Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Giyanti
Suka
Favorit
Bagikan
19. ADEGAN 19
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

LOKASI: Desa Giyanti – Sore hingga malam

WAKTU: Sehari sebelum serangan yang direncanakan Tumenggung Wiradipa

VISUAL:

Langit mendung menaungi desa Giyanti. Matahari terbenam seperti bola api merah darah yang perlahan tenggelam ke balik bukit. Angin bertiup pelan, membawa bau tanah basah dan kabut ancaman.

LOKASI: Lapangan Tengah Giyanti

SRI berdiri di atas panggung kecil. Di hadapannya: petani, ibu-ibu, pemuda, prajurit bayangan, dan anak-anak yang menggenggam tangan orang tua mereka erat-erat.

SRI (suara tegas, tapi lirih):

"Waktu kita tidak banyak. Malam ini, kita tidak tidur seperti biasa. Kita tidak berharap hari esok datang seperti pagi-pagi biasa. Kita menunggu, karena malam ini kita akan dijemput sejarah."

KERUMUNAN diam, menatap Sri seolah menyerap kekuatan darinya.

SRI (lanjut):

"Mereka akan datang. Bukan untuk berdamai. Tapi untuk menghapus kita dari peta Jawa. Tapi kita bukan tinta yang bisa dihapus. Kita adalah goresan batu yang tidak bisa ditiadakan."

RAKA naik ke panggung, mendampingi Sri. Tubuhnya sudah pulih sebagian, kini bersenjata tombak. Ia menunjuk ke langit.

RAKA:

"Langit tahu kita tidak mulai ini. Tapi kita akan mengakhirinya. Dengan terhormat. Dengan nyala api yang tak bisa mereka padamkan."

GEMA SORAK kecil terdengar. Perlahan, semangat bangkit. Anak-anak dipandu ke tempat aman oleh ibu-ibu. Para lelaki mulai membagi anak panah, memoles keris, dan mengikat bendera kecil merah-putih di lengan.

CUT TO:

LOKASI: Pondok Pandai Besi

JAGAD bekerja membantu menempa ujung tombak. Peluh bercucuran di wajahnya. Di belakang, Darto membantu mengikat bendera kecil ke senjata.

JAGAD (diam sejenak, lalu berkata lirih):

"Kita seperti memoles batu nisan kita sendiri."

DARTO (menatapnya):

"Atau kita sedang menulis nama kita di halaman pertama sejarah baru."

Jagad berhenti. Tatapannya berubah. Ia mengangguk pelan.

CUT TO:

LOKASI: Rumah Sri – Malam tiba

Sri duduk sendiri di depan meja kayu. Ia membuka gulungan surat tua: surat dari ayahnya dulu, berisi nasihat tentang makna tanah dan darah. Ia mengusapnya perlahan.

RADEN SURYA masuk pelan, membawa secangkir wedang.

RADEN SURYA:

"Semua sudah siap. Jalan rahasia telah disiapkan untuk warga sipil. Sisanya tinggal kita tunggu malam turun penuh."

SRI (menatap kosong):

"Jika aku gugur… tolong jaga desa ini. Jangan biarkan Giyanti hanya jadi nama di kepala orang tua."

RADEN SURYA:

"Kalau kau gugur, maka aku gugur lebih dulu."

Sri tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya sejak perundingan gagal, matanya menunjukkan rasa takut. Tapi juga keyakinan.

SRI (pelan):

"Kita semua sudah memilih. Tak ada lagi jalan mundur."

CUT TO:

LOKASI: Hutan di Perbatasan Giyanti – Tengah Malam

Pasukan keraton dan Kompeni sudah mulai bergerak. Senyap. Puluhan prajurit bersenjata laras panjang dan tombak. Di depan mereka, Tumenggung Wiradipa memimpin, wajah tertutup selendang hitam.

WIRADIPA (kepada letnannya):

"Begitu desa padam lampunya, itu tanda mereka tidur. Tiga penjuru. Bakar lumbung, habisi penjaga balai, dan rebut sumur utama."

LETNAN:

"Dan Sri?"

WIRADIPA:

"Jangan bunuh. Tangkap hidup-hidup. Kepala rakyat mudah tumbuh lagi. Tapi Ratu mereka adalah akar."

CUT TO:

LOKASI: Balai Pertemuan Giyanti – Tengah Malam

Sri dan Raka duduk di tengah ruangan. Lima penjaga bersenjata mengelilingi mereka. Peta desa terbentang di meja. Tiga jalur serangan ditandai merah.

RAKA (menghela napas):

"Kalau semuanya salah... kalau mereka datang lebih kuat dari yang kita kira... apa kita tetap lawan?"

SRI (menatapnya penuh):

"Jika mereka datang untuk mengambil Giyanti... maka mereka harus mengambilnya dari tangan kita. Tidak dari punggung kita yang membelakangi."

VISUAL:

Dari kejauhan, lampu-lampu mulai padam satu per satu. Tapi itu bukan karena rakyat tidur—melainkan sinyal: mereka sudah siap di tempat masing-masing.

TITIK-TITIK OBOR PADAM.

GAMELAN DIHENTIKAN.

SUARA ALAM MENJADI SATU-SATUNYA IRAMA.

NARATOR (VO):

"Malam Giyanti tidak gelap karena matahari pergi. Ia gelap karena harapan sedang mengencangkan tali busurnya. Sunyi adalah peluru paling tajam."

FADE OUT.

[AKHIR ADEGAN 19]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)