Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SCENE 57 INT RUMAH ISHANA
Cast. Ishana, Ibu Ishana
Ibu Ishana : Masuklah
(Ishana mendengar ibunya berkata, dan ia mendorong pintu mahoni yang berat itu hingga terbuka lalu melangkah ke ruang belajar besar itu dengan kikuk)
(Ibunya sedang duduk di belakang meja, mengenakan kacamata hitam seperti biasanya dan mendengarkan sekretaris berusia tiga puluhan tahun membacakan beberapa dokumen perusahaan untuknya)
Ibu Ishana : Apa itu kamu, Ican sayang?
Ishana : Ya, Bu. Ini aku
(Ibunya mengangkat tangan ke sekretarisnya dan mengisyaratkannya untuk menghentikan pekerjaan itu. Pria berambut abu-abu itu mengangguk dengan sopan dan membungkuk padanya bahkan ketika dia tak bisa melihatnya)
(Sekretarisnya keluar dari kamar dengan tenang dan menawarkan senyum kecil pada Ishana saat dia melewatinya)
Ibu Ishana : Dari mana aja, sayang? Katanya kamu akan menyelesaikan kelas lebih awal hari ini. Udah makan malam?
(Tanpa sadar, rahang Ishana berdecak, kepalan tangannya melingkar di samping celana jeans hitamnya saat ia mencoba menenangkan diri)
Ishana : Kamu bilang dia disimpan di RSJ yang jauh dari Jakarta
(Suaranya bergetar, bergolak sama seperti di dalam hatinya)
Ishana : Apa gunanya kamu bohongin aku soal itu? Dia ada di sini, di kota yang sama dengan kita, Bu...
(Mendengar itu, senyum ibunya benar-benar hilang dan ekspresinya sama seperti saat tragedi kelam bertahun-tahun silam)
(Wajah ibunya menegang dan butuh satu menit sebelum bisa berdehem dan berbicara)
Ibu Ishana : Darimana kamu bisa tahu?
(Mulut Ishana ternganga dan alisnya berkerut saat menatap wanita tua itu dengan tak percaya)
Ishana : Jadi kamu sengaja merahasiakannya dariku? Kenapa?
Ibu Ishana : Oh, menurutmu kenapa, sayang?
(Ibunya memotong, akhirnya menghentikan Ishana sebelum nada suaranya naik)
Ibu Ishana : Menurutmu apa yang akan kamu lakukan jika kamu tahu dia hanya satu jam jaraknya dari kita? Jujur sama Ibu, bukankah kamu akan pergi menemuinya?
(Jawabannya mati di tenggorokan Ishana, karena meskipun membenci semua kenangan mengerikan tentang kakaknya dari masa kecilnya yang hancur, tak dapat disangkal bahwa di suatu tempat, jauh di dalam hatinya, dia masih ingin melihat Dayana. Setidaknya untuk mengetahui keadaannya baik atau buruk)
Ibu Ishana : Benar, kan?
(Ibunya menyimpulkan, bersandar di kursinya sambil mendesah)
Ibu Ishana : Kamu terlalu lembut padanya, Can. Apa yang buat kamu lebih dengerin dia ketimbang ibumu, sepuluh tahun yang lalu?
(Bibir Ishana terkatup rapat dan dia menelan ludahnya. Ibunya melepas kacamata hitamnya dan melihat ke arahnya dengan mata putih keabu-abuan. Mata terluka yang tak akan pernah bisa melihat lagi)
Ibu Ishana : Ayahmu udah mati, aku buta selamanya, dan kamu juga hampir mati, Ishana...
(Semua kekuatan dan frustrasi terkuras dari tubuh Ishana, dan tinjunya terlepas dengan lemah. Dia berdiri diam di sana, pikirannya kacau dan emosi menerpa dirinya. Ibunya benar)
Ibu Ishana : Ibu tahu kamu menyayanginya, sayang
(Wanita yang sudah tua itu mendesah)
Ibu Ishana : Kamu adalah anak tunggal, dan kamu selalu menginginkan saudara. Aku nggak bisa melupakan raut wajahmu saat pertama kali kubilang bahwa kamu akan memiliki seorang kakak perempuan. Kamu tampak seperti anak berusia sembilan tahun yang paling bahagia
(Ibunya mengambil kacamata gelap dan memakainya lagi)
Ibu Ishana : Tapi manusia itu, sayang, nggak selalu sebaik layaknya ekspektasi yang ada dipikiran kita. Terkadang, kita lebih baik sendirian
(Ishana menunduk, wanita tua itu menghela napas lagi)
Ibu Ishana : Kamu butuh istirahat. Aku butuh bantuanmu di perusahaan besok setelah kelas kamu selesai. Besok akan menjadi hari yang panjang. Selamat malam sayang
(Ishana berputar tanpa berkata apa-apa saat ibunya menghentikannya)
Ibu Ishana : Tunggu, sayang, tunggu sebentar. Darimana kamu tahu kalau dia ada di sana? Kamu pernah minta seseorang buat nyari dia?
(Ishana berbalik lagi, menatap ibunya dengan sedikit atau tanpa perlawanan lagi. Dia hanya ingin menyudahi malam itu dengan segera)
Ishana : Nggak, Bu. Aku nggak mencarinya. Aku... nggak sengaja ketemu dia hari ini
(Wajah ibunya berkerut karena terkejut dan juga khawatir)
Ibu Ishana : Kamu ... bertemu dia?
Ishana : Iya
(Ishana ingin menertawakan ironi hidupnya, namun hanya bisa menggelengkan kepalanya)
Ishana : Di rumah sakit saat aku nyariin temen. Udah kuduga pasti suatu hari kita akan bertemu walau seberapa keras kamu berusaha menjauhkannya...
(Senyum pahit muncul di bibirnya, dan Ishana meninggalkan tempat itu)
Ishana : Selamat malam, ibu
SCENE 58 INT RUMAH BU TITA
Cast. Ibu Ishana, Bu Tita dan Suami Bu Tita
Suami Bu Tita : Tita, bisa nggak kamu jawab dulu panggilan teleponnya? Itu sudah berdering selama sepuluh menit dan jadinya aku kaya lagi duel sama makan malamku di sini!
(Bu Tita mendengar suaminya berteriak dari dapur dan bangkit dari sofa nyamannya sembari mengomel)
Bu Tita : Astaga, sayang... Seberapa sulit masak nasi goreng itu tanpa gosongin semuanya?
(Bu Tita menekan keras tombol teleponnya, melelahkan)
Bu Tita : Dan siapa sih yang nelepon orang jam segini? Gangguin ketenangan rumah tangga orang lain aja, seharusnya ilegal kalau nelepon orang setelah lewat jam 9 malam
(Bu Tita tetap mengangkat telepon, berusaha sebisa mungkin untuk terdengar seperti manusia yang ramah)
Ibu Ishana : Halo, apa ini Tita Mayangsari? Kamu sudah hidup bahagia rupanya sekarang
(Suara di ujung sana menghapus akal sehat Bu Tita sepenuhnya, dan menggantinya dengan tatapan waspada yang lebar)
Ibu Ishana : Halo, Tita Mayangsari, oh, atau haruskah aku memanggilmu Dr. Tita, sekarang? Kamu akhirnya jadi kepala psikiater, bukan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku bicara denganmu
(Bu Tita membeku, dan jari-jarinya melingkari telepon dengan erat sampai memutih)
Bu Tita : Ibu Dayana
(Bu Tita hampir menggigit lidahnya sendiri)
Bu Tita : Ada yang bisa kubantu?
(Orang di ujung telepon tertawa sangat lembut dan malah bertanya balik padanya)
Ibu Ishana : Gimana kabar suamimu dengan perawatan ginjalnya?