Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Giyanti
Suka
Favorit
Bagikan
7. ADEGAN 7
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

LOKASI: Aula Besar Benteng Giyanti

WAKTU: Pagi Hari, Hari Penandatanganan

VISUAL:

Ruang megah penuh dengan kursi dan karpet merah panjang yang membentang dari pintu masuk hingga ke meja panjang di ujung aula. Lampu-lampu gantung kristal berkilauan, cahaya pagi masuk dari jendela besar. Para bangsawan kerajaan dan pejabat VOC berkumpul dengan pakaian resmi. Atmosfernya berat, penuh tekanan.

SUARA:

Bisik-bisik cemas, derap kaki prajurit Kompeni, suara lembaran kertas.

DEKAT MEJA PENANDATANGANAN:

Residen VOC Nicolas Hartingh berdiri dengan ekspresi tegas, sesekali melirik jam tangan emasnya.Pangeran Mangkubumi duduk dengan wajah muram, kedua tangan terkepal di pangkuan.Sunan Pakubuwono III terlihat berusaha tersenyum, namun matanya memperlihatkan ketegangan.Raka berada di sudut ruangan, duduk dengan tenang, memegang dua naskah dalam amplop tertutup.

HARTINGH (mengangkat suara):

"Hari ini, kita menandatangani sejarah baru. Perjanjian Giyanti akan membawa perdamaian dan kestabilan. Semua pihak sepakat, tanpa paksaan."

PENGAWAS KOMPERNI:

"Silakan, Tuan Pangeran Mangkubumi, yang pertama menandatangani."

PANGERAN MANGKUBUMI (menghela napas dalam):

"Ini bukan kehendak hatiku. Namun demi menghindari pertumpahan darah, aku terpaksa menerima."

Ia mengangkat pena dengan tangan bergetar, menandatangani naskah di depan mereka semua.

RAKA (VO, pelan):

"Tanda tangan itu seperti api di atas kertas. Membakar bukan hanya naskah, tapi juga harapan."

SETELAH MANGKUBUMI:

Sunan Pakubuwono III berdiri, mengambil pena, dan menandatangani naskah resmi itu dengan wajah yang tetap tersenyum, tapi matanya dingin.Hartingh kemudian dengan sigap menandatangani sebagai saksi Kompeni.

RAKA menyimpan naskah resmi ke dalam kotak kayu yang diletakkan di depan Hartingh. Ia menyimpan naskah asli, yang disalin dari bawah tanah, di dalam jaketnya.

HARTINGH (menghadap semua):

"Dengan ini, Perjanjian Giyanti resmi berlaku. Kita membuka babak baru dalam sejarah Jawa."

MARTANEGARA, yang sejak awal hanya berdiri di sudut ruangan, melangkah maju. Wajahnya muram dan matanya menyala penuh amarah.

MARTANEGARA (dengan suara keras):

"Ini bukan sejarah baru, tapi pengkhianatan baru! Pangeran Mangkubumi mengorbankan darah leluhur untuk kepentingan asing!"

KERUMUNAN GEMPAR. Beberapa prajurit Kompeni mengangkat tombak. Hartingh cepat menenangkan situasi.

HARTINGH (serius):

"Tenang! Ini adalah keputusan resmi yang akan membawa kedamaian. Siapa pun yang menolak berarti mengancam ketertiban."

RAKA berdiri, suara nya tenang tapi penuh kekuatan:

RAKA:

"Tuan-tuan, para bangsawan... Perjanjian ini bukan akhir dari cerita. Ada kebenaran yang tersembunyi, naskah yang tak akan bisa kalian tandatangani—karena ia bukan untuk Kompeni atau kerajaan. Tapi untuk rakyat."

Semua terdiam, menatap Raka. Hartingh meremas sudut meja, matanya mencurigakan.

RAKA membuka jaketnya, mengeluarkan naskah asli dari bawah tanah.

RAKA:

"Ini adalah perjanjian leluhur, yang ditulis jauh sebelum VOC menginjakkan kaki. Ia menolak pembagian tanah oleh kekuatan luar, dan menjunjung kedaulatan darah Jawa."

WIRANEGARA melangkah maju dengan cepat, berusaha merebut naskah itu.

WIRANEGARA:

"Anda tidak berhak menunjukkan ini! Ini ancaman terhadap kedamaian yang baru saja kita capai!"

RAKA mundur, mengangkat naskah tinggi-tinggi.

RAKA:

"Kedamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi. Jika sejarah hanya ditulis oleh mereka yang menang, maka siapa yang akan memperjuangkan kebenaran yang hilang?"

KERUMUNAN MULAI BERGEJOLAK. Ada yang bersorak mendukung Raka, ada yang membencinya. Prajurit Kompeni mengepungnya perlahan.

HARTINGH (berteriak):

"Tangkap dia! Ia berkhianat dan menghasut! Ini bisa memicu pemberontakan!"

RAKA berlari ke arah pintu aula, diikuti prajurit.

SRI muncul dari sisi lain aula, membantu membuka jalan dengan membentengi Raka.

MEREKA MELARIKAN DIRI ke lorong-lorong benteng.

Suara langkah kaki dan teriakan mengejar semakin keras.

RAKA (VO, dalam pelarian):

"Kebenaran harus dilindungi dengan darah dan keberanian. Aku memilih jalan yang sulit, karena jika tidak sekarang... kapan lagi?"

Mereka sampai di ruang bawah tanah yang tersembunyi, pintu tua dibuka oleh Sri.

RAKA (bernapas berat):

"Kita harus menyebarkan naskah ini, sembunyikan pada rakyat. Mereka harus tahu, sejarah mereka bukan hanya versi para penakluk."

SRI mengangguk, menyiapkan beberapa lembaran naskah untuk dikopi secara diam-diam.

CUT TO:

LOKASI: Desa Sekitar Giyanti — Malam Hari

Sekelompok warga desa berkumpul di balai desa. Seorang dalang sedang menceritakan cerita yang dikemas dengan bait-bait tembang dan simbol-simbol kuno.

DALANG (bernyanyi dengan gamelan kecil):

"Dengarkan, dengarkan, sejarah yang terlupakan... bukan hanya oleh pena asing, tapi oleh luka hati leluhur..."

RAKA (VO):

"Dengan setiap tembang yang menyebar, aku tahu sejarah tak akan bisa lagi dibungkam oleh naskah kering di meja benteng."

FADE OUT.

NARATOR (VO):

"Sejarah adalah nyala api yang terus menyala, walau angin berusaha memadamkannya. Dan api itu kini, menyala dalam jiwa rakyat Jawa."

[AKHIR ADEGAN 7]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)