Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Anemoi
Suka
Favorit
Bagikan
27. Bagian 27

SCENE 53 INT TAMAN RUMAH SADAJIWA

Cast. Sadajiwa, Ishana

(Sadajiwa menatap kosong meja kayu di depannya, percakapannya dengan Dayana minggu lalu terulang di benaknya seperti selotip rusak)

*Flashback*

Dayana : Dia adalah seseorang yang kukenal dari masa lalu

(Sadajiwa memandangnya dengan mata lebar, terkejut dengan kejadian yang tak terduga itu)

Dayana : Seseorang yang kutakuti

(Dayana menatapnya dengan mata berkaca-kaca)

Dayana : Seseorang yang sangat mengenal monster dalam diriku

(Sadajiwa menghela napas dalam-dalam dan mengerutkan alisnya)

(VO Sadajiwa) Kira-kira mereka berdua punya hubungan apa di masa lalu ? Dayana dan Ishana? Mereka kenal darimana...

(Walau hanya memikirkan mereka mengenal satu sama lain pun masih terdengar sangat aneh bagi Sadajiwa. Dayana sudah dikurung di rumah sakit sejak berusia lima belas tahun. Artinya, Ishana berusia dua belas tahun saat itu terjadi. Sadajiwa pertama kali bertemu Ishana ketika mereka berusia enam belas tahun. Kelas dua Sekolah Menengah, dan Ishana merupakan siswa pindahan dari Singapura, setehun mereka bersama dan tak pernah ada nama Dayana muncul dari mulut Ishana)

(VO Sadajiwa) Jadi ... kapan dan di mana tepatnya dia bisa bertemu Dayana? Sehingga hubungan mereka tampak kurang baik dan membuat Dayana jadi begitu ... terpengaruh?

Ishana : Halo? Sadarlah wahai Sadajiwa?

(Ishana menjentikkan jari di depan wajahnya, dan Sadajiwa mulai tersadar)

Sadajiwa : Maaf

(Sadajiwa langsung tersenyum, bergerak dari duduknya dan menggelengkan kepala)

Sadajiwa : Barusan kamu ngomong apa?

(Ishana berpura-pura tersinggung dan bersandar di kursinya untuk melipat tangannya ke gagang ayunan)

Ishana : Kubilang, pekerjaan kantor membuatku stres, tugas universitas juga nggak banyak membantu, dan sahabatku yang mirip hamster ini ngelamun terus, mungkin juga nggak dengerin apa yang aku omongin daritadi

(Sadajiwa membuat wajah cemberut dan mereka berdua tertawa)

Sadajiwa : Maaf, akhir-akhir ini aku banyak pikiran

(Sadajiwa menghembuskan napas)

Sadajiwa : Tapi, apa kamu benaran stres karena universitas? Itu sama sekali bukan tipikal Ishana, juga gelar itu nggak begitu penting buat jalanin perusahaan ibumu sendiri, kan? Semua orang tahu kamu adalah satu-satunya pewaris tahtanya

(Ishana menggerutu dan menghembuskan napas lagi)

Ishana : Aku nggak bisa gitu aja masuk ke sana dan merintah sana-sini, apalagi di lingkungan kantor dengan sekelompok orang tua berpengalaman—tanpa gelar apa pun, Sada. Mereka udah kerja di sana lebih lama dari umurku. Itu terlalu kasar

(Sadajiwa mengangguk sambil menjilati es krimnya)

Sadajiwa : Poin yang bagus. Kayanya kamu emang nggak punya pilihan selain mematahkan punggungmu dan mendapatkan gelar itu. Demi bawahanmu yang sudah pada tua itu, dan juga perutnya yang buncit

(Ishana menertawakan tanggapan Sadajiwa yang kurang ajar dan menggelengkan kepalanya)

Ishana : Mereka itu rekan-rekan mendiang ayahku yang dihormati, Sada. Aku nggak berani nyebut mereka orang tua perut buncit

(Ishana bertemu dengan tatapan Sadajiwa, yang sekarang menaikkan alisnya dengan sadar)

Ishana : ... tapi oke, oke, mereka emang buncit dan tua

(Sadajiwa terkekeh puas dan menyodorkan es krim cokelatnya pada bibir Ishana, lalu terkekeh semakin keras)

Sadajiwa : Itu bakal jadi rahasia di antara kita berdua aja

Ishana : Kamu itu bawa pengaruh buruk

Sadajiwa : Kayanya sih

(Sadajiwa menyeringai. Saat Sadajiwa menjilat es krim Ishana dengan diam-diam, sebuah pikiran muncul)

Sadajiwa : Oh, iya... soal keluargamu, kalian pindah ke sini dari Singapura sebelum kamu mulai kelas dua sekolah menengah, kan?

(Ishana tampak sedikit terkejut dengan pertanyaannya yang tiba-tiba itu, tapi ia berusaha tetap menggoyangkan ayunannya sendiri)

Ishana : Iya. Aku dan ibuku aja sih sebenernya. Kenapa?

Sadajiwa : Nggak apa-apa kok

(Sadajiwa berbohong, meletakkan memakan sisa terakhir es krimnya dengan hati-hati)

Sadajiwa : Penasaran aja

(Sadajiwa bisa saja bertanya pada Ishana apa dia mengenal seseorang bernama Larasati Daya tapi Dayana benar-benar memintanya untuk tak mengatakan apa-apa pada Ishana, dan Sadajiwa tak pernah mengingkari janjinya. Terutama janji yang dibuatnya untuk Dayana, yang dia hargai lebih dari apa pun)

(Sadajiwa menelan kembali ludahnya)

Sadajiwa : Kamu nggak pernah tinggal di Indonesia, kan, sebelumnya?

(Saat itu, senyum Ishana sedikit menyusut dan dia terlihat gelisah)

Ishana : Pernah, sejujurnya. Aku tinggal di sini selama beberapa tahun sebelum kembali ke Singapura. Ada ... kecelakaan di sini, dan ibuku dan juga aku harus menjauhkan diri dari tempat ini untuk sementara waktu

(Sadajiwa menatapnya, terkejut dengan informasi yang baru saja dia pelajari. Sekarang Sadajiwa mulai merenungkannya, mereka sangat dekat di sekolah menengah tapi Ishana juga tak pernah gemar mengobrol soal keluarga. Anehnya hal itu juga yang mengingatkannya pada Dayana. Tentang keengganan berbagi topik terkait keluarga)

Sadajiwa : Ibumu sekarang baik-baik aja, kan?

(Sadajiwa bertanya, karena yang bisa dia ambil dari ingatannya yang berdebu hanyalah wanita tua yang selalu mengurung dirinya bahkan di rumah, dan membutuhkan bantuan Ishana untuk berjalan. Ishana bilang kalau ibunya kehilangan penglihatannya)

Ishana : Dia baik-baik aja

(Si pirang tersenyum, menghela napas)

Ishana : Aku bantuin ibu semampuku. Kayanya udah cukup deh bahas soal aku. Kalau kamu sendiri gimana? Katanya tadi kamu punya banyak pikiran. Apa itu soal departemen barumu?

(Sadajiwa meringis mendengar nama departemen barunya dan mengerang. Sebagian emang berasal dari situ, setelah keluar dari departemen psikiatri seminggu yang lalu, akhirnya tinggal satu departemen tersisa agar Sadajiwa mendapatkan gelarnya)

Sadajiwa : Aku nggak yakin sama neurologi dan mungkin aku dilahirkan jadi musuh bebuyutan departemen itu. Baru satu minggu berlalu dan aku udah hampir sekarat

(Ishana tertawa kecil, Sadajiwa berdiri lalu membuang wadah es krim miliknya juga milik Ishana, sebelum duduk di ayunan sebelah Ishana lagi)

Ishana : Emangnya ada departemen di mana kamu ngerasa nyaman dan nggak sekarat?

(Sadajiwa memandang ke langit, melamun dan tersenyum saat memikirkannya)

Sadajiwa : Psikiatri. Yang baru aja seminggu kemarin aku beresin

(Pikirannya melayang ke Dayana dan betapa ia ingin tinggal bersamanya di tempat terkunci itu selamanya jika dia bisa. Menceritakan beberapa lelucon bodoh hingga membuatnya tertawa agar Dayana tak hanya duduk di sana sepanjang hari sambil menatap ke luar jendela)

(Senyumannya sedikit memudar, karena mungkin itulah yang sedang dilakukan Dayana saat ini. Bu Tita memberitahunya tentang betapa pendiam dan murung gadis yang lebih tua itu sejak Sadajiwa pergi, cukup mengkhawatirkannya)

Ishana : Itu yang paling sulit

(Ishana menjawab, menarik Sadajiwa keluar dari lamunannya)

Ishana : Orang-orang mungkin berpikir itu yang termudah tapi sebenarnya nggak gitu, kan?

(Sadajiwa terdiam dan mengedipkan pikiran yang menghantuinya)

Ishana : Oh,iya. hari udah mulai gelap. Apa kamu mau anterin aku pulang?

(Sadajiwa melihat ke arah arlojinya dan menggelengkan kepalanya, meminta maaf)

Sadajiwa : Aku masih harus kembali ke rumah sakit. Makasih udah nemenin makan malam yang lebih awal ini

Ishana : Sama-sama

(Ishana menyeringai, ia juga bangkit dari ayunannya)

Ishana : Sebenernya, aku pengen ikut kamu ke rumah sakit. Nganterin gitulah...

Sadajiwa : Nggak usah

(Sadajiwa tertawa canggung, teringat tragedi sebelumnya saat Dayana melihat Ishana terakhir kali)

Sadajiwa : Aku udah terlalu banyak ngerepotin kamu. Aku naik bus aja

(Ishana tersenyum dan mencondongkan tubuh ke depan, melakukan sesuatu yang tampaknya menjadi hal yang konstan di antara mereka akhir-akhir ini. Ciuman polos di pipi Sadajiwa)

Ishana : Sampai jumpa lagi, Sada

(Sadajiwa mengangguk, masih sedikit tidak terbiasa dengan kemajuan di dalam persahabatan mereka tapi tetap tersenyum)

Sadajiwa : Sampai jumpa lagi

(Sadajiwa pergi dan keluar dari taman depan, Ishana menatap punggungnya sangat lama)

(Si pirang menggelengkan kepalanya sedikit dan menghela napas, mengumpulkan barang-barangnya ketika sebuah benda di atas ayunan tempat Sadajiwa duduk sebelumnya - menarik perhatiannya)

(Tentu saja teman yang cerobohnya itu entah bagaimana berhasil melupakan teleponnya. Ishana berlari keluar, tetapi Sadajiwa sudah menghilang di kerumunan manusia, tanpa jejak)

(Ishana menghela napas dan mengantongi teleponnya, mencaci dirinya sendiri sebab dia harus mengubah rute malam ini sebelum pulang)

(VO Ishana) Aku nggak punya pilihan, bukan? Aku cuma bantuin sahabat aja. Ini tuh cuma perbuatan baik yang biasa aku lakuin sama orang lain— pastinya...

SCENE 54 INT KAMAR NO 8

Cast. Dayana, Sadajiwa

(Dayana duduk sendirian di dalam kegelapan saat Sadajiwa tiba di kamarnya. Dokter magang itu menjentikkan tombol lampu dan hampir meringis, cahaya menyilaukan yang terpantul di dinding marmer bercat putih itu, terlalu berlebihan untuk matanya)

(Sadajiwa mungkin akan memberikan kritik pada Bu Tita perihal itu, karena ruangannya sangat putih, bukan seperti tempat tinggal yang layak)

(Dayana tersadar dari lamunan panjangnya karena perubahan warna kamar yang tiba-tiba, mengangkat pandangannya lalu menatap nanar ke arah Sadajiwa, seolah-olah dia tak akan menyadari kehadiran Sadajiwa jika bukan karena cahaya yang mengejutkan itu)

Sadajiwa : Hei

(Sadajiwa menyapanya perlahan, merayap ke sampingnya di tempat tidur putih yang kusut itu. Sadajiwa menyelipkan sehelai rambut hitam Dayana di belakang telinganya dan menatap matanya)

Sadajiwa : Kok kamu nggak nyalain lampunya? Di sini gelap gulita

(Dayana melihat ke luar jendela dengan cepat, dan seolah-olah baru saja menyadari bahwa hari telah menjadi gelap, Dayana tergagap)

Dayana : Oh, aku ... aku nggak tahu kalau sekarang udah malam

(Sebuah kerutan kecil muncul di antara alis Sadajiwa, dan dia membelai lembut wajah gadis yang lebih tua dengan ibu jarinya. Dayana terlihat sangat linglung akhir-akhir ini, hampir seperti hidup dalam kenyataan yang berbeda)

(Dayana lupa waktu, kehilangan sosialisasi dan kehilangan kontak dengan segalanya. Itu bukanlah pertanda baik untuk orang seperti Dayana)

Sadajiwa : Kamu ngapain aja seharian?

(Dayana berpaling dari jendela untuk melihat Sadajiwa, tampak sedikit ketakutan karena dia sendiri tak dapat mengingat apa yang telah dilakukannya sepanjang hari)

Dayana : Aku... aku ...

Sadajiwa : Daya...

(Sadajiwa menghembuskan napas perlahan, kekhawatiran di wajahnya berlipat ganda saat ia meletakkan tangannya di atas tangan Dayana yang lebih kecil darinya itu dan menangkupnya dengan erat. Tangan Dayana gemetar, efek samping obat yang menjadi dua kali lipat dosisnya.

Hal itu perlu karena Dayana telah keluar dari dunia nyata. Dan juga Sadajiwa tahu kalau itu sebagian salahnya, karena ia harus pindah ke departemen yang berbeda setelah perdebatan mengejutkan di antara mereka minggu lalu. Tapi hidup, secara harfiah, tak menunggu siapa pun, bahkan mereka berdua)

Sadajiwa : Daya...

(Sadajiwa memanggil lagi, sakit hatinya menguar saat ia meremas tangan mungil Dayana lebih erat sampai mata Dayana yang tak fokus itu berhasil fokus padanya)

Sadajiwa : Kamu denger suara itu lagi?

(Dayana mengangguk, posisinya menyusut)

Dayana : Y-ya...

(Dayana tampak begitu kecil, begitu tersiksa saat ini, Sadajiwa hampir tak bisa melihat gadis yang biasanya bahagia — yang gemar memeluk lengan Sadajiwa berbulan-bulan yang lalu dengan senyum riang dan polos)

(Terkadang Sadajiwa bertanya-tanya apa Bu Tita ada benarnya. Bahwa Sadajiwa seharusnya tak mengacaukan keseimbangan kehidupan damai Dayana dengan menceburkan diri ke dalam hidupnya. Hal-hal kecil itu memengaruhi Dayana dengan cara yang jauh lebih besar)

Sadajiwa : Kamu bisa tidur nggak di malam hari?

(Sadajiwa malah bertanya, menangkal pikiran yang tak diinginkan dan menarik gadis yang lebih tua itu ke dalam pelukan. Berharap memberinya kenyamanan)

(Dayana tenggelam di tubuhnya seperti Sadajiwa adalah lautan, langsung tenggelam dalam kehangatannya)

Dayana : Nggak

(Lirih Dayana, mulut menempel di kerah kemeja Sadajiwa)

Dayana : Kadang mereka ngasih aku beberapa pil tidur. Itu cukup membantu

(Sadajiwa memberikan ciuman panjang di sisi kepalanya dan mendesah)

Sadajiwa : Maaf

(Sadajiwa membungkus Dayana lebih erat, membenamkan wajahnya ke rambut yang akrab dan lembut itu)

Sadajiwa : Aku minta perawat supaya ngizinin aku tidur di sini, tapi mereka bilang aku nggak boleh karena aku nggak ditugasin di sini lagi

(Dayana mundur sedikit, menatap matanya dengan saksama)

Dayana : Nggak usah minta maaf, Sada. Kita berdua tahu kamu nggak bisa tinggal di sini selamanya

(Keheningan menghantui mereka, dan Sadajiwa tahu apa yang ingin dikatakan Dayana bahkan sebelum dia mengatakannya. Sadajiwa terlalu sering mendengarnya belakangan ini)

Dayana : Kamu milik dunia luar, bukan di sini, terjebak dalam kotak putih ini bersamaku...

(Sadajiwa mengerutkan senyumannya, ibu jarinya menelusuri jalur bibir Dayana dengan lembut)

Sadajiwa : Kamu juga termasuk orang di dunia luar seperti mereka semua. Di balik tembok ini, kehidupan dan hal-hal indah sepertimu ada

(Tak ada hal yang menyedihkan saat Sadajiwa masih magang di departemen psikiatri, tapi sekarang dia tinggal di luar dan Dayana masih terjebak di sini, rasanya ... menyesakan)

Dayana : Gimana neurologi?

(Dayana bertanya, dan Sadajiwa bersenandung perlahan saat ibu jarinya terus menelusuri kulit Dayana)

Sadajiwa : Buruk

(Sadajiwa bergumam, berniat untuk mencairkan suasana)

Sadajiwa : Nggak ada cewek cantik yang bermanja ria di lenganku layaknya aku adalah gantungan baju

(Dayana mengeluarkan tawa kecil pertamanya yang sudah lama tak didengar Sadajiwa dan astaga, sekarang Sadajiwa mulai menyadari betapa ia rela melakukan apa saja untuk menjaga gadis ini agar bisa selalu tersenyum)

(Bahkan Sadajiwa benar-benar akan pergi ke bulan dan balik ke bumi walau klise kedengarannya. Bengkak dengan gelombang emosionalnya, Sadajiwa melonjak ke depan, menangkap bibir yang tersenyum itu dengan satu ciuman murni)

(Tangan Dayana bergerak ke belakang lehernya, memeluk Sadajiwa erat saat dokter magang itu menciumnya dengan manis)

Sadajiwa : Astaga, aku kangen banget sama kamu

(Sadajiwa menarik napas, lalu menarik diri sedikit dan melihat ke dalam mata cokelat yang sedang sayu itu)

Sadajiwa : Gimana bisa aku hidup di luar tanpamu selama seminggu ini?

(Bibir Dayana membentuk senyuman samar dan penuh kasih sedangkan ibu jarinya menekan bibir bawah Sadajiwa sebelum ia membungkuk untuk menutupinya lagi dengan bibirnya)

Dayana : Aku juga kangen

(Dayana berkata pelan, lalu memeluknya lagi)

Dayana : Aku terus mikir kalau kamu bakal sibuk di luar sana dan nggak akan begitu mengingatku, jadi ... aku senang pas tahu kalau kamu kangen aku juga

(Dayana merasa Sadajiwa mundur sedikit, jadi Dayana menguncinya erat-erat sebelum pria itu bisa mengatakan apa pun)

Dayana : Aku tahu kamu mau bilang apa. Aku tahu. Cuma... aku masih berusaha supaya nggak terlalu paranoid tentang segala hal. Ini sulit tapi ... aku usaha kok

(Sadajiwa masih menarik diri, membuat Dayana berpikir kalau dia sudah merusak momen mereka untuk kesekian kalinya)

Sadajiwa : Kamu nggak perlu cemas

(Hanya itu yang Sadajiwa katakan, sebelum menekan bibirnya ke dahi Dayana dan mencium kerutan kecilnya)

Sadajiwa : Aku sayang kamu dan cuma kamu. Aku bakal ngomong kalimat menggelikan itu setiap hari kalau itu yang kamu mau. Bahkan kalau aku harus mati dengan perasaan ngeri di tengah jalan karenanya

(Dayana memukul dadanya dengan ringan dan tertawa, suara itu membuat Seadajiwa melayang di suatu tempat di atas kebahagiaan)

Dayana : Aku nggak butuh di omongin itu setiap hari. Mungkin seminggu sekali juga udah cukup sih?

Sadajiwa : Maksudmu setiap jam, dasar kucing yang paranoid

(Dayana mendorongnya dengan lembut, akhirnya suasananya terlihat sedikit lebih hidup daripada sebelumnya. Sadajiwa. Sadajiwa adalah obatnya. Dayana bersyukur memiliki sedikit dari diri Sadajiwa, bahkan hanya untuk sementara waktu)

Dayana : Mungkin kamu mau pulang sekarang dan istirahat buat harimu besok di neurologi

Sadajiwa : Argh!

(Sadajiwa mengerang, menjatuhkan dirinya ke kasur gadis yang lebih tua dan dengan bodohnya menanamkan wajahnya ke bantal putih)

Sadajiwa : Aku mau pura-pura nggak denger. Aku tuli dan nggak bisa denger apa-apa terutama soal neurologi

Dayana : Kamu pasti bisa melewatinya

(Dayana tersenyum, berbaring di sampingnya sembari melihat Sadajiwa dengan penuh kasih sayang disertai bintang di matanya. Sadajiwa menutup matanya tapi tetap saja tersenyum pada gadis yang lebih tua itu)

Sadajiwa : Kasih aku waktu lima belas menit buat tidur di sini. Tempat tidurmu wangi dan kamu bisa menatapku sepuasnya selagi aku tidur. Solusi yang saling menguntungkan?

(Dayana mengetukkan jarinya dengan lembut ke bahu Sadajiwa, tersenyum)

Dayana : Oke

(Dayana menyenandungkan sesuatu untuk Sadajiwa, menepuk pria yang lebih muda itu sampai tidur sambil terus menatapnya seolah Sadajiwa adalah pemandangan terakhir yang bisa dilihatnya di muka bumi)

(Ketika Sadajiwa sudah tertidur,  dia berbisik dengan sangat lembut)

Dayana : Sada?

Sadajiwa : Hm?

Dayana : Makasih, ya, udah nemenin aku, meskipun itu sulit

(Bibir Sadajiwa melengkung jadi senyuman, dan Dayana merangkak naik lalu memberikan ciuman lembut di bibirnya dan Dayana membisikkan selamat malam pada Sadajiwa)

(Dayana menarik selimutnya, menutupi keduanya sambil terus melihat Sadajiwa tidur. Sekitar setengah jam kemudian, pintunya diketuk dan Dayana turun dengan setengah hati, tahu bahwa Bu Ningsih akan mengingatkan mereka kalau waktu kunjungan telah berakhir)

Dayana : Aku tahu waktunya hampir habis

(Dayana berkata perlahan. Upaya Bu Ningsih untuk bicara dihentikan tepat di depan pintunya yang terbuka)

Bu Ningsih : Baguslah

(Kata penjaga gerbang itu, lalu berdehem dengan canggung)

Bu Ningsih : Tapi bukan itu yang mau saya omongin. Ada seseorang di luar yang nungguin dan katanya mau ketemu Sadajiwa. Dia bilang kalau dia itu seorang teman dan ke sini buat ngembaliin sesuatu

(Dayana melirik ke arah Sadajiwa yang tertidur, dan kembali menatap Bu Ningsih dengan bingung)

Dayana : Mungkin lebih baik kalau aku aja yang nerima barangnya?

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar