Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Giyanti
Suka
Favorit
Bagikan
1. ADEGAN 1
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

LOKASI: Ruang Arsip Istana Surakarta

WAKTU: Pagi hari, pertengahan abad ke-18 (1755)

SUARA: Lantunan tembang Jawa terdengar samar dari kejauhan. Burung-burung berkicau.

VISUAL:

Kamera membuka dengan slow pan melewati rak-rak kayu penuh naskah kuno, gulungan daun lontar, dan catatan dalam bahasa Belanda dan Jawa Kawi. Ruangan remang, namun cahaya pagi dari kisi-kisi jendela kayu menebarkan pola sinar yang hangat.

NARATOR (VO - suara Raka dewasa):

"Mereka bilang sejarah ditulis oleh para pemenang. Tapi siapa yang mengalihbahasakan kemenangan itu... kadang lebih berkuasa dari sang penulisnya."

POTONG KE:

Seorang pemuda, RAKA (24), duduk bersila di lantai, dikelilingi tumpukan naskah. Ia mengenakan pakaian sederhana khas abdi dalem muda. Tubuhnya kurus, wajahnya cerdas dan tenang. Tangannya lincah menulis terjemahan naskah berbahasa Belanda ke huruf Jawa Hanacaraka.

CU: Tangan Raka menyalin dengan kuas halus ke kertas daluang.

RAKA (gumam pelan, membaca teks):

"Pasal keempat... pihak kedua menjamin stabilitas di wilayah timur setelah pemisahan..."

Ia berhenti. Alisnya mengerut. Matanya menelusuri baris lain di dokumen Belanda.

RAKA:

"...Pemecahan atau pembagian? Hm... kata 'scheiding' bisa berarti keduanya. Tapi kenapa di sini kata 'verdeling' digunakan di bagian lampiran?"

Ia mengambil dokumen pembanding, membuka halaman lain, membandingkan kata demi kata. Lalu mendesah pelan, tak puas.

SUARA DARI BELAKANG (datar):

"Kau selalu terlalu teliti, Raka."

RAKA terkejut sedikit, lalu menoleh.

Seorang lelaki paruh baya berdiri di ambang pintu: TUMENGGUNG WIRABAKTI. Pakaiannya elegan, wajahnya keras, mata tajam seperti menyimpan ribuan rahasia.

RAKA (menunduk sopan):

"Maaf, Tumenggung... saya hanya ingin memastikan—"

TUMENGGUNG (memotong, melangkah masuk):

"Itu baik. Tapi terkadang, ketepatan berlebihan bisa menjebak niat baik. Ingat, tugasmu bukan mengubah sejarah. Hanya menjembatani bahasa."

Ia mengamati lembaran naskah yang sedang diterjemahkan Raka.

TUMENGGUNG (melanjutkan):

"Kau tahu apa yang sedang kau baca, bukan?"

RAKA (ragu):

"Perjanjian... antara pihak kerajaan dan... Kompeni?"

TUMENGGUNG:

"Lebih dari itu. Sebuah naskah yang akan menentukan arah sejarah Jawa. Besok, kau akan mengantar versi finalnya ke tempat perundingan."

Raka tampak tercengang. Tangannya berhenti menulis.

RAKA:

"Saya...? Tapi... ada penerjemah istana senior—"

TUMENGGUNG (menatap tajam):

"Semua sudah ditentukan. Kau yang terpilih. Bukan hanya karena kemampuanmu. Tapi karena kau tidak punya kepentingan."

RAKA (pelan):

"Saya hanya abdi kecil, Tumenggung."

TUMENGGUNG (senyum tipis):

"Justru itu kelebihanmu."

SUARA: Dentang lonceng kecil dari kejauhan.

TUMENGGUNG:

"Siapkan dirimu. Kau berangkat esok pagi. Sebelum subuh. Dan satu hal lagi..."

Ia mendekat. Suaranya direndahkan.

TUMENGGUNG (berbisik):

"Jangan percaya pada siapa pun di jalanmu. Bahkan yang mengaku berpihak padamu."

Raka menatap Tumenggung bingung, tapi tak berani bertanya lebih lanjut. Tumenggung pergi meninggalkan ruangan.

Raka terdiam lama, lalu menunduk menatap lembaran naskah.

RAKA (gumam):

"Perpecahan... atau penyatuan... hanya dari satu kata."

MUSIK: Tembang Jawa lirih naik volumenya.

CUT TO:

LOKASI: Dapur Istana, Malam Hari

**RAKA duduk bersama NYAI RATNA (50-an), ibu angkatnya. Seorang wanita lembut, mengenakan kebaya pudar. Ia menuangkan wedang jahe ke mangkuk tanah liat. Di belakang mereka, dapur tradisional menyala temaram.

NYAI RATNA:

"Tumenggung sendiri yang menunjukmu? Kau tahu artinya apa itu?"

RAKA:

"Tugas besar, katanya. Tapi aku merasa seperti wayang. Digiring entah ke mana."

NYAI (menatapnya lama, lalu bicara pelan):

"Jangan pernah anggap dirimu kecil, Le. Kau bukan siapa-siapa... tapi juga bukan sembarang siapa."

RAKA (bingung):

"Apa maksud Ibu?"

NYAI (menggeleng):

"Belum saatnya kau tahu. Tapi nanti, di tengah jalanmu, kau akan mengerti. Bila kau ragu pada orang lain... pegang hatimu sendiri."

RAKA:

"Dan kalau hatiku pun ragu?"

NYAI (tersenyum sendu):

"Maka biarkan kebenaran yang memandu tanganmu menulis."

SUNYI. Raka menatap ibunya dalam-dalam. Ia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.

RAKA (pelan):

"Ibu... siapa ayah kandungku?"

NYAI terdiam. Lama.

NYAI:

"Yang pasti bukan orang biasa."

MUSIK naik, sedikit mistis.

CUT TO:

LOKASI: KAMAR RAKA, MALAM HARI

Raka berbaring, tapi tak bisa tidur. Ia membuka kotak kayu kecil dari bawah tempat tidurnya. Isinya: liontin kayu ukiran kuno, usang, tapi terlihat seperti peninggalan bangsawan.

Ia menggenggam liontin itu, menatap ke luar jendela, ke langit malam.

RAKA (gumam):

"Seandainya aku tahu siapa aku sebenarnya..."

FADE OUT.

SUARA NARATOR (VO):

"Kadang, sejarah bukan tentang apa yang terjadi. Tapi siapa yang sempat menulisnya... sebelum semuanya berubah."

[AKHIR ADEGAN 1]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)