliki setengah dari rasa kasihan itu untuk aku dan ibu
(Dayana menyiram sisa bensin dengan dendam, mengeluarkan korek api dari sakunya dengan marah)
(Ibu tirinya menegang tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun, dan Dayana berdoa dengan sungguh-sungguh agar Ibu tirinya itu tak mati karena asfiksia sebelum api menghinggapi dirinya. Karena itu akan sia-sia)
(Dayana menyalakan korek api dan bersiap untuk menyelesaikan pekerjaannya)
Dayana : Jangan khawatir tentang putri kecilmu. Aku belum melakukan apa pun padanya
(Kata-katanya tersendat sedikit, dan untuk sesaat sepertinya dia kembali ke dirinya yang normal, matanya redup dan muram)
Dayana : Ishana hanya perlu memutuskan apa dia ingin menyelamatkan dirinya sendiri atau mati di sini mencoba menyelamatkan kalian berdua
(Tatapannya kembali fokus, dan Dayana mengeras lagi seperti baja keras yang dingin)
(Dayana melemparkan korek api ke atas, dan benda itu berputar dua kali di udara sebelum kehilangan tarikan gravitasi dan menabrak lantai yang disiram dengan nyala api yang menyala-nyala)
(Api menjilat dengan rakus, dan Dayana melirik untuk kedua kalinya sebelum melangkah keluar dari kamar mereka)
Dayana : Selamat tinggal
(Dayana berada di tengah-tengah ruang tamu yang besar dan terbakar, ketika kejadian yang tak terduga membuatnya lengah)
(Seseorang mulai berteriak histeris minta tolong dari luar— seseorang – dari luar)
(VO Dayana) Ican? Ishana?
(Dayana berhenti berjalan, matanya membelalak tak mungkin)
(VO Dayana) Nggak mungkin. Ishana seharusnya ada di kamar tidurnya di lantai atas.. Aku tadi ngecek sendiri, pintunya dikunci dari dalam. Kenapa dia di luar? Bagaimana dia bisa keluar?
(Sebelum Dayana bisa memproses apa yang terjadi, dering sirene polisi terdengar dari jauh)
Dayana : Sialan!
(Dayana mengutuk keras, berpikir kalau saudara tirinya pasti sudah membawa bantuan dari luar. Menggeser pandangannya ke sekeliling dengan panik, dia menyadari bahwa rumah mewah itu belum terbakar seluruhnya, dan akan membutuhkan lebih banyak waktu sampai menghancurkan semuanya beserta orang tuanya)
(VO Dayana) Nggak. Nggak. Nggak... Ini nggak mungkin terjadi
Ishana : Ibu!
(Teriak Ishana, membuka pintu depan dan terbatuk-batuk begitu asap hitam menyerbunya)
Ishana : Ayah!
(Ishana mendorong dirinya ke depan ruang tamu, mengepulkan asap dari matanya)
(Dayana akhirnya tersadar dari linglung. Karena marah dan panik, Dayana menerjang ke depan, membidik adik perempuannya secara membabi buta dengan frustrasi dan kegemparan liar)
(Mata Ishana membelalak ketika ia melihat Dayana, tapi sebelum Dayana berhasil merobeknya, beban berat menghantam Dayana dari belakang dan menjatuhkannya ke lantai)
Ibu tiri Dayana : Ican, pergi dari sini !!
(Dayana mengerang, merasakan sesuatu - seseorang - menekan punggungnya dengan berat. Itu ibu tirinya. Wanita sialan itu menjepitnya di lantai)
Dayana : Kok bisa sih kamu sampai ke ruang tamu?
(Dayana mendesis keras, bingung dengan kejadian yang mustahil itu saat ia berjuang untuk membebaskan diri. Ibu tirinya mendorong punggungnya lebih keras, berusaha untuk membuatnya tetap terperangkap di bawahnya saat berteriak sekali lagi)
Ibu tiri Dayana : Ican, keluar!!
(Dayana menggeram dan meronta mati-matian di bawah wanita itu, dan karena putus asa, Dayana entah bagaimana berhasil membebaskan salah satu tangannya dan meraih pistol obat penenang terkutuk yang terletak tepat di sampingnya)
(Dayana menembakkan benda itu ke belakang tanpa berpikir, dan anak panah logam itu melesat keluar dari slotnya untuk menancap tepat ke mata ibu tirinya. Wanita itu berteriak kesakitan dan terjatuh ke lantai)
Ishana : Bu!
(Ishana menjerit sekuat tenaga, ibunya memegangi mata merahnya dengan histeris saat cairan merah kental membanjiri separuh wajahnya)
(Bebas dan marah, Dayana bangkit dari tempatnya dan melompat ke ibu tirinya yang sudah tak berdaya, kemarahan menguasai pikirannya sepenuhnya saat suara di telinganya berteriak lebih keras)
(VO Dayana) Bunuh bunuh bunuh bunuh bunuh bunuh !!
(Dayana mengangkangi ibu tirinya dan meraih anak panah berdarah yang bersarang di matanya yang rusak, dan meskipun ada jeritan tajam yang mengikutinya, Dayana menarik logam itu dengan kejam sampai darah panas berceceran di seluruh wajahnya. Meraung sekeras jeritan kesakitan di bawahnya, Dayana memegang anak panah itu erat-erat, dan akhirnya, dengan satu geraman parau, menusuknya lagi ke mata ibu tirinya yang lain)
(Jeritan nyaring merobek rumah yang berapi-api itu, dan untuk sesaat Dayana tak dapat mendengar apa pun kecuali bisikan nyaring menyanyi dengan penuh kemenangan di telinganya)
(VO Dayana) Iya! Darah! Darah dari orang yang kamu benci!
Hancurin dia, Daya. Sobek tubuhnya! Buat ibu kandungmu bangga!
(Pada kalimat terakhir, haus darah merah surut dari mata Dayana, dan seolah-olah dia telah ditarik keluar dari kegelapan bawah laut yang dalam, dia terengah-engah dan bergegas tersadar dengan tergesa-gesa seperti binatang yang ketakutan)
(Dayana melihat ke bawah tangannya, ke bajunya, dan ke darah yang mewarnai seluruh tubuhnya sendiri, dan tiba-tiba semuanya kembali padanya dengan kesadaran yang menghancurkan dan menakutkan)
(VO Dayana) Nggak.. Nggak... Ini bukan ulahku
(Dayana menggosok tangannya dengan gemetar, pikiran yang patah mulai bersatu kembali tetapi semuanya sudah terlambat)
(VO Dayana) Ibuku nggak akan mengatakan hal seperti itu. Ibuku nggak akan bangga dengan ini. Selama ini, bukan dia ... itu bukan dia dan cuma -
Ishana : Bu!!
(Ishana menjerit dan berlari ke depan, mendorong Dayana ke samping. Dayana terlempar ke lantai di samping kepala mereka, tubuh dan pikirannya menggelegar melampaui batas)
(VO Dayana) Tolong... Seseorang bantu dia ... Apa yang telah kulakukan
Dayana : I-ican...
Ishana : Menjauh!!
(Ishana menamparnya dan berteriak, berteriak dengan marah saat air mata mengalir di wajahnya)
Ishana : Aku mempercayaimu!! Aku mempercayaimu dan aku ngasih tahu semua orang kalau kamu nggak seperti yang mereka pikirkan! Kalau kamu tuh bukan monster dan kamu itu orang yang baik! Aku mempercayaimu dan inilah yang kamu lakukan padaku!
(Api menyala lebih merah di sekitar mereka, dan Dayana tak yakin apakah panas dan asap telah meracuninya hingga mengigau atau dia benar-benar sudah gila. Suara di telinganya terus berteriak dengan liar sampai dia merasa kepalanya akan meledak)
(VO Dayana) Bunuh mereka sekarang! Bunuh mereka sekarang atau mereka akan menguncimu kembali di lubang neraka bodoh itu! Bunuh mereka sekarang, Daya Bunuh!!
Dayana : I-ican, bawa aku keluar. B-bawa aku keluar dari sini dan hentikan. Tolong, hentikan ini, Ican ... Hentikan suara mengerikan ini!
(Ishana menatapnya dengan liar, matanya masih berkaca-kaca dan merah saat ia memegangi ibunya yang berdarah. Kata-katanya terasa menyakitkan di bagian belakang tenggorokannya. Tak ada monster lain di sini. Ishana berkata dengan tegas, patah hati dan merasa dikhianati melampaui keselamatannya sendiri)
Ishana : Kamu adalah satu-satunya monster pembohong yang gila di sini dan aku seharusnya nggak pernah percaya sama kamu
(Sirene polisi berhenti di depan rumah mereka, dan dalam hitungan detik puluhan pria berbaju hitam menyerbu ke dalam rumah mereka)
(Penglihatan Dayana menjadi kabur, dan saat dia ditarik keluar dari rumah, dia langsung tak sadarkan diri. Hal terakhir yang ada di pikiran Dayana adalah tatapan mata adik perempuannya yang kecewa dan kata-katanya yang menyakitkan)
(Semuanya menjadi gelap setelah itu dan Dayana tak pernah melihat keluarganya lagi)
SCENE 52 INT KAMAR NO 8
Cast. Dayana, Sadajiwa
(Dayana meletakkan kepalanya di atas lengannya yang terentang di ambang jendela. Sinar matahari menari-nari di wajahnya dengan samar, dan dia berjemur di pagi yang cerah dengan tenang saat pikirannya melayang. Itu sangat tenang. Rasanya seluruh dunia masih tertidur dan hanya dia sendiri yang terjaga untuk eksis di planet ini)
(Rasanya sepi berada di ruang hampa, namun masih ada satu suara yang menolak untuk berhenti selama dia masih hidup. Dayana menutup matanya)
Dayana : Berhenti
(Dayana berkata pada suara di telinganya, perlahan tapi tegas)
Dayana : Diam
(Suara itu menolak untuk mematuhinya.
(VO Dayana) Cuma akulah yang kamu miliki, Dayana...
(Dayana menutup matanya lagi, lelah dan merintih lalu memohon)
Dayana : Berhenti. Tolong hentikan
(VO Dayana) Jangan lagi. Jangan datang lagi
(Dayana hampir bisa mendengar tawa mengerikan bertiup di telinganya, mengejek seolah-olah tahu apa yang dipikirkannya. Seolah tahu bahwa dia masih percaya bahkan jika semua orang meninggalkannya, ada satu orang yang tak akan meninggalkannya)
(VO Dayana) Sadajiwa?
(Dayana menempelkan tangannya ke telinga, hampir memohon dengan air mata agar suara yang tak percaya itu berhenti)
Dayana : Tolong berhenti
Sadajiwa : Dayana?
(Satu suara datang dan itu benar-benar menghilangkan semua suara yang tak diinginkan di telinganya. Dayana mendongak dengan panik, jantungnya berdebar-debar dan meledak dengan lega begitu dia melihat orang itu muncul dan masuk ke kamarnya)
Dayana : Sada...
(Dayana berkata hampir terengah-engah)
(VO Dayana) Sadajiwa masih datang. Dia belum meninggalkanku...
(Pikiran salah tentang dokter magang yang melarikan diri dari Dayana setelah mengetahui betapa menakutkan dan kacaunya dia, tidak terbukti)
(Dayana telah membuat kesalahan dan ia semakin takut pada dirinya sendiri)
Sadajiwa : Hei
(Sapa Sadajiwa, duduk di samping tempat tidurnya. Sadajiwa masih terlihat canggung dan tak yakin bagaimana harus bertindak setelah perdebatan mereka)
Sadajiwa : Aku bawain kamu sarapan. Kamu tidurnya nyenyak, kan?
(Dayana ingin berkata ‘nggak’ namun napasnya tercekat)
Dayana : Aku kangen sama kamu, Sada
(Dayana malah berseru, jujur tapi lemah dan harga dirinya runtuh saat Sadajiwa harus melihatnya dalam keadaan kacau seperti itu)
Dayana : Kirain aku nggak bakalan lihat kamu lagi
(Bibir Sadajiwa bergerak sedikit, membentuk senyuman muram saat ia mengalihkan pandangannya dan melihat ke bawah lagi)
(Setelah hening beberapa saat, Sadajiwa berbicara dengan hati-hati)
Sadajiwa : Maafin aku. Soal yang waktu itu. Itu ... Aku udah buat kesalahan besar. Aku seharusnya nggak ninggalin kamu gitu aja. Itu sembrono ... Aku seharusnya nggak buat kamu marah atau sedih
(Alis Dayana mengernyit karena bingung saat ia mengulurkan tangan untuk menangkup wajah Sadajiwa, membawanya untuk menghadapnya lagi)
Dayana : Nggak, nggak...
(Dayana menggelengkan kepalanya dengan cepat)
Dayana : Itu kesalahanku. Aku ... Marahnya aku tuh nggak rasional dan aku menyerangmu tanpa memberikan penjelasan yang tepat. Itu semua salahku. Aku ... Aku udah gila. Aku emang gila dan kamu nggak pantas dapetin semua itu
(Sadajiwa menatap matanya dengan sedih yang tampak membengkak karena galau)
Sadajiwa : Daya, aku mau kamu tahu kalau aku nggak pernah, nggak akan pernah sekali pun dalam hidupku menganggapmu sebagai orang gila
(Dayana bertatapan dengannya, hatinya robek)
Sadajiwa : Sekali lagi aku minta maaf. A-aku juga terluka
(Dayana mengangguk, air mata mengalir di wajah Dayana saat mencoba menjaga suaranya tetap stabil. Dia mengusap wajahnya ke bahu Sadajiwa untuk mengubur tangisnya)
Dayana : Terima kasih
(VO Dayana) Makasih udah percaya sama aku...
(Sadajiwa memeluknya dan mengusap rambutnya dengan telapak tangan, menenangkannya dan membisikkan kata-kata lembut untuk menghentikannya menangis)
(Dayana mengencangkan lengannya di pinggang Sadajiwa dan tenggelam lebih dalam ke dalam kehangatan. Dayana menghembuskan napasnya seolah-olah Sadajiwa adalah garis hidupnya. Bagian kewarasan terakhirnya untuk menyelamatkannya dari dirinya sendiri. Mereka tetap berpelukan untuk beberapa saat sampai tangisan Dayana mereda)
(Dayana menarik diri, lalu menyeka air matanya, dan Sadajiwa membantunya membersihkan air mata itu dengan lembut dengan ibu jarinya)
Dayana : Itu bukan cuma karena cemburu
(Dayana mulai, suaranya masih serak tapi lebih stabil sekarang)
Dayana : Itu karena alasan lain. Aku ... Aku nggak yakin apa aku bisa ngasih tahu kamu soal itu sekarang, atau menyimpan rapat hal itu selamanya, tapi...
(Dayana berhenti, menatap Sadajiwa dengan putus asa melalui bulu matanya yang berlinang air mata)
Dayana : Bukankah cukup buat kamu tahu kalau aku punya alasan yang sebenarnya? Aku nggak bisa ... Aku nggak mau melalui pengalaman itu lagi
(Napasnya tersengal-sengal, berjuang untuk bicara)
Dayana : Kamu boleh bertemu dengannya. Kamu boleh bicara dengannya. Apa pun itu. Aku cuma ... aku cuma nggak mau ngomongin masa lalu
(Sadajiwa menatapnya dengan bingung, kehilangan semua kata yang sepertinya tak terdengar. Dayana menambahkan dengan susah payah dengan kata-kata yang terentang menyakitkan di bagian belakang tenggorokannya seperti duri)
Dayana : Dia adalah seseorang yang kukenal dari masa lalu
(Sadajiwa memandangnya dengan mata lebar, terkejut dengan kejadian yang tak terduga itu)
Dayana : Seseorang yang kutakuti
(Dayana menatapnya dengan mata berkaca-kaca)
Dayana : Seseorang yang sangat mengenal monster dalam diriku
(VO Dayana) Dan aku nggak mau Sadajiwa mengenenal monster itu...