Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
LOKASI: Pendopo Agung Keraton Yogyakarta — Siang hari
WAKTU: Hari berikutnya, saat upacara pengukuhan Sri Dewi Arya sebagai penguasa Giyanti yang sah.
VISUAL:
Pendopo penuh sesak oleh para pejabat, prajurit, dan tamu kerajaan dari seluruh penjuru. Bendera kerajaan berkibar megah, aroma dupa menyelimuti udara. Alunan gamelan mengiringi suasana resmi, namun penuh ketegangan.
SRI, RAKA, dan SOMA berdiri di tengah pendopo, mengenakan pakaian adat lengkap dengan keris terhunus di pinggang. Mereka menatap ke depan, wajah tegang namun penuh tekad.
SULTAN HAMENGKUBUWANA I duduk di singgasana, mengenakan mahkota emas bertatah permata. Di sampingnya, KI SETRA dan beberapa penasihat kerajaan.
SULTAN (dengan suara lantang):
"Hari ini, kita menyaksikan babak baru dalam sejarah Mataram. Sri Dewi Arya akan mengikrarkan sumpah setia kepada tahta yang abadi. Dengan ini, Giyanti akan menjadi bagian dari satu kerajaan, satu darah, satu kekuatan."
VISUAL:
Para pejabat kerajaan mengangguk, beberapa tersenyum penuh arti. RAKA dan SOMA saling bertukar pandang, sementara Sri menghela napas dalam.
SRI (melangkah maju, suara tenang namun penuh wibawa):
"Aku, Sri Dewi Arya, berjanji akan memimpin rakyat Giyanti dengan adil dan setia kepada tahta Sultan Hamengkubuwana I."
SULTAN (tersenyum puas):
"Lafalkan sumpah ini dengan penuh kesungguhan, di hadapan para leluhur dan rakyatmu."
SRI mengangkat tangan kanan, dan mulai mengucapkan sumpah. Namun saat tiba di kalimat akhir, tiba-tiba ia berhenti dan menatap lurus ke arah Sultan.
SRI (dengan suara lebih keras dan penuh makna):
"Namun, aku berjanji juga akan menjaga kemerdekaan dan kehormatan Giyanti, sebagai warisan leluhur kami. Aku tidak akan membiarkan tahta manapun merampas hak rakyatku."
SUNYI. Semua terkejut. Beberapa pejabat kerajaan saling berpandangan dengan cemas. Sultan mengerutkan dahi.
SULTAN (berdiri perlahan, suara dingin):
"Itu bukan sumpah setia, itu pembangkangan."
SRI (dengan tegas):
"Ini adalah sumpah kepada rakyatku, dan kepada sejarah kami. Jika tahta tak mampu menerima itu, maka aku berdiri di sini bukan sebagai boneka, tapi sebagai pemimpin sejati."
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah pintu pendopo. PASUKAN KERATON memasuki ruangan dengan senjata terhunus. Semua orang menegang.
KI SETRA (tersenyum dingin):
"Sumpah ini memang tak sesuai harapan, Sri Dewi Arya. Namun keputusan Sultan adalah mutlak."
RAKA dan SOMA mengayunkan keris mereka, bersiap menghadapi serangan.
SRI (mengangkat tangan, mencoba menenangkan):
"Tenang, jangan buat kerusuhan di sini. Aku memilih jalan damai, tapi bukan jalan takut."
SULTAN (menatap tajam):
"Kau punya satu kesempatan terakhir. Tanda tangani sumpah yang sebenarnya, dan Giyanti akan berkuasa di bawah tahta. Tolak, dan kau akan dianggap musuh kerajaan."
SRI (dengan suara tegas):
"Aku memilih damai, tapi bukan penyerahan."
RAKA dan SOMA siap membela Sri dengan nyawa.
VISUAL:
Kamera bergerak cepat memperlihatkan ketegangan memuncak di antara dua pihak: pasukan kerajaan dan pengawal Sri.**
Tiba-tiba, suara gong besar menggelegar.
Seorang pelayan datang membawa pesan rahasia dari luar. Pesan itu diserahkan kepada Sri.
SRI membuka gulungan kertas, membacanya dengan cepat. Wajahnya berubah serius.
SRI:
"Pesan dari Giyanti: rakyat bersiap. Kompeni dan pasukan Keraton akan disambut dengan perlawanan di mana pun."
SULTAN terkejut, menatap Sri dengan marah.
SULTAN:
"Kau telah mengkhianati tahta."
SRI:
"Aku hanya setia pada rakyatku."
VISUAL:
Adegan berakhir dengan pandangan tajam antara Sri dan Sultan, diiringi gemuruh gamelan yang berubah menjadi irama perang.
NARATOR (VO):
"Ketika sumpah menjadi pedang bermata dua, hanya keberanian yang dapat menentukan siapa yang bertahan di atas medan sejarah."
FADE OUT.
[AKHIR ADEGAN 25]