Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
LOKASI: Perkampungan Lereng Gunung Menoreh
WAKTU: Malam Hari, Hari Kedua Perjalanan
VISUAL:
Langit malam digantung bintang-bintang pucat. Rombongan Raka baru saja tiba di sebuah perkampungan terpencil, terselip di antara pepohonan pinus dan ladang tembakau. Rumah-rumah panggung dari bambu berdiri sederhana. Beberapa penduduk keluar mengintip dengan waswas.
RAKA (VO):
"Tempat ini tak pernah kutahu dari peta. Tapi setiap langkah terasa seperti potongan masa lalu yang ingin muncul kembali."
POTONG KE:
LOKASI: Balai Kayu PerkampunganRAKA duduk sendirian di sudut balai. Di meja depannya, naskah terbungkus kain merah masih utuh, belum tersentuh sejak sore. Angin malam membuat lentera bergoyang. Bayangan bergerak di dinding, menciptakan ilusi seolah sosok-sosok sedang mengintainya.
PRAJURIT (off-screen):
"Tuan Raka, makanan malam sudah disiapkan."
RAKA:
"Terima kasih. Biar nanti saja."
PRAJURIT mengangguk dan meninggalkan tempat. Raka menatap naskah lama. Tiba-tiba terdengar suara nyanyian lembut dari luar. Tembang Jawa klasik, dinyanyikan oleh suara perempuan.
RAKA berjalan keluar, mengikuti suara itu.
POTONG KE:
LOKASI: Mata Air di Tepi PerkampunganSeorang gadis duduk di atas batu besar, memetik rebab kecil sambil menyanyikan tembang. Wajahnya teduh, rambut panjangnya dibiarkan terurai. Gaunnya dari lurik tua, tapi bersih dan rapi. Di belakangnya, air mengalir jernih dan memantulkan cahaya bulan.
RAKA (menatap, terkesima):
"Tembang itu... tembang sunyi dari Babad Mataram."
GADIS (tanpa menoleh):
"Kau tahu artinya?"
RAKA (mendekat pelan):
"Bukan hanya tahu. Aku pernah menyalinnya dari lontar yang sudah hampir rusak."
GADIS (menoleh, tersenyum tipis):
"Maka kau bukan orang biasa."
RAKA:
"Aku lebih sering merasa sebaliknya."
Mereka saling pandang. Gadis itu menyimpan rebabnya.
RAKA (pelan):
"Siapa namamu?"
GADIS:
"Orang sini memanggilku SRI. Tapi aku bukan milik tempat ini."
RAKA:
"Seperti tembangmu tadi... terdengar berasal dari tempat yang tak semua orang bisa mengerti."
SRI (menatap tajam):
"Begitu juga naskah yang kau bawa."
RAKA kaget.
RAKA:
"Kau tahu... tentang naskah itu?"
SRI:
"Ada yang ingin menulis ulang masa depan. Tapi tak semua penulis ingin dibaca. Dan tak semua pembaca bisa dipercaya."
RAKA (pelan):
"Kau dari pihak mana?"
SRI tak menjawab. Ia menatap air.
SRI:
"Bila besok kau melewati tikungan berbatu sebelum masuk Giyanti... berhenti di sana. Akan ada orang menunggumu."
RAKA:
"Siapa?"
SRI (pelan):
"Orang yang tahu siapa dirimu sesungguhnya."
SRI bangkit, lalu berjalan masuk ke balik pepohonan tanpa berkata lagi. Raka tak mengejarnya. Hanya berdiri membeku.
RAKA (VO):
"Aku datang membawa tulisan. Tapi setiap orang yang kutemui... seolah sedang membacaku."
POTONG KE:
LOKASI: Perkemahan Prajurit — Tengah MalamRaka kembali ke perkemahan. Beberapa prajurit sudah tidur, sebagian berjaga. Ia masuk ke dalam tendanya. Namun ia merasa ada yang aneh. Seolah sesuatu telah berubah.
Ia membuka tempat penyimpanan naskah. Masih ada. Tapi ada bekas tangan yang meninggalkan debu di permukaan kotaknya.
RAKA (gumam):
"Seseorang sudah menyentuh ini."
Ia mengeluarkan naskah, membuka sedikit. Tidak rusak. Tapi ada lembar kecil yang terlipat di dalam, seolah diselipkan diam-diam.
RAKA membuka lipatan itu. Tulisan tangan halus berbunyi:
“Jangan baca pasal ketujuh keras-keras. Tidak semua kalimat ditulis oleh mereka yang kau percaya.”RAKA menggigit bibir. Ia duduk, menatap api lentera. Perlahan membuka pasal ketujuh. Ia membaca dalam hati:
“Bahwa dalam semangat perdamaian, setiap pewaris dinasti Mataram akan tunduk pada pembagian kekuasaan yang disahkan oleh Dewan Kompeni...”RAKA (gumam):
"Dewan Kompeni...? Seharusnya hanya Residen..."
Ia mengeluarkan versi salinannya. Teksnya berbeda. Dalam terjemahan yang ia kerjakan, tidak ada “Dewan Kompeni”, hanya “Residen VOC”.
RAKA:
"Ada dua versi... tapi yang asli belum tentu yang resmi."
SUARA DI LUAR TENDA:
Suara ranting patah. Langkah kaki mengendap. Raka langsung menutup kembali naskah dan menyimpannya. Ia berdiri pelan, mengintip ke luar tenda.
RAKA melihat bayangan seseorang berpakaian hitam, berdiri di antara pepohonan.
Orang itu melihat ke arahnya, lalu melarikan diri.
RAKA mengejar.
POTONG KE:
LOKASI: Hutan di Pinggir PerkampunganRaka berlari di antara pepohonan, menerobos semak. Nafasnya memburu. Cahaya bulan membentuk pola aneh di tanah. Ia berhenti. Sekelilingnya sunyi.
TIBA-TIBA, dari balik pohon, seseorang menodongkan keris ke leher Raka.
Sosok itu memakai topeng kain, suaranya berat.
PRIA BERTOPENG:
"Kau tak tahu apa yang kau bawa. Kembalilah, sebelum semua darah tertumpah karena tanganmu."
RAKA (tegang):
"Aku hanya pembawa naskah."
PRIA BERTOPENG:
"Naskah itu akan memecah tanah leluhur. Memisahkan darah dari darah. Dan kau... alatnya."
RAKA:
"Kalau kau tahu isinya, kenapa tidak menghentikan perundingannya?"
PRIA BERTOPENG:
"Karena satu-satunya cara menghentikan sejarah... adalah dengan menghapus penulisnya."
Ia mengangkat keris, siap menebas.
TIBA-TIBA, SESEORANG MELEMPAR BATU KE ARAHNYA.
Sri muncul dari balik semak.
PRIA BERTOPENG lari ke dalam hutan.
RAKA (teriak):
"Kenapa kau menolongku?"
SRI (nafas memburu):
"Karena bila kau mati sekarang, takkan ada yang tahu siapa sebenarnya yang ingin Jawa terbelah."
FADE OUT.
RAKA (VO):
"Mereka datang dari bayang. Tapi di antara cahaya dan gelap... justru aku yang paling kabur."
[AKHIR ADEGAN 3]