Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SCENE 55 INT LOBBY RSJ
Cast. Dayana, Ishana
(Ishana memainkan telepon di tangannya, memutarnya dengan ringan saat meregangkan kakinya di lantai marmer putih ruang tunggu)
(Ishana ingin tahu apa Sadajiwa sungguh menyukai departemen psikiatri. Ishana sudah pergi ke bangsal neurologi sebelumnya dan menyangka kalau Sadajiwa akan ada di sana tapi ia bertemu dengan dokter magang yang tinggi - apa namanya Zafia? – Dokter magang bernama Zafia itu mengejek pertanyaan Ishana dan bilang kalau Sadajiwa memiliki tugas 'ekstra' di bangsal psikiatri setiap malam)
(Tempat ini sunyi—terutama di malam hari, dan Ishana tak bisa memahami alasan Sadajiwa sangat ingin berada di sini kecuali kalau dia sungguh serius ingin menjadi seorang psikiater. Tapi betapa salahnya Ishana. Ketika ia mendengar langkah kaki yang dipikirnya adalah langkah kaki Sadajiwa, Ishana berbalik lalu bertemu dengan sosok yang tak pernah diduganya akan dijumpainya di tempat seperti ini)
(Ishana berdiri dari kursinya, matanya terbuka lebar kemudian mundur selangkah. Pada saat yang sama, orang di depannya juga membeku dan mukanya jadi pucat)
(VO Ishana) Nggak mungkin. Ini nggak mungkin...
Ishana : Kak Laras?
(Gadis di depannya, lebih tua dan jauh lebih dewasa sejak tragedi mengerikan yang Ishana alami beberapa tahun lalu, Dayana balas menatapnya dengan keterkejutan yang sama di wajahnya. Mata cokelat besar, cerah, terbuka lebar di antara rambut panjang gelapnya)
(VO Ishana) Wajah pucat itu mungkin tumbuh lebih tajam dari yang terakhirku ingat, tapi nggak salah lagi orang di balik mata itu pastilah—
Dayana : I-ishana
(Ishana membeku. Karena suara itu, memanglah milik Dayana. Ishana sering mendengarnya bahkan dalam mimpi, dalam mimpi buruk yang tak terhitung jumlahnya dan dari jeritan yang mengental merah bahkan hingga hari ini)
Ishana : I-ini mustahil
(Ishana tergagap, melangkah mundur dengan gemetar dan menggelengkan kepalanya dengan sembrono)
Ishana : Kamu pasti nggak nyata
(Dayana terdiam dan Ishana pun sama diamnya)
Ishana : Ini pasti halusinasi
(Dayana membeku, tangan dan kulitnya sedingin es saat kata-kata itu mengenai ulu hatinya)
Ishana : Kamu cuma oase gurun pasir, nggak nyata
(Ishana berusaha percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri kecuali pada sosok yang dilihatnya. Ishana berdiri di lobi yang dingin bersama saudara tirinya yang kejam dan pembunuh, tanpa ada orang lain lagi di sana)
(Ishana bergidik ngeri)
Ishana : Kenapa kamu bisa ada di sini?
(Dayana berusaha membuka mulutnya tapi tenggorokannya seolah-olah telah dihancurkan oleh besi panas. Tak ada kata-kata yang keluar darinya sementara oksigen sepertinya meninggalkan tubuhnya sekaligus)
(Dayana merasa sangat sesak sehingga dia mungkin akan pingsan)
Dayana : I-ishana
(Suaranya terdengar seperti sedang sekarat, dan panggilan itu mungkin tak sampai ke telinga Ishana jika bukan karena fakta bahwa mereka adalah satu-satunya orang di lobi yang kosong dan sepi itu. Ishana terkejut)
Ishana : Kamu nggak boleh ada di sini... I-ibu bilang kamu udah pindah dari kota ini—
Dayana : Ishana, kumohon
(Potong Dayana dengan ketakutan, mengalihkan pandangannya sembari melirik ke belakang dengan ketakutan karena khawatir Sadajiwa akan keluar)
Dayana : Kumohon, kumohon—
(Kata-katanya terhenti tak berdaya di tenggorokannya, dan ia menoleh ke arah gadis yang lebih muda lagi dengan banyak ketakutan)
Dayana : Silakan pergi sebelum Sadajiwa bangun ... Tolong. Tolong pergi...
(Ishana menatap kakak perempuannya yang belum pernah ditemuinya selama bertahun-tahun itu, dan butuh beberapa detik sebelum kata-kata Dayana yang terdengar seperti mengigau itu mulai masuk ke otaknya dan menariknya keluar dari imajinasinya)
(Sesuatu yang jauh lebih mengejutkan mencengkeramnya bahkan sebelum Ishana bisa pulih)
Ishana : Kamu - kamu kenal Sadajiwa?
(Dayana kelihatan tak berbahaya pada momen ini bahkan wajahnya tampak pucat layaknya mayat hidup)
Dayana : Ishana, kumohon. Kamu harus pergi sekarang
(Dayana melangkah maju dengan gemetar dan satu tangan terulur, tapi Ishana bergegas menjauh darinya seolah-olah ia akan terluka jika Dayana begitu saja meletakkan tangannya di tubuhnya. Secara refleks dia tersentak ke belakang, matanya terbelalak karena khawatir dan seolah-olah ingatan yang berlumuran darah pada tahun-tahun yang lalu masih terngiang dan jelas)
Ishana : Jangan pegang aku!
(Tangan Dayana yang gemetar berhenti di tengah jalan, dan untuk sesaat Dayana merasa sakit. Sedih pula karena gadis yang dulunya menatapnya dengan begitu banyak kekaguman sekarang menatapnya dengan ketakutan seakan Dayana monster pembunuh yang bengis)
(Dayana tak pernah berpikir kalau hal ini akan menyakitinya, apalagi saat melihat orang-orang dari masa lalunya memandangnya seperti itu)
Ishana : Jangan mendekat
(Kata-kata Ishana membuat Dayana kembali ke dalam alam bawah sadarnya yang menyiksa meskipun hal itu tak kasar dan hanya menakutkan)
Ishana : Gimana bisa kamu kenal sama Sadajiwa? Apa dia – apa dia juga kenal sama kamu?
(Gadis yang lebih muda terlihat sangat putus asa dan terpukul, dan Dayana sendiri tak memiliki kekuatan untuk menahan situasi ini lebih lama. Dayana merasa mual. Dayana hanya ingin melarikan diri)
Dayana : Aku bakal ngasih tahu kamu...
(Dayana memaksakan suara terakhirnya keluar dengan lemah, matanya tertuju pada tangan Ishana untuk menghindari tatapan langsung ke matanya)
(Dan saat itulah Dayana menyadari ponsel Sadajiwa ada di tangan gadis lain. Tentu saja Sadajiwa sudah menghabiskan waktu bersama Ishana sebelum datang ke sini)
(Jantungnya berdegup kencang dan meninju dinding dadanya dengan menyakitkan)
(VO Dayana) Terlalu banyak. Terlalu banyak dan terjadi sekaligus...
(Kepala Dayana terasa seperti ingin meledak dari suara-suara yang merayap di sekitar telinganya dengan berbahaya, menunggu untuk menerkam kewarasannya pada saat yang rapuh)
Dayana : Aku bakal ngasih tahu kamu kalau kamu kembali ke sini lagi, besok...
(Dayana menyelasaikan kalimatnya tiba-tiba, bahkan tak tahu apa yang dikatakannya lagi. Dayana hanya ingin lari ke dalam kamarnya)
Dayana : Kembalilah besok di jam kerja operasional
(Dayana mengangkat matanya untuk bertemu dengan adik perempuannya, menguatkan suaranya dan mencoba untuk setidaknya terlihat sedikit tegas karena hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menahan tangis di depan adik perempuannya)
Dayana : Pastikan kamu datangnya selama jam kerja jadi ...
(Dayana berhenti, menelan ludah)
Dayana : Jadi Sadajiwa nggak akan tiba-tiba masuk saat kita bicara
(Ishana tampak sangat enggan menerima penjelasannya yang samar-samar, tapi Dayana memohon padanya sekali lagi)
Dayana : Kumohon, Ican... Aku bakal ngasih tahu semua yang ingin kamu ketahui. Aku cuma - aku ingin kamu pergi sekarang, tolonglah ...
(Mereka bertatapan, dan setelah beberapa saat ketegangan masih tak terucapkan dan perlawanan juga masih tak terucapkan, Ishana akhirnya berbalik dan memutuskan untuk meninggalkan tempat itu)
(Kepala Dayana runtuh, begitu pula seluruh dunianya)
SCENE 56 INT KAMAR NO 8
Cast. Dayana, Sadajiwa
Sadajiwa : Oh, sial
(Sadajiwa melompat dari tempat tidur, bahkan mengejutkan dirinya sendiri dengan kecepatan yang tiba-tiba dan membuat kepalanya pusing)
(Sadajiwa memasukkan tangannya ke dalam saku celana jeans untuk mengeluarkan ponselnya dan melihat jam, tapi dia sadar kalau handphone-nya tak ada di sakunya)
Dayana : Nyari sesuatu?
(Sadajiwa berteriak, berdiri dan berbalik, melihat Dayana duduk tenang di kursi samping tempat tidur dengan ekspresi tak terbaca)
Sadajiwa : Astaga, Daya. Kamu nakutin aja! Kenapa kamu duduk di sana? Nggak nyari apa-apa kok. Jam berapa sekarang? Bu Ningsih bakal laporin aku ke Bu Tita kalau aku melebihkan waktu berkunjung –
Dayana : Nggak masalah
(Dayana bergumam, senyuman kecil membelai bibirnya tapi tampak tertutup oleh ekspresi berat dan bermasalah)
Dayana : Aku minta Bu Ningsih buat ngizinin kita sekali ini aja. Aku udah bilang kalau aku nggak tega banguninnya karena kamu kelihatan capek banget
Sadajiwa : Wow...
(Sadajiwa mengangkat alisnya, menatap pacarnya dengan tak percaya)
Sadajiwa : Dan dia percaya sama hal itu? Suap macam apa yang kamu janjiin sama dia?
Dayana : Selama seminggu aku harus minum obat dengan benar dan nggak membuatnya sakit kepala, atau buat masalah
(Sadajiwa pecah dengan senyuman kecil dan perlahan menarik gadis yang lebih tua itu dari kursinya)
Sadajiwa : Kamu harus selalu melakukan itu bahkan tanpa embel-embel apa pun, oke? Bahkan kalau Bu Ningsih nggak ngizinin aku nginep di sini lagi, ngerti?
(Sadajiwa menatap ke dalam mata Dayana, senyum manis yang selalu disimpannya merayap secara alami)
Sadajiwa : Janji dulu sama aku kalau kamu bakalan minum obatnya tepat waktu dan, kamu nggak akan duduk di ruangan ini sepanjang hari, sendirian — tapi jalan-jalan keluar kamar dan ngobrol sama yang lainnya, ya...
(Dayana mengangguk, tapi senyum tegangnya tak sampai ke matanya dan tatapannya hanya jatuh setinggi kerah Sadajiwa, bukan matanya)
Sadajiwa : Hei
(Sadajiwa menyelipkan tangan ke wajah Dayana, menangkup pipinya dan memiringkan kepalanya ke atas sehingga Sadajiwa bisa melihat langsung ke matanya)
Sadajiwa : Ada yang salah? Kamu kelihatan aneh
Dayana : Nggak ada
(Dayana masih memaksakan senyum, sekali lagi menurunkan pandangannya untuk melihat ke arah mana pun kecuali mata Sadajiwa)
Dayana : Sedikit sedih karena kamu mau pulang. Udah nemuin yang kamu cari belum?
Sadajiwa : Oh
(Sadajiwa melangkah mundur dan menggaruk kepalanya, menepuk sakunya sendiri yang tak memberinya apa-apa selain kekosongan)
Sadajiwa : Kayanya sih aku ngilangin ponselku di suatu tempat
(Otot menegang di leher Dayana dan ia berjuang keras untuk menjaga suaranya tetap seimbang)
Dayana : Apa ponselnya ada di suatu tempat di lingkungan barumu? Kamu nggak pergi ke mana pun setelah shift neurologi, kan?
(Sadajiwa berhenti bergerak pada pertanyaan itu dan sedikit ternganga sebelum kata-kata gagap yang Dayana tahu hanyalah sebuah kebohongan)
Sadajiwa : Ng-nggak, aku langsung ke sini setelah shift aku beres kok
(Dayana mengangguk. Senyuman kecil yang menyakitkan mewarnai wajahnya saat melihat ke bawah, perasaannya campur aduk)
Dayana : Kamu sebaiknya pergi. Ini udah malem banget
Sadajiwa : Aku besok ke sini lagi kok, tenang aja
(Sadajiwa mencondongkan tubuh ke depan, memberikan ciuman di dahinya dan menarik diri)
Sadajiwa : Aku sayang kamu, Daya. Tidur yang nyenyak malam ini
(Dayana mengangguk dan melepaskan pelukannya, matanya tertuju ke arah pintu untuk waktu yang lama bahkan setelah bayangan Sadajiwa menghilang)
Dayana : Aku sayang juga sama kamu
(Dayana berkata pelan, matanya kosong tapi hatinya pun sakit pada saat bersamaan)
Dayana : Kenapa kamu harus bohong sama aku?