Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Giyanti
Suka
Favorit
Bagikan
4. ADEGAN 4
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

LOKASI: Jalan Berkelok Sebelum Giyanti

WAKTU: Pagi Hari, Hari Ketiga Perjalanan

VISUAL:

Kabut turun tipis di antara pepohonan mahoni. Jalan batu menurun dengan lekukan tajam. Di kejauhan, bayangan benteng kecil mulai terlihat samar-samar. Itu Giyanti. Tapi medan belum selesai diuji.

RAKA (VO):

"Kata orang, kabut adalah pelindung. Tapi di jalur yang nyaris membuatmu tiba... kabut justru jadi tirai untuk pembunuhan."

ROMBONGAN BERHENTI di depan tikungan besar. Jalan sempit hanya bisa dilewati satu kuda dalam satu waktu. Di kiri jurang, di kanan hutan lebat.

SENOPATI MAHESA (mengangkat tangan):

"Kita istirahat di sini lima belas menit. Periksa medan. Ada yang aneh, lapor secepatnya."

RAKA turun dari kudanya, memandang ke bawah tikungan. Ia teringat kata-kata Sri:

“Berhenti di tikungan berbatu. Akan ada orang menunggumu.”

RAKA (pada Mahesa):

"Saya mau melihat ke arah bawah. Sebentar."

MAHESA (dingin):

"Tak lebih dari lima puluh langkah. Aku akan mengirim satu prajurit ikut."

RAKA berjalan ke arah sisi kiri lereng, menuruni beberapa batu. Ia menoleh. Salah satu prajurit—Branjung—mengikutinya.

POTONG KE:

LOKASI: Celah Batu Besar di Tikungan

Ada gua kecil tersembunyi di balik semak. Di depannya, berdiri seorang lelaki tua berjubah kain kasar, bertelanjang kaki, rambutnya gimbal terikat, wajahnya dipenuhi bekas luka bakar lama. Ia membawa tongkat bambu dan kulit lontar di ikat pinggang.

RAKA (pelan):

"Sumur Watu?"

LELAKI TUA (datar):

"Akhirnya... yang membawa kata datang juga."

**RAKA mengeluarkan manik batu hijau pemberian ibunya. Lelaki tua mengangguk perlahan, kemudian menggulung kulit lontar dan menyodorkannya.

LELAKI TUA:

"Bacalah ini bila hatimu ragu pada isi naskah kerajaan. Tapi berhati-hatilah... kebenaran yang kau temukan bisa membuatmu musuh semua pihak."

RAKA membuka gulungan kulit lontar. Ia membaca cepat:

"Pasal Persaudaraan: Bahwa wilayah timur dan barat tetap satu keturunan, tidak boleh dibagi kecuali oleh tipu muslihat luar."

RAKA (gumam):

"Ini... isi aslinya berbeda jauh. Yang sekarang sudah diracuni Kompeni."

LELAKI TUA:

"Lebih buruk. Bukan hanya diracuni. Tapi dibuat untuk mengadu darah saudara."

TIBA-TIBA — suara kuda dari atas jalan.

Teriakan panik.

POTONG KE:

LOKASI: Atas Tikungan

ROMBONGAN DISERANG. Sepuluh pria bertopeng menyerbu dari hutan kanan. Busur, pedang, tombak. Suara teriakan dan benturan senjata menggema.

SENOPATI MAHESA (berteriak):

"Jaga Raka! Lindungi naskah!"

RAKA dan prajurit Branjung mendaki kembali dengan tergesa, tapi serangan sudah di depan mata. Seorang penyerang muncul dari belakang batu, menebas Branjung — darah muncrat ke pakaian Raka.

RAKA tergelincir. Gulungan kulit lontar terlepas dari tangannya dan masuk ke dalam semak. Ia tak sempat mengambil.

Seorang penyerang mengangkat senjata, tapi Raka diselamatkan oleh Mahesa yang datang dengan cepat.

DUARR!

Letusan senjata api dari arah atas.

Prajurit Surakarta rupanya membawa senapan lontak. Dua penyerang roboh. Sisanya kabur ke dalam hutan.

POTONG KE:

LOKASI: Tanah Berlumur Darah, 10 Menit Kemudian

Tiga prajurit Surakarta tewas. Dua luka parah.

Mayat para penyerang dikumpulkan. Mereka semua mengenakan topeng kain.

RAKA menatap mayat Branjung. Wajahnya masih segar, matanya terbuka. Ia menutup mata sahabatnya itu dengan tangan sendiri.

SENOPATI MAHESA:

"Ini bukan perampok biasa. Mereka menyerang dengan formasi militer."

RAKA:

"Mereka tahu di mana kita akan berhenti. Ini bukan kebetulan."

MAHESA:

"Pengkhianat di antara kita?"

**RAKA menggeleng. Ia masih memikirkan lontar yang tercecer. Ia kembali ke bawah, mencari gulungan itu.

**Namun... kulit lontar telah hilang. Hanya ikat rotannya tertinggal di semak.

RAKA (pelan):

"Mereka mencuri kebenaran... sebelum sempat kusuarakan."

MAHESA (datang mendekat):

"Apa itu?"

RAKA (menyembunyikan nada):

"Catatan pribadi. Tak penting."

POTONG KE:

LOKASI: Perjalanan Menuju Giyanti — Siang Hari

Rombongan berjalan perlahan. Suasana tegang. Semua saling curiga, semua diam. Raka menunggang kudanya di tengah, naskah tersimpan dalam peti kulit di bawah pelana.

RAKA (VO):

"Yang kutahu... aku tak lagi pembawa pesan. Aku telah menjadi simpul dalam jaring. Bila aku membaca yang salah, darah tertumpah. Bila aku diam, sejarah dibungkam."

DI DEPAN MEREKA — GERBANG GIYANTI. Sebuah benteng kecil dengan gerbang kayu. Bendera VOC berkibar di samping bendera putih kerajaan.

**Di seberang gerbang, sudah menunggu — rombongan Kompeni dengan baju seragam rapi. Salah satu dari mereka melambaikan tangan. Ia adalah Residen Nicolas Hartingh. Tersenyum lebar.

HARTINGH (dalam bahasa Belanda, diterjemahkan):

"Selamat datang... di tempat masa depan Jawa akan ditulis."

RAKA menatap gerbang itu.

Tatapannya tajam, berat, dan kosong sekaligus. Ia tahu, ini bukan akhir. Tapi awal dari pengkhianatan yang lebih besar.

FADE OUT.

NARATOR (VO):

"Kadang sejarah bukanlah tentang siapa yang menang... tapi siapa yang cukup lihai menulis versi terakhir."

[AKHIR ADEGAN 4]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)