Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
LOKASI: Lorong Bawah Tanah Benteng Giyanti
WAKTU: Tengah Malam
VISUAL:
Langit malam di atas Giyanti pekat, nyaris tanpa bulan. Di balik dinding barat benteng, tersembunyi pintu besi tua yang nyaris terlupakan. Sri membuka kuncinya dengan kunci tembaga berkarat. Raka berdiri di belakangnya, menggenggam lentera kecil.
SFX:
Bunyi decit logam tua saat pintu terbuka. Hawa lembab menyergap wajah mereka. Bau tanah, jamur, dan naskah tua menyelimuti udara.
SRI (berbisik):
"Lorong ini hanya diketahui oleh para penyalin zaman Amangkurat I. Tak ada catatan resmi tentangnya. Bahkan Hartingh tak tahu."
RAKA (menunduk pelan):
"Sempurna untuk menyimpan kebenaran… atau menyembunyikan kebohongan."
MEREKA MELANGKAH MASUK.
Lorong selebar satu meter, dindingnya batu cadas. Cahaya lentera menari-nari, membentuk bayangan seolah ada sosok lain mengikuti mereka.
RAKA (VO):
"Kegelapan tak selalu tentang tidak melihat. Kadang justru di sana, kau mulai melihat terlalu banyak."
SRI menunjuk ke arah ukiran dinding. Ada simbol matahari yang dipanah, serta lambang keraton lama: bintang segi delapan.
SRI:
"Tempat ini dibangun sebagai tempat sumpah—bukan diplomasi. Di sinilah dulu perjanjian pertama antara para pangeran dan rakyat dibuat… sebelum VOC datang."
RAKA:
"Sumpah tak tertulis?"
SRI:
"Tertulis. Tapi tidak dalam aksara Latin. Disembunyikan dalam simbol dan bayangan. Itu sebabnya aku membawamu ke sini."
**Mereka sampai di ruang batu kecil. Di tengah ruangan ada meja batu persegi. Di atasnya, kotak kayu jati tertutup debu. Sri membukanya pelan-pelan.
DALAM KOTAK:
Naskah kuno bertuliskan aksara Jawa Kuno dan huruf Arab Pegon. Di sampingnya, pecahan cermin kecil dan manik batu serupa milik Raka.
RAKA (kaget):
"Ini… dari keluarga ibuku. Manik ini hanya dimiliki oleh keturunan Ratu Mas Rara…"
SRI:
"Dan dia adalah satu-satunya permaisuri yang menolak VOC dari awal. Naskah ini adalah warisan jalur perempuan: naskah kebenaran."
RAKA menyentuh naskah itu perlahan.
RAKA:
"Kalau isi naskah ini bertentangan dengan yang akan ditandatangani besok… maka apa yang kita hadapi bukan hanya perpecahan kerajaan. Tapi… pengkhianatan silsilah."
SRI (pelan):
"Lebih buruk. Ini berarti takdir Jawa telah disusun oleh tangan asing, dengan darah saudara sebagai tintanya."
RAKA mulai membaca isinya.
"Bahwa tanah Mataram hanya boleh dibagi oleh garis darah, dan tak satu pun kekuatan luar boleh menetapkan batas selain yang diwariskan oleh langit dan bumi." "Bahwa setiap penandatanganan naskah tanpa sumpah leluhur, batal menurut hukum tanah."RAKA (tegang):
"Ini berarti Perjanjian Giyanti… tidak sah menurut hukum asli kerajaan."
SRI:
"Tapi siapa yang akan percaya pada naskah usang dan bahasa tua?"
RAKA menatap cermin kecil di dalam kotak. Ia mengangkatnya—bayangan wajahnya terbelah dua oleh retakan.
RAKA (VO):
"Mungkin memang aku terbelah. Antara penyalin dan penghianat. Antara pewaris dan pelayan. Tapi malam ini… aku harus memilih sisi."
SRI (mendesak):
"Kalau kau menyalin naskah ini, dan kita tunjukkan besok sebelum tanda tangan… mungkin kita bisa menghentikannya."
RAKA (tenang):
"Tidak. Jika kita menghadapinya di meja mereka, kita akan dibungkam bahkan sebelum bicara."
SRI:
"Lalu?"
RAKA menatap api lentera.
RAKA:
"Kita buat dua versi. Satu untuk mereka… satu untuk rakyat. Yang pertama akan mereka tandatangani. Yang kedua… akan disebar diam-diam ke seluruh desa, pesan-pesan terselubung dalam tembang dan lontar."
SRI menatapnya tak percaya.
SRI:
"Kau ingin melawan dengan bayangan?"
RAKA:
"Aku ingin menulis kebenaran yang tidak bisa mereka hapus. Bila sejarah tidak bisa ditulis hari ini… biarlah ia dibisikkan pelan-pelan, malam ke malam."
FADE OUT SEBENTAR:
RAKA (VO):
"Setiap tinta yang tertoreh di kertas kerajaan… akan bersaing dengan bait-bait yang beredar dalam tembang rakyat. Dan suatu hari, anak cucu akan bertanya… siapa yang benar-benar menulis sejarah."
POTONG KE:
LOKASI: Ruang Penyalinan Sementara – Benteng Giyanti – SubuhRaka duduk sendiri di depan meja. Cahaya lilin menyala. Di depannya dua naskah: satu yang disetujui VOC, satu lagi yang baru ia salin dari naskah asli bawah tanah.
Raka menyalin dengan tenang, huruf demi huruf. Ia menyesuaikan gaya tulisan agar mirip, tapi menandai tiap naskah rahasia dengan simbol kecil: titik matahari di sudut bawah kanan, tak terlihat kecuali oleh mata terlatih.
SRI (datang pelan):
"Kau yakin mereka takkan tahu?"
RAKA:
"Yang akan menandatangani tak membaca. Mereka hanya mencari tanda tangan, bukan isi."
SRI (duduk di seberangnya):
"Lalu kita tunggu apa?"
RAKA:
"Kita tunggu pagi. Dan lihat siapa yang pertama menandatangani naskah yang tak akan bertahan seratus tahun… karena ada yang lebih kuat: cerita yang bertahan seribu tahun."
FADE OUT PELAN.
NARATOR (VO):
"Kadang yang menulis sejarah bukan pena… tapi niat di balik tangan yang memegangnya."
[AKHIR ADEGAN 6]