Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
LOKASI: Ruang Pertemuan Benteng Giyanti
WAKTU: Siang Hari, Beberapa Jam Setelah Tiba
VISUAL:
Interior ruangan berlantai ubin hitam mengkilat. Meja panjang kayu jati dipenuhi dokumen dan lilin. Dinding dihiasi lukisan VOC dan peta Jawa. Di ujung ruangan, tergantung lukisan Sultan Amangkurat lama, tersorot sinar matahari yang masuk lewat jendela tinggi.
SUASANA DIAM.
Para petinggi sudah duduk:
Residen VOC Nicolas Hartingh, wajahnya tenang, tapi matanya tajam seperti musang.Tumenggung Martanegara, wakil dari Pangeran Mangkubumi.Adipati Wiranegara, utusan dari Sunan Pakubuwono III.Di sisi lain meja, Raka duduk sendirian, naskah di sampingnya, dijaga dua prajurit Kompeni.HARTINGH (berdiri):
"Saudara-saudara... hari ini bukan hanya kita menyepakati pembagian tanah, tapi juga mengukuhkan perdamaian. Dan tak ada perdamaian tanpa tinta resmi."
Raka diam. Ia merasakan semua mata tertuju padanya.
HARTINGH (melanjutkan):
"Tuan Raka, sebagai penyalin dan penjaga naskah resmi, kami mohon Anda membacakan pasal-pasal utama di hadapan para saksi."
RAKA menatap naskah di depannya. Ia belum membuka. Tangan kanannya menggenggam kalung manik batu hijau di bawah kerah bajunya. Nafasnya dalam.
RAKA (tenang):
"Saya akan membacakan... tapi izinkan saya bertanya lebih dulu."
HARTINGH:
"Silakan."
RAKA:
"Apakah versi ini telah diverifikasi oleh kedua pihak kerajaan?"
WIRANEGARA (tegas):
"Pihak Sunan sudah menelaahnya bersama Residen."
MARTANEGARA (dingin):
"Kami hanya diberi salinan. Tak semua pasal disertakan."
RAKA (mengangkat alis):
"Itu pelanggaran hukum naskah. Kedua pihak wajib menerima versi utuh."
KEHENINGAN. Hartingh melirik anak buahnya.
HARTINGH:
"Kami mengikuti prosedur keamanan. Beberapa pasal sensitif."
RAKA membuka naskah. Ia mulai membacakan dengan lantang:
“Pasal Pertama: Bahwa kerajaan Mataram akan terbagi dua, dengan garis batas ditentukan oleh pihak penengah…”RAKA berhenti sejenak. Lalu melanjutkan:
“Pasal Keempat: Bahwa pihak barat, dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi, akan mendirikan Kesultanan Yogyakarta…”“Pasal Ketujuh…”RAKA menatap kata-kata itu. Ia ingat peringatan dalam catatan rahasia: "Jangan baca pasal ketujuh keras-keras." Tapi semua menunggu. Ia lanjutkan.
“…dan bahwa demi perdamaian, hak turun-temurun pengangkatan raja akan mendapat persetujuan Dewan Kompeni…”MARTANEGARA (menyeruak):
"Apa?! Itu tidak pernah disetujui Pangeran!"
WIRANEGARA (cepat):
"Pasal itu ada dalam dokumen asli!"
RAKA menatap keduanya. Lalu menoleh ke Hartingh.
RAKA (pelan):
"Saya punya dua versi. Yang resmi... dan satu yang muncul dari sumber lama."
KEHENINGAN MEMBUNUH. Hartingh berdiri perlahan.
HARTINGH:
"Apakah Anda meragukan keabsahan dokumen ini, Tuan Raka?"
RAKA:
"Saya tidak meragukan isinya... saya meragukan siapa yang menulisnya."
MARTANEGARA (marah):
"Pangeran tidak pernah menyerahkan hak atas darahnya kepada Kompeni!"
WIRANEGARA (dingin):
"Kami hanya ingin kedamaian. Apa artinya kedaulatan jika rakyat menderita perang tak usai?"
MARTANEGARA:
"Tapi tak ada damai dalam penyerahan jiwa!"
HARTINGH (menengahi):
"Tuan-tuan, naskah ini bukan tentang jiwa. Ini tentang batas tanah, pajak, dan stabilitas."
RAKA menutup naskah perlahan. Wajahnya gelap. Ia menatap semua pihak.
RAKA:
"Kalau ini diteruskan... maka sejarah akan mencatat bahwa tanah Jawa dibelah bukan oleh perang... tapi oleh pena yang disuapkan tipu daya."
HARTINGH (senyum dingin):
"Dan sejarah... ditulis oleh yang hadir. Dan Anda... sudah menuliskannya, bukan?"
RAKA (diam).
Ia menatap kursi kosong di ujung ruangan. Ia sadar: Sri tidak datang. Orang-orangnya pun tidak hadir.
RAKA (VO):
"Meja ini... terlalu penuh untuk kebenaran. Tapi terlalu kosong untuk keadilan."
POTONG KE:
LOKASI: Lorong Benteng — Setelah RapatRAKA berjalan sendirian, menuruni lorong batu dengan cahaya obor. Ia membawa naskah di pelukannya. Wajahnya penuh dilema. Di ujung lorong, Sri menunggu, berdiri seperti bayangan.
SRI:
"Kau membacanya?"
RAKA:
"Aku membacakan apa yang mereka inginkan. Tapi semua mendengarnya… dan tahu ada yang tak beres."
SRI:
"Tapi siapa yang akan peduli saat tinta mengering dan upeti mengalir?"
RAKA:
"Setidaknya... akan ada yang menuliskan ulang semuanya."
SRI (pelan):
"Lalu kau bersedia menjadi pengkhianat dua kerajaan hanya demi menulis ulang sejarah?"
RAKA:
"Aku tidak menulis ulang. Aku sedang menulis ulang diriku."
Mereka saling pandang.
SRI:
"Besok pagi, naskah akan ditandatangani. Setelah itu, tak ada yang bisa diubah."
RAKA:
"Lalu malam ini... satu-satunya waktu untuk membalik semuanya."
SRI (mengangguk perlahan):
"Di bawah benteng ini, ada lorong lama. Tempat dulu para pendeta menyembunyikan surat sumpah sebelum keraton pertama dibangun."
RAKA:
"Tunjukkan padaku. Kita akan menulis sejarah... yang tak bisa mereka bakar."
FADE OUT.
RAKA (VO):
"Sejarah tak pernah sepenuhnya disetujui. Ia hanya diam... sampai seseorang membangunkannya."
[AKHIR ADEGAN 5]