Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
LOKASI: Balai Pertemuan Giyanti – Pagi hari, dua hari setelah pertempuran
WAKTU: Fajar hangat, namun hati-hati
VISUAL:
Burung-burung gereja mulai kembali bersarang di atap-atap rumah yang terbakar. Suara ketukan kayu terdengar—tukang-tukang dan warga membangun ulang rumah, lumbung, dan pagar desa. Giyanti perlahan bangkit.
LOKASI: Pelataran Balai DesaSRI berdiri menghadap meja panjang, memeriksa daftar kerugian dan kebutuhan logistik. DI belakangnya, Ki Patra, Raka, dan Darto mendampingi. Soma menyampaikan laporan dari warga.
SOMA (membaca papan tulis bambu):
"Tiga puluh rumah terbakar, dua lumbung musnah. Enam orang tewas, delapan luka berat, dua puluh dua luka ringan. Stok padi tersisa untuk dua pekan. Tapi semangat… cukup untuk seabad."
SRI (tersenyum tipis):
"Baik. Kita bagi warga jadi tiga kelompok: pembangunan, kesehatan, dan pertanian. Tidak ada yang diam hari ini."
RAKA (menyela):
"Kita juga butuh pelatihan. Kalau mereka datang lagi..."
SRI:
"Mereka tidak akan datang dalam bentuk yang sama."
Visual:
Terdengar suara derap kuda mendekat dari utara. Pasukan Giyanti segera bersiaga. Raka dan Darto memegang tombak. Ki Patra berdiri tegak.
SOMA (berteriak dari menara bambu):
"Penunggang tunggal! Membawa panji Keraton!"
Semua menegang. Sri melangkah ke depan, memandang lurus saat penunggang itu turun dari kudanya. Seorang pria tinggi berjubah ungu, mengenakan surban emas. Di tangannya, gulungan surat bersegel merah.
UTUSAN (membungkuk):
"Sri Dewi Arya… atas nama Sultan Hamengkubuwana I, paduka Yogyakarta, kami mengundangmu untuk datang ke Keraton. Untuk penghormatan… dan penetapan resmi."
SOMA (membisik ke Jagad):
"Kalau cuma penghormatan, kenapa wajahnya seperti kuburan?"
SRI (menatap utusan):
"Undangan ini… hadiah atau jebakan?"
UTUSAN (datar):
"Keraton hanya menawarkan kehormatan. Dan mengharap kerendahan hati dari rakyatnya."
RAKA (keras):
"Kau tak perlu mengajar kami soal rendah hati kalau kalian mengirim pasukan untuk membakar sawah!"
KI PATRA:
"Sri… kita harus bahas ini. Secara tertutup."
SRI mengambil surat itu. Ia tak membuka segelnya di depan umum. Hanya berkata pelan:
"Kami akan beri jawaban esok. Sampaikan terima kasih kami pada Sultan."
UTUSAN membungkuk dan beranjak. Kamera mengikuti punggungnya hingga ia menghilang di balik bukit.
LOKASI: Dalam Balai Pertemuan – Malam hariSRI duduk di tengah ruangan bundar. Di sekelilingnya: Raka, Ki Patra, Darto, Jagad, Soma, dan beberapa tokoh tua desa. Suasana gelap, hanya diterangi lampu minyak.
SRI (membuka surat, membacanya perlahan):
"Atas nama Sultan Hamengkubuwana I, dimohon kehadiran Sri Dewi Arya untuk perundingan dan pengukuhan sebagai penguasa sah Giyanti. Kehadiran berarti pengakuan. Ketidakhadiran berarti pemberontakan."
SUNYI. Semua saling pandang.
RAKA (datar):
"Perundingan. Tapi juga ultimatum."
DARTO:
"Kalau kau pergi… dan tak kembali?"
SOMA:
"Atau kembali dalam peti?"
JAGAD (pelan):
"Tapi kalau kau tak pergi, kita bisa dianggap melawan. Dan perang bisa datang lagi."
KI PATRA:
"Keraton tidak suka kehilangan wajah. Mereka harus tundukkan Giyanti secara simbolik, atau seluruh tanah Mataram akan meniru kita."
SRI berdiri. Ia memandangi panji robek yang tergantung di dinding. Lalu menatap wajah-wajah lelah tapi berharap.
SRI:
"Kalau aku pergi, aku mungkin mati. Tapi kalau aku tidak pergi, Giyanti akan diseret lagi ke perang. Aku tak bisa pertaruhkan kalian lagi."
RAKA (menatap Sri):
"Maka aku ikut."
DARTO:
"Aku juga."
SOMA (mengejek):
"Apa gunanya hidup kalau tak bisa mati bersama-sama?"
KI PATRA:
"Jangan semua ikut. Kalau mereka culas, Giyanti harus tetap punya pemimpin lain. Aku akan jaga desa. Kau pilih dua orang saja."
SRI mengangguk. Ia menunjuk Raka dan Soma. Darto mengangguk pasrah.
LOKASI: Kamar Sri – Tengah malam
Sri menulis surat pendek. Kamera mengintip isi surat: "Jika aku tak kembali, jangan perang. Jadikan Giyanti tanah yang tak bisa dibeli, dibujuk, atau ditaklukkan."
Ia menyelipkan surat itu ke dalam laci di balik dinding. Lalu berdiri, mengenakan pakaian adat hitam-hitam, selendang merah, dan menyelipkan keris emas di pinggangnya.
Visual:
SRI, RAKA, dan SOMA menunggang kuda di subuh buta. Desa Giyanti perlahan menghilang di belakang mereka, tertutup kabut pagi.
NARATOR (VO):
"Dalam sejarah, perjalanan terpendek bisa menjadi yang paling menentukan. Tiga ekor kuda… membawa nasib satu tanah."
FADE OUT.
[AKHIR ADEGAN 23]