Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SCENE 7 INT. BANGSAL PEREMPUAN DAN KAMAR NO 8
Cast. Sadajiwa, Bu Tita, Dayana
(Ketakutan Prianka dan Zafia terbukti nyata dan akurat. Sadajiwa awalnya terlalu kesal untuk peduli, namun ia mulai cemas saat langkah Bu Tita mengarah ke bangsal perempuan dan menuju kamar nomor 8. Sejauh yang Sadajiwa ingat – ia tak pernah memeriksa keadaan pasiennya. Biasanya, Sadajiwa bukan orang yang takut kena marah, tapi ditambah satu minggu hukuman membersihkan toilet sungguh menyengsarakannya)
Bu Tita : Apa kamu pernah ke sini sebelumnya?
(Bu Tita ketus bertanya, tangan meraih gagang pintu kamar nomor 8 - yang merupakan kamar terakhir di bangsal perempuan dan juga yang terbesar - sambil menatap Sadajiwa dengan tatapan yang mungkin seperti pembunuh)
Sadajiwa : Um, ya, aku ... pernah ke sini sebelumnya ... tentu aja
Bu Tita : Mari kita lihat apa yang dikatakan pasienmu tentang itu
(Tatapan Sadajiwa gemetar, bersiap untuk kiamat yang akan datang. Tapi bukan kiamat yang datang padanya malahan suara lembut yang familiar ditelinganya)
Dayana : Sadajiwa?
(Sadajiwa membuka matanya saat suara lembut memanggil namanya. Dia terbelalak ketika menemukan gadis aneh yang ditemuinya di atap akhir-akhir ini, duduk di sana di atas tempat tidur putih di tengah ruangan serba putih, mata gadis itu melotot juga. Sadajiwa hampir berlari untuk memeluknya karena merasa terlalu lega)
Bu Tita : Kamu kenal dia, Dayana?
(Bu Tita bertanya dengan heran, terdengar seperti tak percaya bahwa Sadajiwa, dokter magang paling malas dari semua dokter magang di sini, benar-benar mampir ke kamar ini untuk memeriksa pasiennya)
Dayana : Ya, tentu ... apa ada masalah?
(Gadis berbaju putih - Dayana - bertanya dengan bingung saat tatapannya tertuju pada Sadajiwa dengan raut wajah yang mengingatkan Sadajiwa pada anak kucing yang terpesona)
Bu Tita : Apa sebelumnya dia datang ke sini untuk memeriksa, melalukan pengobatan, dan mendengarkan semua masalahmu?
(Dayana menoleh ke arah Bu Tita dengan wajah bingung, dan Sadajiwa tahu kalau dia tak segera memotong pembicaraan ini, dia akan dihukum selamanya)
Sadajiwa : Bukannya tadi dia bilang dia mengenaliku? Mengapa Bu Tita begitu skeptis? Aku ... aku pernah berbicara dengannya sebelumnya
Bu Tita : Itu ... tak terduga. Aku pikir kamu tak pernah melakukannya karena kamu sangat ... tak bertanggung jawab
(Kata Bu Tita dengan nada yang lebih tenang dan belum pernah Sadajiwa dengar sebelumnya. Psikiater yang biasanya arogan itu kemudian berbalik dan menatap Dayana lagi dengan senyum lembut, bahkan sikap itu lebih mengejutkan Sadajiwa)
Bu Tita : Gimana kabarmu, Dayana? Apa kamu baik-baik aja? Apa kamu masih mengalami mimpi buruk?
(Gadis itu – Dayana, ia mengangguk dengan senyum kecil sebelum menurunkan matanya ke lutut yang tertarik ke dadanya)
Dayana : Masih ada, tapi nggak memburuk karena aku minum pilnya rutin sebelum tidur
Bu Tita : Apa kamu masih mendengar suara-suara?
(Sadajiwa mendengarkan percakapan mereka dengan serius)
Dayana : Ya, tapi hanya saat hening dan saat aku sendirian ...
(Dayana yang biasanya tersenyum tenang bahkan ketika Sadajiwa selalu mengusirnya, kali ini terlihat begitu pendiam, suaranya lebih terdengar seperti bisikan. Sadajiwa bahkan berpikir kalau Dayana tampak sangat sedih)
Bu Tita : Baiklah, kamu dengar itu, Sadajiwa. Tugas kamu adalah menemaninya dan berbicara dengannya ketika dia membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, oke? Juga, aku ingin laporan mingguan tentang kondisinya di mejaku setiap Senin pagi. Apa kamu mengerti?
(Sadajiwa mengangguk setengah hati. Bu Tita meninggalkan kamar itu setelah berbicara beberapa menit lagi dengan Dayana, dosen atau psikiater itu tersenyum dan menepuk punggung Dayana terlalu akrab—layaknya teman lama)
Sadajiwa : Jadi...
(Sadajiwa memulai, tak yakin harus berkata apa saat mereka ditinggal sendirian)
Sadajiwa : Aku nggak tahu kalau kamu tuh pasien favoritnya dokter kepala departemen. Aku belum pernah melihat sikapnya yang menjijikkan pada seseorang sebelumnya.
(Dayana tampak bingung sesaat dengan pilihan kata-kata Sadajiwa yang kurang ajar sebelum tertawa lembut. Sadajiwa memutuskan bahwa ia menyukai Dayana versi itu lebih dari versi yang menyedihkan seperti sebelumnya. Senyuman tampak manis di wajahnya, meski itu membuat Sadajiwa kesal sampai batas tertentu. Dia tak tahu mengapa Dayana tampak banyak tersenyum padanya meskipun dia selalu bersikap rewel)
Dayana : Nggak. Dia selalu baik pada semua pasiennya. Dia orang yang hebat
Sadajiwa : Kamu ngomong kaya gitu seolah sudah mengenalnya sangat lama
(Sadajiwa menggosok tangan kanannya yang memerah hasil dari dua hari kerja yang berlebihan di kamar mandi saat cuaca dingin, atas kebaikan Dokter Tita)
(VO Sadajiwa) Orang hebat, huh?!
Dayana : Mungkin kamu belum cukup lama mengenalnya untuk mengetahui sifat aslinya yang menyenangkan
(Dayana tersenyum dan Sadajiwa mencemooh pelan saat mengambil rekam medis yang ditinggalkan Bu Tita untuknya)
Sadajiwa : Udah berapa lama kamu di sini sehingga bisa tahu sifat Bu Tita dengan baik
(Sadajiwa membalik-balik halaman rekam medis Dayana)
(Dayana tersenyum, matanya menelusuri langit-langit putih seolah dia sedang menarik kembali kenangan lama yang terlupakan)
Dayana : Sekitar 10 tahun? Aku adalah pasien pertamanya saat ia magang sepertimu juga
Sadajiwa : 10 tahun? Itu waktu yang sangat lama. Itung aja kalau usia kamu 25 tahun sekarang. Apa itu berarti kamu telah berada di sini sejak –
Dayana : Lima belas
(Sadajiwa tersentak, ngeri. Dayana menyelesaikan kalimatnya dengan senyuman sedih, tapi itu memudar dengan cepat saat wajahnya berubah kembali menjadi tampilan netral)
Dayana : Aku dikirim ke sini saat aku berumur lima belas tahun
(Dahi Sadajiwa berkerut saat memeriksa kertasnya)
Sadajiwa : Oleh keluargamu? Mereka nggak nyantumin nama di sini. Hanya tertulis Ibu
(Waktu terasa lama, Sadajiwa berpikir kalau ia mendengar Dayana bergumam ‘nggak’)
Sadajiwa : Baiklah, kupikir untuk hari ini udah cukup.
(Sadajiwa meletakkan catatannya untuk memotong keheningan yang canggung. Ada sesuatu yang terasa aneh dan dia tak ingin menyelidikinya lebih jauh. Dia menatap sekeliling dengan gugup. Kamar Dayana menarik, cukup besar untuk dijadikan ruang kelas VIP. Bahkan tiga kali ukuran kamar lain dan lantainya dilapisi dengan marmer putih yang berbeda - mahal -. Dindingnya berdiri sangat putih, dihiasi TV LED besar, dan segala sesuatu yang benar-benar bersih, steril, dan elegan. Bahkan memiliki kamar mandi sendiri. Kontras yang lucu jika dibandingkan dengan kamar mandi kotor yang dimiliki oleh pasien lain yang baru saja dibersihkannya. Siapapun yang mengirim Dayana ke sini selama 10 tahun yang lalu, pasti punya banyak uang)
Sadajiwa : Jadi siapa namamu? Di dalam rekam medis tertulis Larasati Daya tapi Bu Tita memanggilmu Dayana? Kita mungkin akan tetap bersama selama tiga bulan ke depan jadi sayangnya aku perlu tahu namamu
Dayana : Dayana...
(Wajah Dayana bersinar saat ia mengatakan jawabannya)
Dayana : Aku ingin menjadi Dayana aja...
Sadajiwa : Oke, Dayana, dari mana kamu tahu namaku?
(Sadajiwa menyilangkan tangan di depan dadanya dengan curiga)
Sadajiwa : Tadi kamu memanggilku Sadajiwa. Aku nggak inget pernah memberi tahumu. Apa kamu emang stalker?
(Tuduhannya yang percaya diri mati secara memalukan, ketika Dayana menunjuk ke bawah saku dadanya dengan ekspresi lugas dan polos)
Dayana : Ada di name-tag jas putihmu
(Sadajiwa langsung membalik papan namanya, tampak seolah-olah melindunginya dari Dayana saat wajah Sadajiwa memerah malu)
Sadajiwa : Mata yang cukup jeli. Um, aku - uh, aku harus pergi dan membersihkan barang-barang.
(Sadajiwa berjalan menuju pintu dengan tergesa-gesa)
Sadajiwa : Tetaplah di sini dan jangan membuat masalah selama aku pergi, oke? Jadilah gadis yang baik?
(Jelas itu adalah kalimat retoris, tapi Dayana menanggapinya dengan serius dan mengangguk seperti anak anjing patuh yang ingin mengalahkan semua anak anjing lain untuk memenangkan penghargaan anak anjing yang berperilaku terbaik)
(VO Sadajiwa) Manis, lumayan...
SCENE 8 INT. KAMAR MES DAN DAPUR RSJ
Cast. Sadajiwa, Bu Tita, Dayana
*Satu bulan kemudian*
(Sadajiwa menghantam tempat tidur seperti jangkar yang dilemparkan ke dasar laut. Dia mengerang, merasakan otot-ototnya yang sakit dengan setiap gerakan yang dia lakukan. Saat itu sudah lewat pukul 11 malam dan dia baru saja selesai mengelilingi seluruh gedung untuk patroli malam. Sadajiwa merasa akan pingsan dan tidak pernah bangun lagi. Dia tak jadi pingsan, karena perut bodohnya memutuskan untuk bergemuruh seperti beruang yang sekarat)
(VO Sadajiwa) Oh, astaga. Lapar...
(Sadajiwa menendang selimutnya dan mengacak-acak rambutnya karena frustrasi. Meraih senternya, lalu berjalan setengah hati ke dapur utama)
Sadajiwa : Kenapa semuanya membenciku hari ini?
(Sadajiwa membuka pintu kulkas dan kecewa saat melihat isinya kosong)
Sadajiwa : Bahkan permen pun habis. Dunia membenciku, dan aku juga harus balas membenci dunia...
(Sadajiwa mengambil senter lagi dan menghela napas sebelum bermanuver untuk keluar dari ruangan gelap – hampir tersungkur ketika ia melihat bayangan putih berkelebat di luar dengan rambut hitam panjang)
Sadajiwa : Dayana!
(Sadajiwa berteriak, memegangi dadanya)
Sadajiwa : Lagi ngapain malem-malem di sini?
Dayana : Sadajiwa?
(Gadis dengan gaun panjang putih itu menjulurkan kepalanya melalui pintu dan menatap Sadajiwa dengan mata tanpa rasa bersalah)
Dayana : Apa yang kamu lakukan di sana?
Sadajiwa : Itu pertanyaanku!
(Sadajiwa setengah berteriak lagi sebelum merendahkan suaranya karena seluruh bangsal sedang tidur)
Sadajiwa : Kenapa kamu mengendap dalam kegelapan?!
Dayana : Oh. Aku ... aku nggak bisa tidur jadi berkeliaran deh. Aku lihat ada cahaya dari arah sini jadi aku penasaran
Sadajiwa : Ya Tuhan, kamu hampir membunuhku sebelum usiaku 23 tahun
(Sadajiwa menggosok dadanya, lalu bergerak ke posisi normalnya saat ia melihat kilatan menggoda berkedip di mata Dayana)
Sadajiwa: Jangan salah paham, aku nggak takut hantu atau apapun
Dayana : Aku nggak ngomong apa-apa
(Dayana menahan senyumnya dan Sadajiwa frustasi)
Sadajiwa : Bagus, kalau gitu jangan ngomong apa-apa
(Sadajiwa buru-buru melewati Dayana dan berjingkrak keluar dengan langkah tergesa-gesa. Dayana mengejarnya dan berjuang untuk mengimbangi langkah panjangnya)
(Sadajiwa berhenti dan berbalik, menatap)
(Dayana berhenti dan balas menatapnya, matanya belo)
Sadajiwa : Kamarmu ada di sisi sebaliknya, Dayana
(Sadajiwa sudah mulai terbiasa dengan sikap unik Dayana selama sebulan terakhir dan mencoba menghindar dari hipnotis kecantikannya, Sadajiwa hanya bisa mengertakkan gigi, menahan kesal — Sadajiwa merasa memiliki anak berusia lima tahun untuk dijaga, bukan berusia 25 tahun)
Dayana : Tapi aku nggak bisa tidur
(Dayana merengek pelan, menatap kakinya)
Dayana : Aku nggak suka sendirian di malam hari saat nggak bisa tidur
Sadajiwa : Kamu nggak minum pilnya?
(Sadajiwa menghela napas)
Dayana : Ya, tapi aku nggak tahu mengapa suara-suara itu nggak bisa hilang
(Dayana membuntutinya lagi)
Dayana : Mereka masih ... berbicara padaku
(Sadajiwa mengangkat alisnya. Keingintahuan menang saat ia duduk di bangku terdekat yang menghadap ke taman dan Dayana mengikutinya)
Sadajiwa : Suara macam apa yang terus-menerus kamu bicarakan? Selama sebulan ini kamu selalu berusaha menghindari topik itu
(VO Sadajiwa) Aku pernah mendengar tentang pasien psikotik yang mengalami halusinasi pendengaran yang datang dalam bentuk suara perintah atau ejekan, suara yang mengganggu, tapi aku belum pernah benar-benar mendengarnya langsung dari pengidapnya
Dayana : Aku nggak tahu. Awalnya terdengar seperti suara orang asing. Lembut, halus, tapi dingin.
(Dayana memiringkan kepalanya untuk menatap langit berbintang)
Dayana : Tapi seiring berjalannya waktu, aku merasa suaranya semakin mirip dengan suaraku sendiri
Sadajiwa : Apa suara itu menyuruhmu melakukan sesuatu?
(Sadajiwa terlena, dan dia merasa ada aliran listrik disekujur tubuhnya saat Dayana tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari langit untuk melihatnya, lengkap dengan senyuman kecil yang cantik
Dayana : Terkadang
Sadajiwa : Itu pasti menyeramkan
(Sadajiwa-lah yang mengarahkan pandangannya ke langit sekarang. Untuk beberapa alasan, dia tak bisa menatap mata Dayana terlalu lama sejak hari pertama mereka bertemu. Walaupun seperti bayi, tatapan Dayana sangat dalam dan dingin)
Dayana : Nggak juga, aku udah mendengar suara-suara itu sejak umurku masih empat belas tahun. Terkadang itu satu-satunya hal yang menemaniku
(Suara rendah Dayana menarik sesuatu di dalam hati Sadajiwa dan itu mengingatkannya pada seorang anak berusia tujuh tahun yang pernah duduk sendirian di ruangan gelap, menangis dan memeluk lututnya ke dada ketika orang tuanya berteriak dan saling melempar barang sepanjang malam—yaitu dirinya sendiri, Sadajiwa si anak broken home)
Sadajiwa : Terus kenapa kamu nggak bisa tidur?
Dayana : Oh, entahlah
(Ingatan kecil Sadajiwa memudar saat ia kembali ke dunia nyata dengan cepat)
Sadajiwa : Aku lapar. Aku sangat lapar di tengah malam kaya gini
(Dayana terkekeh — lagi-lagi ekspresi yang berbeda, seperti dua orang yang tak sama. Terkadang dingin namun membuatmu nyaman, terkadang seperti bayi yang membuatmu kewalahan namun hangat)
Sadajiwa : Berisik, aku nggak mau mendengar tawa balita berusia lima tahun. Selain itu, aku belum makan apa-apa sejak sarapan
(Sadajiwa menggerutu, memegang perutnya dengan tampang memelas)
Dayana : Kenapa?
(Alis Dayana berkerut, terlihat sangat prihatin karena Sadajiwa tidak makan selama lebih dari 16 jam)
Sadajiwa : Bu Tita memberiku terlalu banyak pekerjaan hari ini. Aku ketahuan lagi bermalas-malasan di atap lagi. Itu sebagian karena kesalahanmu. Aku menjadi terlalu nyaman berlatih nyanyi biar kamu suka
(Sadajiwa cemberut)
Dayana : Oh..
(Dayana tampak sangat bersalah)
Sadajiwa : Udah kubilang jangan membuatku nyaman bernyanyi di depanmu, ini buktinya
Dayana : Maaf, aku hanya menyukai suaramu...
(Dayana meraba-raba ujung jarinya, tatapannya yang semula dingin kini bergetar)
Dayana : Aku bisa menebus kesalahanku
Sadajiwa : Hah? Gimana caranya?
(Sadajiwa terus menggoda, tapi jawaban Dayana hampir membuatnya tersedak)
Dayana : Aku tahu gimana cara keluar dari sini tanpa ketahuan oleh Bu Ningsih penjaga gerbang. Kita bisa membeli makanan buat kamu
(Mata Sadajiwa melotot)
Sadajiwa : Apa? Ada hal seperti itu? Nggak! Kamu nggak boleh keluar –
Dayana : Sssh!
(Sebuah jari halus menekan bibirnya dan Sadajiwa langsung tutup mulut. Dayana mencondongkan tubuhnya begitu dekat sehingga Sadajiwa bisa menghitung bulu matanya. Sadajiwa harus mengajarinya soal ruang personal suatu hari nanti. Gadis itu jelas tidak memiliki pengetahuan dasar tentang itu melihat bagaimana dia terus menerkam Sadajiwa seolah-olah itu adalah hal paling wajar yang dilakukan antara dua orang asing yang baru kenal.
Terlalu bingung untuk bereaksi, atau terlalu mabuk dengan aroma vanilla manis yang menggelitik hidungnya lagi, tiba-tiba Dayana telah meraih pergelangan tangannya dan menyeretnya pergi sebelum dia bisa menolak)