Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Giyanti
Suka
Favorit
Bagikan
24. ADEGAN 24
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

LOKASI: Gerbang Keraton Yogyakarta – Siang hari

WAKTU: Beberapa hari setelah keberangkatan dari Giyanti

VISUAL:

Kereta kuda berhenti di pelataran megah Keraton. Gerbang besar terbuka perlahan. Barisan prajurit dengan tombak bersinar berdiri tegak seperti patung. Gong dipukul tiga kali sebagai pertanda tamu kehormatan datang.

SRI turun dari kereta, mengenakan busana hitam dengan hiasan emas dan selendang merah khas Giyanti. RAKA dan SOMA mengikuti di belakang, berpakaian lebih sederhana, tapi tegak dan waspada.

PENYAMBUT ISTANA (dengan suara datar dan lembut):

"Selamat datang di jantung Mataram. Tanah yang mengalirkan darah para raja. Sri Dewi Arya, Sultan menunggu Anda."

RAKA (berbisik pada Soma):

"Darah para raja. Tapi tak disebutkan siapa yang menumpahkan."

SOMA (berbisik balik):

"Dan siapa yang disembelih demi tahta."

VISUAL:

Mereka dibawa melewati koridor panjang penuh ukiran wayang dan lukisan pertempuran. Hiasan emas berkilau, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya. Seperti emas di atas kuburan.

LOKASI: Pendopo Agung

SULTAN HAMENGKUBUWANA I duduk di atas singgasana ukir dengan sandaran berbentuk naga kembar. Di sekelilingnya: para punggawa, pejabat tinggi, dan perwira. Lantai dipoles seperti cermin.

SRI membungkuk dengan anggun, tapi tidak bersujud. Ini membuat ruang terasa menegang. Semua mata memperhatikan. Sultan hanya tersenyum tipis.

SULTAN:

"Sri Dewi Arya… bunga Giyanti yang berani melawan badai. Kau tahu, sebagian penasihatku ingin menghukummu karena pemberontakan."

SRI (tenang):

"Tapi saya tak pernah memberontak. Saya hanya mempertahankan apa yang diwariskan, dan yang dirampas."

SULTAN (tersenyum lebar):

"Dan karena itu, aku ingin mengangkatmu. Sebagai Penguasa Giyanti yang sah. Di bawah perlindungan Keraton."

SUNYI. Kalimat itu terdengar manis… tapi mengandung racun.

RAKA menggenggam gagang kerisnya, Soma menatap langit-langit. Sri tetap tenang.

SRI:

"Saya berterima kasih. Tapi perlindungan tanpa kemerdekaan… adalah penjara dengan atap emas."

SOROT MATA SULTAN MENGERAS. Namun ia tetap tersenyum.

SULTAN:

"Kau akan punya otonomi. Tapi keputusan akhir tetap pada tahta ini. Seperti anak yang cerdas tetap harus meminta izin pada ayahnya."

SRI:

"Tapi jika sang ayah mencoba menikam anaknya, apakah anak itu harus diam saja?"

GEMURUH TAWA TIPIS di antara para penasihat. Tapi Sultan mengangkat tangan, menyuruh diam.

SULTAN:

"Kau memang lidah api. Itu membuatmu menarik… dan berbahaya."

LOKASI: Balai Makan Istana – Malam hari

Visual berganti. Sri, Raka, dan Soma duduk di sebuah meja panjang penuh makanan mewah. Di sekitar mereka, musik lembut dan penari keraton mempersembahkan tarian Bedhaya. Tapi mereka bertiga tetap waspada.

SOMA (berbisik):

"Kau pikir makanan ini aman?"

RAKA:

"Kalau racunnya halus, kita baru tahu besok pagi."

SRI hanya mencicipi buah dan minum air. Ia memerhatikan dari kejauhan—seorang gadis muda memperhatikan mereka dari balik pilar.

KI SETRA (penasehat Sultan, mendekati Sri):

"Besok akan ada upacara resmi. Pengakuanmu akan disiarkan ke seluruh wilayah. Tapi… ada syarat kecil."

SRI (menatap tajam):

"Sebutkan."

KI SETRA:

"Kau harus menandatangani sumpah setia pada Sultan. Dan menyerahkan satu panji Giyanti asli sebagai tanda ketundukan."

RAKA langsung berdiri.

RAKA:

"Itu penghinaan."

SRI (menahan Raka):

"Kami akan pertimbangkan. Beri kami malam ini."

KI SETRA (tersenyum dan membungkuk):

"Waktu itu seperti air. Mengalir ke bawah, Sri. Dan yang menolak arus… tenggelam."

Ki Setra mundur. Sri memejamkan mata, pikirannya mulai kacau.

LOKASI: Kamar Tamu Istana – Tengah malam

Sri duduk di depan cermin besar, memandangi bayangannya. Ia membuka surat kecil yang diselipkannya sebelumnya—yang ia tulis di Giyanti. Matanya mulai berkaca.

RAKA masuk diam-diam.

RAKA:

"Kalau kau tanda tangani itu, apa bedanya kita dengan boneka?"

SRI:

"Tapi kalau kita tolak… mereka akan nyatakan kita pemberontak. Kompeni bisa masuk. Giyanti jadi lahan perang lagi."

RAKA:

"Lebih baik mati bermartabat daripada hidup bertekuk lutut."

SOMA (masuk tiba-tiba):

"Kalau begitu… kita harus punya rencana ketiga."

SRI (menoleh):

"Apa maksudmu?"

SOMA membuka gulungan kertas tua. Di dalamnya: Peta jalur pelarian dari istana yang ia dapatkan diam-diam dari seorang pelayan simpatisan.

SOMA:

"Kalau mereka paksa kita bersumpah besok, kita pura-pura terima… lalu kabur malam itu. Tapi kita harus ambil satu hal dulu."

RAKA:

"Apa?"

SOMA:

"Panji Giyanti yang dicuri dari kita saat pertempuran lalu. Aku dengar mereka menyimpannya di gudang pusaka. Kalau kita berhasil mencurinya kembali… kita pulang tidak sebagai budak. Tapi sebagai Giyanti sejati."

SRI (tersenyum samar):

"Itu rencana gila."

RAKA:

"Tapi aku suka."

SOMA:

"Lalu kita bertiga… akan menari di bawah hidung sang Sultan. Di atas ujung kerisnya."

VISUAL:

Kamera menyorot wajah Sri, kini teguh dan bersinar. Di luar, bulan purnama menggantung tepat di atas Keraton—tanda bahwa malam itu akan menjadi penentu takdir.

NARATOR (VO):

"Di antara tembok emas dan sumpah palsu, pilihan sejati tak selalu berbunyi lantang. Tapi ketika langkah diambil… sejarah tak bisa ditarik kembali."

FADE OUT.

[AKHIR ADEGAN 24]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)