Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Giyanti
Suka
Favorit
Bagikan
2. ADEGAN 2
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

LOKASI: Pendopo Dalam Istana Surakarta

WAKTU: Dini hari, menjelang keberangkatan

VISUAL:

Kabut tipis menggantung di halaman istana. Cahaya obor bergetar di antara tiang-tiang kayu jati. Angin pagi menyentuh daun-daun kamboja yang berguguran pelan di lantai batu. Sepi, nyaris tanpa suara, kecuali langkah kaki yang pelan dan teratur.

SUARA DERAP PELAN.

Empat prajurit berjalan mengapit seorang pemuda: RAKA. Ia mengenakan pakaian perjalanan berlapis kain batik halus, rambut disanggul rapi, dan di pinggang tergantung keris kecil — bukan untuk bertarung, tapi simbol kehormatan.

NARATOR (VO - suara Raka dewasa):

"Mereka tak membunyikan gong, tak mengirim pengawal berbendera. Karena yang paling penting dalam sejarah... selalu berjalan dalam senyap."

Raka melangkah melewati halaman dalam. Ia tampak lebih tenang dari kemarin, tapi sorot matanya penuh waspada.

POTONG KE:

LOKASI: Pendopo Dalam — Ruang Semi Tertutup

TUMENGGUNG WIRABAKTI sudah menunggu. Ia berdiri sendirian, tak mengenakan pakaian kebesaran, hanya jubah gelap dan ikat kepala sederhana. Di tangannya tergenggam gulungan naskah terbungkus kain merah tua.

TUMENGGUNG (datar):

"Tepat waktu. Bagus."

RAKA (menunduk hormat):

"Saya siap menerima amanat, Tumenggung."

Tumenggung melangkah perlahan ke arah Raka. Ia menyerahkan naskah itu dengan kedua tangan. Raka menerimanya seperti menerima pusaka.

TUMENGGUNG:

"Ini draf asli. Kau akan serahkan kepada utusan Kompeni di Giyanti. Kau juga akan membacakan terjemahannya pada hari perundingan."

RAKA:

"Apakah saya boleh membaca naskah ini sepanjang perjalanan?"

TUMENGGUNG:

"Boleh. Tapi hanya kau yang boleh melihat isinya. Bila ada yang mencoba memaksa, kau tahu apa yang harus dilakukan."

RAKA (tegang):

"Hancurkan?"

TUMENGGUNG (angguk pelan):

"Lebih baik naskah ini hilang daripada jatuh ke tangan yang salah."

RAKA mengangguk, memeluk naskah di dadanya.

TUMENGGUNG (mendekat, berbisik):

"Kau pikir tugasmu hanya menerjemahkan. Tapi ketahuilah... setiap kata yang kau pilih akan menjadi batu fondasi sejarah. Maka pilihlah dengan hati-hati."

RAKA (pelan):

"Apakah saya... bebas memilih kata sendiri?"

TUMENGGUNG menatapnya dalam-dalam. Sebentar. Lalu ia memalingkan wajah.

TUMENGGUNG:

"Tidak sepenuhnya. Tapi terkadang, ketika kau berada di antara dua lidah... kau harus tahu kapan harus berbohong demi kebenaran."

SUARA: Derap kaki pelan di kejauhan.

Seorang perwira istana masuk: SENOPATI MAHESA, komandan pengawalan. Usianya 30-an, tampak tangguh dan dingin.

SENOPATI MAHESA:

"Pengawalan telah siap. Tujuh prajurit, dua penerjemah tambahan, dan seorang abdi makanan. Jarak ke Giyanti sekitar tiga hari perjalanan."

TUMENGGUNG:

"Bagus. Jaga Raka seperti kau menjaga lambang kerajaan."

MAHESA (mengangguk):

"Demi nyawa, Tumenggung."

TUMENGGUNG:

"Bukan hanya nyawa. Demi masa depan Jawa."

Raka melirik Senopati Mahesa. Tatapan pria itu dingin dan tajam. Seolah mengukur Raka dari ujung kepala sampai ujung kaki.

POTONG KE:

LOKASI: Gerbang Timur Istana Surakarta

Fajar mulai muncul di balik puncak Merapi. Langit berubah oranye kebiruan. Di bawah gerbang raksasa berukir naga dan awan, sekelompok kecil penunggang kuda bersiap.

Raka naik ke atas kuda cokelat muda. Naskah tersimpan di dalam kotak kayu kecil yang diikat ke punggung kudanya.

NYAI RATNA muncul diam-diam dari bayang-bayang. Ia memanggil Raka pelan.

NYAI RATNA (cepat, lirih):

"Le... ini untukmu."

Ia menyelipkan kain tenun kecil ke tangan Raka. Di dalamnya terbungkus manik-manik kecil dari batu hijau. Raka menatapnya bingung.

RAKA:

"Apa ini?"

NYAI:

"Lambang garis keturunan... dari mereka yang tak pernah boleh disebut. Bila kau bertemu seseorang yang menyebut 'Sumur Watu', tunjukkan ini."

RAKA:

"Siapa 'mereka' itu?"

NYAI:

"Nanti kau akan tahu. Tapi hati-hati. Sebagian ingin kau hidup. Sebagian ingin kau hilang."

Senopati Mahesa berseru dari kejauhan:

"Berangkat sekarang!"

Raka mengangguk pelan. Ia menyelipkan manik-manik ke dalam ikat pinggangnya. Menatap wajah ibunya sekali lagi.

RAKA:

"Saya akan kembali."

NYAI (pelan, mata berkaca):

"Tidak semua perjalanan berujung pulang, Le."

POTONG KE:

LOKASI: Jalanan Pegunungan — Siang Hari

Kamera menyorot dari udara: rombongan kecil berkuda menapaki jalur sempit di lereng gunung, melewati jurang dan hutan.

RAKA (VO):

"Tiga hari perjalanan, katanya. Tapi aku tak tahu bahwa waktu bisa terasa selamanya... ketika kau tak yakin apa yang kau bawa akan menyelamatkan atau menghancurkan duniamu."

POTONG KE:

LOKASI: Perhentian Hutan — Sore Hari

Rombongan berhenti di tepi sungai kecil. Para prajurit istirahat, memasak nasi dan menyalakan api. Raka duduk agak terpisah, membaca isi naskah dengan penuh perhatian.

RAKA (membaca pelan):

"Pasal akhir... kedua pihak sepakat bahwa wilayah Kesultanan Yogyakarta diakui sebagai entitas terpisah dan tidak di bawah pengaruh Surakarta..."

Ia berhenti. Menatap kalimat itu lama.

RAKA (gumam):

"Kalimat ini... memecah bukan hanya tanah, tapi darah."

Tiba-tiba, bayangan seseorang berdiri di belakangnya.

RAKA menoleh cepat. Seorang pria asing berpakaian seperti abdi dalem berdiri. Matanya tajam.

PRIA ASING (berbisik):

"Yang kau bawa... bukan naskah, tapi kutukan."

RAKA (tegang):

"Siapa kau?"

PRIA ASING:

"Seseorang yang ingin memastikan kau membaca kalimat yang benar."

RAKA berdiri, tapi saat ia memanggil Mahesa, pria itu sudah menghilang ke dalam hutan.

SUARA: Angin menggerakkan ranting-ranting. Hutan mulai terasa asing.

FADE OUT.

NARATOR (VO):

"Ada peristiwa yang ditulis dengan tinta. Ada pula yang hanya bisa dituliskan oleh ketakutan dalam dada."

[AKHIR ADEGAN 2]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)