Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SCENE 59 INT RUANG TUNGGU PASIEN
Cast. Dayana, Ishana
Dayana : Kamu boleh masuk
(Dayana berkata dengan canggung, duduk di seberang adik perempuannya di ruang kunjungan RSJ saat gadis itu menatapnya)
Dayana : Kita bisa ngobrol di kamarku. Keluarga dan teman diizinkan –
Ishana : Lebih baik dibicarain di sini aja
(Ishana memotongnya dengan tegas, memandangnya seolah-olah Dayana hanyalah kenalan yang jauh dan bukan sebagai saudara perempuannya)
Ishana : Kita bukan keluarga. Kamu selalu mastiin aku inget hal itu dengan sangat jelas sejak pertama kali kita bertemu
(Dayana menunduk dan menatap meja logam abu-abu kusam itu dengan berat)
Dayana : Baiklah
(Ishana mengejang sedikit, terlihat sama tak nyamannya dengan Dayana)
Ishana : Aku yakin kamu punya hutang penjelasan soal tadi malam
(Dayana mengangkat kepalanya, bertemu dengan mata cokelat hitam yang dulu menatapnya dengan begitu banyak kehangatan tapi sekarang hanya berisi rasa dingin yang sendu)
Dayana : Aku janji bakal ngasih tahu kamu semua yang mau kamu ketahui
(Dayana mencoba untuk menghentikan gemetar di tangannya, menggenggamnya erat-erat di atas meja)
Dayana : Apa yang mau kamu ketahui?
(Ishana terus menatapnya, tegas dan tanpa omong kosong)
Ishana : Gimana bisa kamu tahu Sadajiwa?
(Ishana bertanya dengan lugas, suaranya tenang tapi tetap solid)
Ishana : Apa hubunganmu dengannya? Aku kepikiran hal itu sepanjang malam dan berasumsi kalau kamu adalah salah satu pasiennya, tapi itu nggak ngejelasin tindakan aneh yang kamu lakuin tadi malam
(Dayana bisa merasakan beratnya tatapan Ishana padanya, tapi dia tak bisa mengangkat kepalanya untuk menatap mata gadis yang lebih muda darinya itu)
(Di depan orang yang membuatnya merasa paling bersalah - orang yang belum sempat Dayana ucapkan maaf dengan selayaknya – Dayana merasa tak berharga, bersalah dan takut)
Ishana : Kamu takut
(Ishana melanjutkan kalimatnya dengan jelas)
Ishana : Kamu takut dia akan melihat kita bersama. Kenapa?
(Gemetar di tangan Dayana akhirnya lepas kendali, dan dia menariknya dari meja lalu menyembunyikannya di bawahnya)
Ishana : Kamu janji akan menceritakan semuanya kalau aku bersedia pergi tadi malam
(Dayana menghembuskan napas, kasar dan tersedak, kemudian untuk sesaat dia merasa seperti akan retak dan hancur di tempat)
Dayana : Dia itu... aku... aku mengenalnya saat dia magang di sini. Aku ... kita ...
(Dayana menelan ludah, tergagap, dan menggenggam tangannya di atas pangkuannya)
Dayana : Kita... berpacaran
(Mendengar itu, mata saudara tirinya terbuka lebar, dan dia tampak begitu terpukul sehingga sesaat wajahnya mencerminkan warna wajah Dayana yang kemerahan. Ishana tampak ketakutan)
Dayana : I-ishana, aku tahu kalian berdua adalah teman dan rekam jejakku bersamamu sangat, sangat buruk, dan aku mengerti kalau kamu membenciku seumur hidup karena hal itu, tapi kumohon...
(Dayana memohon, meraih tangan beku Ishana)
Dayana : Tolong jangan beri tahu dia semua yang telah kulakukan padamu. Semua... hal ... yang telah kulakukan pada ibumu dan juga ayah kita...
(Ishana tak menanggapi, terdiam di tempatnya ketika Dayana berusaha mati-matian untuk membaca wajahnya tapi gagal)
Dayana : Kumohon, Ishana? Aku paham kalau aku nggak punya hak untuk minta apa pun darimu setelah apa yang udah aku lakuin, tapi tolong kali ini, aku...
(Dayana mendesah, tersedak dengan putus asa)
Dayana : Aku nggak mau Sadajiwa tahu semua hal mengerikan yang udah aku lakuin
(Dayana mendesah dengan kasar, air mata mengalir di pipinya tanpa perlawanan)
Dayana : Dia bakalan panik, kamu tahu itu. Setiap orang normal akan ketakutan dengan hal semacam itu. Aku nggak mau... aku nggak bisa kalau dia menatap mataku dan menganggapku sebagai pembunuh gila yang melukai keluarganya sendiri
(Napasnya semakin keras, dan jika Ishana tak mengatakan apa-apa selama satu menit lagi, Dayana mungkin akan benar-benar hilang kendali)
Dayana : Ishana tolong aku? Tolong kasih tahu aku kalau kamu nggak bakal bilang apa-apa padanya. Please?
(Cengkeramannya pada tangan Ishana semakin kuat, dan seolah-olah remasan itu akhirnya membangunkan gadis yang lebih muda dari lamunannya, Ishana merenggut tangannya dari genggaman tangan Dayana)
Ishana : Sadajiwa bukan... dia bukan cuma seorang teman
(Ishana berbicara lemas, lambat dan tak fokus seolah-olah sedang mengomel pada dirinya sendiri)
Ishana : Dia itu sahabat terbaikku. Sahabatku tersayang yang nggak pernah berhenti kupikirkan selama bertahun-tahun...
(Ishana akhirnya menatap Dayana, matanya berkaca-kaca dan sulit dibaca saat alis Dayana sendiri berkerut penuh kebingungan)
Ishana : Satu-satunya manusia terbaik yang pernah kumiliki… Orang yang rela membuang segalanya dan mengorbankan dirinya untukku saat dia baru berusia enam belas tahun. Orang yang memperlakukanku lebih baik daripada saudara perempuanku sendiri, tadinya aku pun rela menukarkan semuanya cuma buat Sadajiwa...
(Di sana, mata berlinang Ishana mengeras seperti baja dan begitu pula suara terakhirnya yang tajam)
Ishana : Kamu benar. Kamu sama sekali nggak berhak memintaku melakukan apa pun. Aku pernah memedulikanmu dengan sepenuh hati, aku menyayangimu layaknya saudara kandung, dan aku bakal lakuin apa pun yang kamu perintahkan bahkan kalau itu perbuatan kejam sekali pun dan nggak berperasaan, tapi aku udah nggak mau mengulang kesalahan yang sama
(Ishana bangkit dari kursinya, air mata mengalir di wajahnya saat dadanya naik-turun)
Ishana : Aku udah capek jadi mainan kecilmu. Orang yang bertingkah manis saat kamu mau dan orang yang berteriak agar kamu menghentikan tingkah kejammu itu, tapi diabaikan saat kamu mencabik ibuku dan aku cuma bisa nonton...
(Ishana tertawa, suaranya masih menyakitkan dan patah hati)
Ishana : Aku baru berumur dua belas tahun, kamu tahu itu. Aku sekarang berusia 22 tahun, tapi aku masih bermimpi kejadian malam itu dengan jelas dalam tidurku. Hal itu nggak pernah meninggalkanku, dan terus menghantui hidupku
(Dayana merasakan kepalanya berputar, didera banyak hal sekaligus hingga dia merasa ingin pingsan. Rasa bersalah. Ketakutan. Informasi yang mengejutkan bahwa persahabatan Sadajiwa dan Ishana mungkin lebih dalam daripada teman-teman SMA lainnya. Bahwa Ishana mungkin gadis yang Sadajiwa-)
Ishana : Aku ngasih tahu kamu sesuatu yang aku anggap benar
(Ishana menyelesaikan kalimatnya, menarik napas sambil berkaca-kaca)
Ishana : Kamu nggak bisa dikte apa yang harus kulakukan dan terutama Sadajiwa, berhak tahu manusia macam apa yang dihadapinya. Kita bukan bidak caturmu yang bisa dikendalikan sesukamu
(Ishana meraih tasnya, menyelipkannya ke bahunya dengan cepat)
Ishana : Kalau dia memutuskan untuk tinggal bersamamu saat dia udah tahu soal itu, biarlah. Tapi kalau nggak, kamu nggak punya hak mencegah itu terjadi. Cinta nggak bisa dipaksakan dan penuh dengan kebohongan. Itu harus jujur. Dan aku bilang kaya gini bukan semata-mata karena aku benci kamu, aku bilang kaya gini karena dia adalah sahabatku dan aku sangat peduli padanya. Lebih baik kamu kasih tahu dia sebelum aku yang akan lakuin hal itu
(Ishana berbalik, dan membanting pintunya, meninggalkan Dayana sendirian di kamar. Sangat sedih sehingga tak tahu bagaimana melepaskan diri dan berdiri kembali)
SCENE 60 INT. KAFE
Cast. Sadajiwa, Ishana
(Sadajiwa menggoyangkan kakinya saat duduk, ia mengetuk meja dengan gelisah saat melihat keluar jendela sesekali untuk memeriksa apa Ishana sudah tiba)
(Saat itu pukul 5 sore lebih sedikit dan dia harus kembali ke rumah sakit dalam waktu sekitar satu jam. Sadajiwa tak ingin membohongi Dayana lagi, karena berbohong pada Dayana membuatnya merasa seperti sampah dan dia tak ingin melakukannya terlalu sering bahkan jika itu untuk kebaikan yang lebih besar)
(Sadajiwa di sini hanya untuk mengambil teleponnya dari Ishana dan menghabiskan secangkir kopi dengan sahabatnya sebelum kembali ke rumah sakit)
Ishana : Hei, maaf. Aku sedikit terlambat
(Ishana masuk ke kafe dan duduk di depannya, Sadajiwa mengangkat pandangannya dan mata mereka saling bertatapan)
Sadajiwa : Wow. Agak aneh. Aku harus nulis hal ini di catatan harianku- sebagai pencapaian hari pertama kamu datang terlambat
Ishana : Terserah
(Ishana mengejeknya sedikit dan tertawa)
Ishana : Dan juga kamu nggak pernah nulis di catatan harian. Kamu mencoba beberapa kali di sekolah menengah tapi selalu tertidur sebelum berhasil mengisi setengah halaman
Sadajiwa : Iya, deh.
(Sadajiwa bersandar di kursinya, menyeringai)
Sadajiwa : Hari yang sibuk?
Ishana : Lumayan
(Ishana mengangguk, memasang senyum kecil saat dia melambaikan tangan ke pelayan)
Ishana : Saya pesan milkshake vanilla?
(Sadajiwa memandangnya dengan aneh seolah-olah ia baru saja memesan menu minuman luar angkasa)
Ishana : Apa?
(Ishana bertanya, melepaskan jaketnya)
Sadajiwa : Kamu nggak suka gula. Kamu selalu mengejekku soal minuman manisku
Ishana : Ya, tapi aku butuh gula sekarang. Penguat mood dan semacamnya. Udah lama rasanya aku nggak konsumsi kopi karena aku nggak mau jadi penderita insomnia akut
(Sadajiwa memandangnya dengan prihatin, karena sangat jarang temannya yang optimis itu tampak begitu sangat sedih)
Sadajiwa : Mau nyeritain sesuatu nggak?
(Ishana menggelengkan kepalanya, menolak)
Ishana : Jangan peduliin aku. Lagian ini bukan sesuatu yang serius
(Sadajiwa menatapnya tak percaya, dan Ishana tertawa kecil)
Ishana : Serius, aku baik-baik aja kok. Aku bisa menangani hal ini sendiri
(Sadajiwa mengangkat bahu dengan santai dan membatalkan rasa penasarannya)
Sadajiwa : Oke deh, tapi janji, ya, kalau kamu nggak akan berubah jadi mode emo sendirian dan telepon aku kalau kamu butuh temen ngomong. Oh, iya. Jadi keinget nih, apa kamu bawa ponselku?
Ishana : Tentu aja. Aku bukan orang yang pelupa di antara kita berdua. Ini...
(Sadajiwa menyeringai, menarik kembali ponselnya dengan penuh rasa terima kasih)
Sadajiwa : Makasih, ya. Aneh aja di abad ke-21 tanpa ponsel selama sehari
(Senyuman samar terlintas di bibir Ishana saat suaranya menurun)
Ishana : Kenapa? Punya pacar yang harus dikirimin pesan?
(Sadajiwa menatapnya terkejut dan setelah lima detik akhirnya tertawa gugup)
Sadajiwa : Uh, jadi akhirnya kita udah masuk ke ranah pacar sekarang, hah?
(Ishana mengangkat bahu, berpura-pura bahwa itu bukanlah pertanyaan yang menggelegar untuk ditanyakan)
Ishana : Malah aku heran sih, kenapa kita nggak ngobrolin hal itu dari awal, jujur aja. Seperti, sepuluh pertanyaan teratas yang harus ditanyakan teman lama ketika mereka mengejar ketertinggalannya
(Sadajiwa tersenyum malu-malu dan mengangguk)
Sadajiwa : Siap deh...
(Pelayan membawa pesanan Ishana dan ia mencoba untuk memotong gajah besar di ruangan itu dan langsung masuk ke inti topiknya)
Ishana : Begitu?
(Sadajiwa meringis, tak punya cara lain untuk berlari-lari lagi)
Ishana : Apa kamu... mengencani seseorang sekarang? Mungkin?
Sadajiwa : Yah, ya...
(Jawab Sadajiwa perlahan, tampak tak yakin)
(Ishana menatapnya dengan saksama dan senyuman sedih muncul di wajahnya. Ishana menyingkirkan minumannya dan bersandar di kursinya)
Ishana : Sada, aku dulu berumur enam belas tahun. Aku... terlalu muda, dan bodoh, dan takut sakit hati. Aku masih menyesal udah ninggalin kamu
(Suara Ishana terdengar lebih kecil karena penyesalannya kemudian melanjutkannya lagi)
Ishana : Aku seharusnya berdiri bersamamu saat ibumu meninggal dan bahkan saat kamu nembak aku. Maaf...
(Ishana menatap mata Sadajiwa dengan sendu dan bergumam)
Ishana : Tapi aku serius sama apa yang aku omongin di lorong pada hari terakhir kita ketemu di sekolah. Kamu itu sahabat tersayangku dan aku nggak akan pernah menganggapmu kurang dari itu. Kamu nggak perlu khawatir kalau mau nyeritain apa pun mulai sekarang, oke?
(Sadajiwa mengangguk. Senyuman ringan akhirnya muncul di bibirnya)
Sadajiwa : Pasti
Ishana : Bagus
(Suara Ishana sedikit terhuyung tapi dia menutupinya dengan senyuman yang tulus)
Ishana : Sekarang, coba ceritain soal pacarmu. Orang macam apa dia...?
(Sadajiwa mengetuk cangkir kopinya, melihat ke langit dengan senyum kecil yang mengudara sambil berpikir)
Sadajiwa : Dia - dia sangat cantik. Kayanya dia itu wanita tercantik yang pernah kulihat. Dia ... sangat manja, dan sejujurnya, dia membuatku sering kesal ketimbang ngehiburku pas aku pertama kali mengenalnya. Dia bisa sangat gigih, sangat keras kepala, dan terkadang, sangat posesif. Mungkin itu memercikan banyak masalah di antara kita tapi... dia juga membuatku merasa bahagia dan layak untuk dicintai begitu banyak ketika aku sadar kalau aku cuma cowok biasa, nggak spesial...
(Senyuman Sadajiwa semakin redup dan suaranya berubah menjadi nada yang lebih serius)
Sadajiwa : Emosinya kaya rollercoaster, hm? Dia pernah menerbangkan jiwaku menembus atmosfer dan melemparkanku ke palung bumi pada detik berikutnya saat aku ngomong sesuatu yang salah. Terkadang emang sedikit menakutkan tapi...
(Sadajiwa menatap mata sahabatnya, tersenyum saat dia akan menyimpulkan kalimatnya)
Sadajiwa : Aku tetap mencintainya. Dia membuatku merasakan semua hal yang nggak bisa kurasakan dengan orang lain. Dan sekarang, aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa emosi yang kuat ini karena segala sesuatu yang lain kaya nggak ada artinya lagi kalau dibandingin sama perasaan ini. Seperti kehilangan cahaya dalam hidupmu dan yang tersisa cuma asap yang berwarna abu-abu
(Ishana menatapnya dengan saksama, lalu menatap minumannya, tersenyum)
Ishana : Kamu benar-benar mencintainya
Sadajiwa : Sangat
(Sadajiwa menghela napas, meleleh di kursinya)
Sadajiwa : Aku tuh tahu kalau aku bukan orang yang bisa diandalkan dan kadang prinsipku juga tampak berubah-ubah, tapi aku bakal lakuin apa aja untuknya
(Ishana mengangguk, melebarkan senyum saat ia mengaduk minumannya)
Ishana : Itu bagus... Ini momen yang sangat membahagiakan apalagi saat dua orang kebetulan saling mencintai. Itu nggak dateng gitu aja dengan mudahnya, Timing is important, kamu paham soal itu...
(Sadajiwa menyeringai, setuju)
Sadajiwa : Aku sangat beruntung. Nanti aku bakal ngenalin kamu sama dia... Tapi eh, dia ... dia sangat pemalu dengan orang baru. Bahkan sikapnya sangat buruk dengan orang baru
Ishana : Nggak masalah
(Ishana mengangkat pandangannya, tersenyum)
Ishana : Kenalin ke aku kalau dianya udah siap aja
Sadajiwa : Terima kasih
(Sadajiwa menggaruk bagian belakang kepalanya, merasa canggung karena harus berbohong lagi pada Dayana. Ada banyak hal yang ia tutupi dari Dayana dan Ishana. Itu menyiksanya)
Sadajiwa : Kalau kamu sendiri gimana? Udah ada pacar?
(Ishana menatap Sadajiwa dengan nanar)
Ishana : Aku bahkan secara nggak sengaja udah nolak orang yang jelas-jelas kusayangi waktu aku SMA? Mana bisa aku punya pasangan setelah itu
(Mulut Sadajiwa mengendur dan matanya melebar)
Sadajiwa : Tapi kamu ... aku - kupikir di SMA kamu bilang –
Ishana : Aku nggak pernah bisa menyelesaikan kalimat itu
(Mata Ishana terus tertuju padanya, tak tergoyahkan)
Ishana : Kamulah yang menyimpulkan jawabanku di lorong. Aku nggak pernah menyelesaikannya, kamu menghilang keesokan harinya dan aku juga dipaksa pindah negara lagi sama ibu
(Sadajiwa menatapnya, merasa sangat tercengang saat si pirang bangkit dari kursinya)
Ishana : Aku ada perlu sama ibu. Mungkin kita bisa ketemu lagi lain waktu, Sada...
(Sadajiwa ikut berdiri tapi tak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini Ishana tidak mencium pipinya)
Ishana : Bye. Berhati-hatilah saat pulang, Sada
(Ishana pergi dari meja mereka dan membayar makanan mereka berdua di kasir sebelum berjalan keluar)
(Sadajiwa berdiri terpaku dan merasa seperti seluruh dunianya telah terbalik, muncul sebuah perspektif baru yang tak pernah diduganya atau tak bisa diprediksi sebelumnya)
(VO Sadajiwa) Sialan. Aku ngancurin semuanya...