Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Anemoi
Suka
Favorit
Bagikan
34. Bagian 34

SCENE 67 INT RUMAH ISHANA

Cast. Ishana, Ibu Ishana dan Sekretarisnya

Sekretaris : Dia mengunjunginya lagi

(Ibu Ishana mengerutkan kening mendengar berita itu, lengan terlipat kaku di depan dadanya saat dia mendengar sekretarisnya)

Sekretaris : Bodyguard kita mengikutinya ke rumah sakit jiwa dan mengatakan Ishana berkunjung cukup lama

(Wanita tua itu mengulurkan tangan untuk memijat pelipisnya, tepat sebelum pintu dibanting hingga terbuka dan beberapa pelayan terdengar menyambut Ishana dengan terkejut)

Ibu Ishana : Terima kasih atas infonya

(Ibu Ishana mengusir sekretarisnya, menegakkan dan menenangkan diri)

Ibu Ishana : Aku yakin dia akan segera naik ke sini. Lebih baik kamu keluar sekarang

(Pria itu membungkuk dan pamit dengan sopan, tepat pada saat Ishana menerobos pintu ruang belajar tanpa salam)

Ishana : Berapa lama kamu akan menyimpan rahasia ini?

(Ishana mengeluarkan semua amarahnya sembari melangkah masuk, sopan santun dan etika sirna saat dia berteriak)

Ishana : Kamu menjebaknya! Semua hal memuakkan dan mengerikan yang terjadi di masa lalu – terjadi karena kamu yang udah membiarkannya terjadi!

(Ibunya tetap diam di kursinya, tanpa ekspresi)

Ibu Ishana : Bicara apa kamu, sayang?

Ishana : Dari dulu kamu nggak pernah ngasih tahu aku kalau kamu dibius!

(Ishana mendidih, berjalan ke depan mendekati ibunya)

Ishana : Dan udah jelas, kamu nggak pernah ngasih tahu siapa pun gimana caranya kamu bisa bergerak setelah itu sementara ayah –

(Ishana tersedak, merasa mual hanya karena ingin mengucapkan kata-kata selanjutnya)

Ishana :  Ayah... bahkan nggak bisa gerak sedikit pun untuk menyelamatkan hidupnya!

(Ibunya tetap tak bergerak dan untuk pertama kalinya, Ishana ingin meraih dan menarik bayangan gelap dari wajah ibunya untuk melihat semua kebusukannya yang tersembunyi)

Ishana : Kamu yang melakukan semua ini!

(Ishana menjerit, merasakan dunianya hancur berantakan. Teriakannya berubah menjadi teriakan tercekik saat rasa hormat dan kekagumannya seumur hidup untuk wanita itu terbakar menjadi abu)

Ishana : Kamu memanipulasi semua orang di sekitarmu!

Ibu Ishana : Nggak

Ishana : Ya? Ternyata itu sebabnya kamu nyuruh aku keluar rumah tepat sebelum semuanya terjadi? Apa itu benar-benar hanya kebetulan? Dengan polisi muncul begitu cepat tanpa ada yang menelepon?

(Ibunya masih tenang dan setelah keheningan yang panjang, akhirnya melepaskan belenggunya. Dia melihat ke arah Ishana tapi mendung seperti sebelumnya, Ishana tak bisa membaca mata putihnya dan melihat apa yang ada di dalamnya)

Ibu Ishana : Ibu nggak punya pilihan

(Ibu Ishana akhirnya berkata, Ishana merasa seperti ingin berteriak padanya dan ambruk ke lantai)

Ibu Ishana : Aku melihatnya menggantung foto kita di lemarinya dengan pisau berdarah tertusuk di atasnya dan semua itu... gila, dan yang terpikir pertama kali dibenakku hanyalah gimana kalau dia dengan mudahnya menyelinap ke kamar tidurmu di malam hari dan menyakitimu saat aku tidur

(Suaranya menguat saat itu, dan meskipun tertutup, terlihat bahwa dia sedang berjuang)

Ibu Ishana : Aku takut dia akan menyakitimu, dan tepat pada hari itu, aku memberitahu ayahmu agar menjauhkannya darimu. Ayahmu menolak. Malah bilang kalau aku terlalu emosional. Ya, tentu aja! Kamu adalah putriku satu-satunya dan aku nggak akan membiarkan kamu dibunuh oleh saudara tirimu karena dia adalah seorang psikopat yang putus asa!

(Ishana menatap ke arah wajah Ibunya yang berlinang air mata, merosot menjadi rasa sakit yang lebih tajam dan lebih tajam saat semua rahasianya terbuka)

Ibu Ishana : Aku udah bilang sama ayahmu untuk menjauhkannya dari kita tapi ayahmu bersikeras untuk menahannya di rumah kita. Saat itulah aku sadar kalau dia ingin melindungi miliknya dan nggak mikirin apa yang jadi milikku, maka aku nggak punya pilihan selain melindungi anakku sendiri

(Nada suaranya pecah, dan Ibunya terlihat sedih bahkan hanya untuk sesaat)

Ibu Ishana : Aku nggak tahu kalau semuanya akan berakhir kaya gini. Aku melihatnya menumpuk botol obat itu di lemarinya dan yang aku tahu hanyalah dia akan menggunakannya pada kami saat dia menginjakkan kakinya kembali ke rumah sepulangnya dari Bandung. Jadi aku – ikut ke dalam permainannya. Aku – tadinya itu hanya untuk meyakinkan ayahmu - kalau anak kandungnya itu berbahaya. Aku udah menyiapkan penawar obatnya kalau ada yang nggak beres, dan itu beneran terjadi—

(Ibu Ishana kemudian mengangkat pandangannya dan meskipun dia tak bisa lagi melihat putrinya, dia bisa merasakan tatapan patah hati dan air mata Ishana yang tertuju padanya)

Ibu Ishana : Rencana ibu sebenarnya hampir berjalan lancar, tapi saat dia mulai membakar segalanya, dan aku bahkan bisa menyelamatkan ayahmu, tapi kemudian, kamu masuk...

 

(Napas Ishana tertahan di tenggorokannya, dan dia tersedak)

Ibu Ishana : Kamu seharusnya menjauhi rumah itu tapi kamu berlari kembali. Semua nggak terduga, kamu berlari kembali. Kamu berteriak dan aku harus memilih antara kamu atau ayahmu. Tentu aja kamu tahu apa yang akan kulakukan

(Ishana berhenti bernapas sedetik dan seolah melempar dirinya yang sudah rusak dengan batu besar bergerigi, ibunya bergumam serak)

Ibu Ishana : Aku akan selalu memilihmu daripada siapa pun, Ishana. Kamu adalah anakku. Nggak peduli kalau aku harus merelakan nyawa orang lain. Aku akan selalu memilihmu – mungkin aku udah melakukan kesalahan yang mengerikan tapi semua yang kulakukan murni hanya karena kamulah yang ibu prioritaskan. Dan kalau aku harus melakukannya lagi, aku akan melakukan hal yang sama, bahkan untuk ribuan kali...

           

           (VO Ishana) Semua orang punya sudut pandang yang berbeda...

SCENE 68 INT KAMAR NO 8

Cast. Dayana, Bu Tita

(VO Dayana) Kamu di permainkan. Oh, kamu pemain yang sangat buruk. Pelacur sialan itu. Manipulatif, wanita jalang itu. Dia menjebakmu. Dia tahu segalanya bahkan sebelum itu terjadi. Gimana caranya polisi bisa datang begitu cepat? Firasat apa yang membuat adik tirimu meninggalkan rumah? Dia tahu kamu akan melakukannya. Oh, kamu bermain sangat buruk, Dayana...

 

(Dayana menempelkan kedua tangannya ke telinga, tapi suara itu tertawa histeris padanya dengan ejekan yang menggelegar)

 

(VO Dayana) Oh, Dayana...Manis, Dayana malang...Kamu pikir kamulah yang paling jahat...Kamu pikir kamu punya rencana pembunuhan yang dibuat dengan sempurna di kepala kecil mungilmu itu, kamu nggak pernah mikir kalau kamu bakal tertipu oleh pihak yang kalah!

 

(Dayana membenturkan kepalanya ke dinding samping tempat tidur, tapi suara itu terus menertawakannya)

 

(VO Dayana) Kamu menghabiskan separuh hidupmu membusuk sendirian di tempat ini karena kamu pikir kamu pantas mendapatkannya, tapi kalau sekarang gimana? Bagaimana rasanya ditipu seumur hidup, Dayana? Gimana rasanya??

 

Dayana : BERHENTI!

(Dayana membenturkan kepalanya ke dinding dengan keras, jeritan memekakkan di telinga sudah merobeknya saat rasa sakit menyentaknya. Dia merasakan pembuluh darahnya berdenyut-denyut di tengkoraknya dengan menyakitkan, tapi penderitaan itu tak cukup untuk menghentikan suara tawa yang mengejeknya daritadi)

Dayana : BERHENTI! BERHENTI! BERHENTI! TINGGALIN AKU SENDIRI! TINGGALIN AKU SENDIRI!

(Dayana membenturkan kepalanya ke dinding berlumuran darah sekali lagi, dan saat penglihatannya mulai buram, dia mendengar pintu terbuka)

Bu Tita : Dayana! Apa-apaan ini! Udah cukup!

(Bu Tita mencengkeram bahunya erat-erat dan menyentaknya, mengamati wajahnya dengan panik)

Bu Tita : Ya Tuhan, kamu berdarah! Ayo kita ke UGD, kamu perlu –

Dayana : Dia mempermainkanku!

(Dayana menjerit, terus menangis saat ia menatap psikiater yang terkejut itu dengan liar)

Dayana : Dia mempermainkanku! Dia menjebak aku layaknya tikus kecil yang bodoh! Dia mungkin menyuruh perusahaan keamanan menyadap semua rumah kami sehingga mereka tahu persis saat aku mau lakuin sesuatu! Dia mungkin punya penawar biusnya juga dan itulah alasannya dia bisa bergerak setelah aku menembaknya! Dia tahu segalanya!

(Genggaman Bu Tita mengendur dari bahunya, dan psikiater itu menjadi sangat pucat)

Dayana : Dia tahu semua ini! Aku nggak tahu gimana dia bisa tahu semua rencanaku! Wanita sialan itu-

(Napas Dayana tertahan di tenggorokannya, dan cengkeramannya pada jas putih Bu Tita menegang)

Dayana : Ada sesuatu yang lebih dari ini! Pasti ada sesuatu yang lebih dari ini, aku tahu itu!

Bu Tita : Daya, tenanglah

(Bu Tita berusaha menenangkannya, tangan gemetar saat perutnya bergejolak ketakutan)

Bu Tita : K-kamu mikirnya kejauhan dan nggak ada yang seperti itu. Nggak - nggak mudah bagi siapa pun di luar rumah sakit untuk menggunakan penawar suxamethonium

(Jeritan Dayana mereda saat itu, dan seolah-olah mantel Bu Tita telah terbakar, dia segera menarik tangannya dari mantel itu)

Bu Tita : A-apa?

Dayana : Kamu harusnya nggak tahu soal itu

(Suara Dayana terdengar seperti dinginnya musim dingin di belahan utara dunia, dan menebas hati Bu Tita yang langsung membeku)

Dayana : Aku nggak pernah ngasih tahu kalau obat bius yang kugunakan itu suxamethonium

(Tubuh Bu Tita seperti tanpa darah dan terhuyung-huyung karena gemetar, tapi Dayana dengan cepat menyergap leher Bu Tita sebelum dia bisa berkedip. Bu Tita menabrak dinding di belakang mereka dalam sedetik dengan cakar di tenggorokannya)

Dayana : Oh, nggak… jangan kamu juga, Tita. Tolong beri tahu aku kalau kamu nggak terlibat

(Paku tajam menusuk tenggorokan Bu Tita dan ia tergagap panik saat teror mencengkeramnya)

Dayana : Darimana kamu tahu itu? Katakan padaku, gimana caranya kamu bisa tahu?

(Dokter psikiater itu meronta-ronta dengan liar, tapi Dayana membenturkan kepalanya ke dinding dengan kasar. Bu Tita menjerit)

Dayana : Apa kalian saling ngobrol? Ibu tiriku, apa kamu bicara sama dia? Apa kamu merencanakan sesuatu dengannya tanpa sepengetahuanku?

(Penglihatan Bu Tita menjadi putih saat udara mulai keluar dari mulutnya dengan terpaksa, dan paru-parunya terasa terbakar)

Dayana : Jawab aku, Tita!!

Bu Tita : A-Aku yang melakukannya!

(Bu Tita terengah-engah, tersedak dan mencakar tangan Dayana mati-matian untuk membebaskan pipa udaranya)

Bu Tita : A-aku nggak punya pilihan! Aku harus melakukannya untuk menyelamatkan suamiku yang sakit!

(Cengkeraman mematikan Dayana mengendur saat itu, dan seolah-olah jiwanya telah terlempar dari tubuhnya, dia terhuyung mundur dan membiarkan Bu Tita jatuh lemas ke lantai. Dokter psikiater itu mengalami batuk rejan)

Dayana : Wow...

(Renung Dayana perlahan, benar-benar merasa telah dibuang)

Dayana : Wow...

(Mata Dayana kemudian menjadi basah, dan Dayana tampak begitu sedih sehingga merasa telah diiris menjadi dua)

Dayana : Aku mempercayaimu... Aku sangat mempercayaimu, hah? Aku - aku pikir aku berhutang budi padamu

(Bu Tita sendiri terhempas hingga menangis di dalam keheningan, meringkuk di dinding dan menarik lututnya ke dada)

Bu Tita : Maafin aku, Daya... Aku sangat, sangat menyesal...

(Mereka berdiam melalui keheningan yang menghancurkan, sampai Dayana menggeram)

Dayana : Apa lagi? Apa lagi yang kamu lakuin selain itu?

(Bu Tita tak bisa mengangkat wajahnya sebab merasa bersalah. Dia tetap menangis)

Dayana : Obat-obatan itu ... obatku saat pertama kali datang ke sini ... apa kamu ngasih itu karena kamu yakin aku emang butuhin itu ... atau apa itu sengaja membuatku lebih buruk...? K-kamu tahu itu akan membuatku lebih buruk...

(Bu Tita tak bisa mengucapkan sepatah kata pun dan yang berhasil ia bisikkan hanyalah, kata ‘Maaf’)

(Dayana merasakan pukulan tajam ke dadanya dan seluruh tubuhnya menyerah. Dia mundur selangkah atas pukulan itu. Hancur. Sudah tak bisa diperbaiki hatinya)

Dayana : Jadi itu semua hanyalah bagian dari rencanamu ... Mengenalku ... mendapatkan kepercayaanku saat aku sendirian dan bingung ... berpura-pura jadi temanku sambil menusuk punggungku dari belakang...

(Suara Dayana bergetar, dan dia tampak begitu, sangat sedih hingga lemas)

Dayana : Apa lagi yang kamu lakukan selain itu? Katakan, ceritakan semuanya sekarang

(Bu Tita mendesah saat air mata mencekiknya)

Bu Tita : Ayahmu ... dia nggak pernah anggap kamu gila ... Ayahmu menolak kamu dilarikan ke RSJ ... Ibu tirimu-lah yang selalu menyuruhnya buat nyingkirin kamu dari rumah ... Aku menyesal udah bohong sama kamu ... berkali-kali

(Tangan Dayana terkulai lemas ke samping tubuhnya, dan untuk sesaat dia tampak seperti jasad yang jiwanya sudah melarikan diri darinya. Dayana adalah cangkang kosong yang mengerikan)

Bu Tita : Maaf, Dayana ... Aku sangat, sangat menyesal. Aku nggak pernah bermaksud –

Dayana : Keluar

(Dayana mendesis, akhirnya jiwanya masuk kembali ke dalam tubuhnya dengan dendam yang dalam dan sakit)

Dayana : Keluarlah sebelum aku mencekikmu lagi

(Dayana mendesis muram, kali ini lebih keras)

Dayana : Karena aku berani sumpah kalau aku mencekikmu lagi, aku nggak akan melepaskannya dari tenggorokanmu sampai kulitmu robek dan dagingmu hancur. Kamu itu busuk, manipulatif, dasar wanita jalang

(Dayana memelototi dokter kepala itu, dan suaranya tiba-tiba menggelegar)

Dayana : KELUAR!

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar