Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
LOKASI: Desa Giyanti – Pagi hari setelah pertempuran
WAKTU: Subuh menjelang pagi penuh kabut dan asap
VISUAL:
Kabut tipis menggantung di atas desa. Matahari nyaris tak bisa menembus lapisan awan. Asap sisa kebakaran masih mengepul dari sudut lumbung. Bau hangus dan darah bercampur embun pagi.
NARATOR (VO):
"Pagi itu, Giyanti bukan desa yang sama. Tak seorang pun tertawa, tapi tak satu pun lagi takut."
LOKASI: Lapangan Desa
SRI berjalan perlahan melewati deretan tubuh yang diselimuti kain. Di sisi kanan, para ibu membacakan doa; di kiri, anak-anak menaburkan bunga. Musik gamelan pelan terdengar dari kejauhan—liris dan pilu.
JAGAD duduk di atas tikar, perutnya diperban. Darto mendampingi, tangan kanan dibalut. Leman dibopong di tandu oleh dua pemuda, satu kakinya sudah diamputasi.
RAKA memegang panji Giyanti, kini robek dan berlumur tanah, tapi ia mengibarkannya perlahan. Orang-orang membungkuk dalam diam.
SRI (pelan):
"Bukan karena kita ingin perang, tapi karena kita ingin hidup. Maka yang gugur hari ini, tak mati. Mereka menanam akar bagi nama yang akan hidup lebih lama dari kita."
Visual:
Beberapa prajurit musuh yang tertangkap duduk dalam barisan terpisah, dirantai ringan. Tapi warga desa tak menyiksa mereka—mereka diberi air, roti, dan kain perban.
LOKASI: Balai Pertemuan Giyanti
Ki Patra Dirgantara sedang menulis salinan dokumen penting. Sri duduk di depannya, membaca naskah asli pengangkatan sebagai pemimpin sah Giyanti.
KI PATRA:
"Dengan ini, kau bukan hanya pewaris darah, tapi juga kehendak sejarah. Tapi ingat, Sri… mereka yang menyentuh kekuasaan, tak pernah bisa kembali polos."
SRI (menatapnya):
"Aku tak ingin takhta. Aku hanya ingin Giyanti tak dirampas lagi."
KI PATRA:
"Dan karena itu, kau pantas memilikinya."
LOKASI: Rumah Soma
SOMA, yang selama ini terlihat jenaka dan riang, menangis diam-diam di atas jenazah ibunya yang terkena panah nyasar. Di tangannya, cincin kecil. Ia menyelipkannya ke jari jenazah.
SOMA (berbisik):
"Aku janji, Mak. Aku tak akan lari lagi."
LOKASI: Reruntuhan rumah Jagad
Jagad, masih lemah, berjalan tertatih ke rumahnya yang hangus. Ia berdiri lama di depan abu.
DARTO (mendekat):
"Kita bisa bangun lagi, Jagad."
JAGAD (lirih):
"Yang penting bukan rumahnya… tapi untuk siapa rumah itu dibangun."
Darto menepuk bahunya.
LOKASI: Tepi sungai Giyanti
Para wanita membasuh pakaian berdarah, menyanyikan lagu kuno tentang leluhur dan pohon yang tumbuh dari darah ksatria. Seorang anak kecil bertanya pada ibunya:
ANAK:
"Kenapa Ibu tak menangis?"
IBU:
"Karena menangis tak akan buat Ayahmu kembali. Tapi menjaga Giyanti tetap hidup… itu akan buat pengorbanannya berarti."
Visual:
Seekor burung elang terbang melingkar di atas desa. Kamera mengikuti bayangannya.
CUT TO: Pendopo Keraton YogyakartaLOKASI: Istana – Beberapa hari kemudian
Sultan Mangkubumi menerima laporan tertulis dari seorang prajurit. Ia duduk di kursi batu dengan sorot mata gelap. Di sampingnya, seorang penasihat tua membisikkan sesuatu.
PENASIHAT:
"Wiradipa gagal. Dan Sri… hidup. Bahkan disanjung rakyatnya."
MANGKUBUMI:
"Apakah surat pengangkatannya bocor ke Kompeni?"
PENASIHAT:
"Belum. Tapi jika mereka tahu… mereka bisa mengklaim Giyanti sebagai wilayah netral dan melindunginya dari Keraton."
MANGKUBUMI (mengetuk-ngetukkan jari):
"Lalu kita harus cepat. Kirim utusan. Undang Sri ke sini. Dengan hormat. Tapi siapkan racun di tehnya kalau perlu."
PENASIHAT:
"Kau ingin dia mati diam-diam?"
MANGKUBUMI (dingin):
"Tidak. Aku ingin dia hidup cukup lama untuk bersujud. Lalu mati di bawah kaki kita."
VISUAL:
Seorang utusan berpakaian megah menunggang kuda keluar dari istana, membawa surat undangan dengan cap emas. Kamera mengikuti perjalanannya menuju Giyanti.
NARATOR (VO):
"Saat satu kemenangan dicapai, bayangan kekalahan berikutnya mulai membayangi. Karena dalam sejarah, tak ada kedamaian tanpa harga. Dan tak semua musuh datang dengan pedang."
FADE OUT.
[AKHIR ADEGAN 22]