Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
FADE IN:
148. EXT. KANAL PARIT BADAK (MALAM)
Cast: Saathi, Pengumpul Kotoran, Gesù
Saathi menunggu perahu pengumpul kotoran di pinggi kanal Parit Badak. Teriakan-teriakan para tukang perahu mengumpul kotoran sudah terdengar. Perahu-perahu itu singgah ke setiap tangga batu, tempat para budak menunggu.
PENGUMPUL KOTORAN
Mely lu olang ada tugas lagi, lupanya.
Saathi mengangkat guci beraroma busuk itu dan Pengumpul Kotoran menerimanya.
SAATHI
Tuan juga sempat tiada muncul beberapa lama.
Pengumpul Kotoran memindahkan isi guci ke dalam tong kayu perlahan-lahan.
PENGUMPUL KOTORAN
Goa dapet sakit, ya.
SAATHI
Lama?
PENGUMPUL KOTORAN
Tiga pekan. Goa punya majikan paling malah-malah, ya.
SAATHI
Apa tiada yang mengganti?
Pengumpul Kotoran menunggingkan guci Lyzbeth, semakin lama, bokong guci semakin tinggi.
PENGUMPUL KOTORAN
Tiada olang suka hati mau ambil ini kelja,ya.
Selesai. Isi guci itu sudah terkuras. Pengumpul Kotoran lalu menyerahkan kembali guci itu kepada Saathi.
PENGUMPUL KOTORAN
Lu mungkin ada kenal olang mau ini kelja, ya?
SAATHI
Sayê bole cari tahu.
PENGUMPUL KOTORAN
Lu punya omongan sunggu-sunggu?
Saathi mengangguk.
PENGUMPUL KOTORAN
Goa bluntung, ya.
SAATHI
Besok-besok sayê kabari Tuan.
PENGUMPUL KOTORAN
Itu bagus, ya. Lebi banyak lebi baek.
Pengumpul Kotoran lalu melayani budak lain yang menyerahkan guci-guci mereka. Saathi hendak mengangkat guci Lyzbeth dan segera meninggalkan tempat itu. Tetapi, perahu lain, yang lebih kecil, berlayar mendekat. Saathi menyadari kehadiran perahu itu lalu menoleh padanya.
SAATHI
(Bergumam)
Tuan Gesù.
Perahu itu terus merapat ke pinggir. Saathi lalu menyibukkan diri. Dia turun ke parit, memasukkan air ke dalam guci, mengocok-ngocoknya. Dia memberi kesan sedang membersihkan guci itu sebelum dibawa pulang.
PENGUMPUL KOTORAN
(Teriak)
Mely. Goa sunggu-sunggu tunggu lu punya kabal, ya.
SAATHI
(Mengangguk dan melambaikan tangan)
Iya, Tuan.
Perahu pengumpul kotoran itu berlayar lagi meninggalkan Saathi. Sementara para budak pun satu per satu pergi. Di ujung tangga batu, tinggal Saathi seorang diri.
GESÙ
(Tetap di atas perahu)
Saathi, kamu tidak tampak beberapa lama. Saya ke sini setiap malam.
SAATHI
Nyonya Lyzbeth menyibukkan sayê, Tuan.
GESÙ
(Mengangguk sambil tersenyum)
Saya sudah bertemu dengan Mlêtik dan Byomå.
SAATHI
(Membuang air dari dalam guci)
Mereka baik-baik saja, Tuan?
GESÙ
(Mengulurkan bungkusan kain merah kecil)
Mlêtik semakin pandai meramu tanaman obat. Dia menitipkan ini untukmu.
Saathi meletakkan guci. Dia lalu menerima bungkusan kain merah bertulis aksara Tionghoa warna emas itu sembari hati bertanya-tanya.
SAATHI
Apa ini, Tuan?
GESÙ
Mlêtik memetik tanaman obat dan meminta saya menyerahkan kepadamu. Kata Mlêtik, jika kamu menyeduhnya, khasiat tanaman itu akan menyehatkanmu.
Saathi menggenggam bungkusan kain mungil itu tanpa bicara. Dia tampak begitu terpana.
GESÙ
Saya berjanji, kalian akan segera berkumpul lagi.
SAATHI
(Mengangkat wajah)
Sayê menemukan cara itu, Tuan.
GESÙ
Sungguh?
Saathi mengangguk.
GESÙ
Bagaimana caranya?
SAATHI
Nyonya Lyzbeth meminta sayê menyanyi di Kastil Batavia.
GESÙ
Benarkah? Itu luar biasa.
SAATHI
(Mengangguk lagi)
Sayê akan ajukan syarat, Byomå dan Mlêtik harus ikut.
GESÙ
Itu ide yang sangat bagus. Tapi bagaimana itu bisa terjadi, Saathi? Apa yang membuat Nyonya Lyzbeth terpikir untuk menyuruhmu menyanyi?
SAATHI
Kemarin, saya menyanyi di Kantor Ommelanden. Ada Tuan Gubernur. Mungkin dia menyukainya.
GESÙ
(Sekali bertepuk tangan)
Ini kesempatan luar biasa, Saathi.
SAATHI
Byomå bagaimana, Tuan?
GESÙ
Saya bertemu Byomå dalam pesta Panti Yatim Piatu di pondok Nyonya Lyzbeth.
SAATHI
Pesta itu.
GESÙ
(Mengangguk)
Dia punya teman yang mendukung di panti. Byomå memainkan sulingnya dalam pesta itu.
Saathi mengangguk-angguk.
GESÙ
Kamu tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Saathi. Mereka anak-anak hebat. Entah bagaimana mereka bisa begitu kuat.
SAATHI
(Mengangkat guci)
Terima kaseh, Tuan.
GESÙ
Tak perlu sungkan.
Keduanya saling mengangguk, berpamitan. Saathi lalu mendaki tangga batu, sedangkan Gesù mulai mengayuh perahu.
CUT TO:
149. EXT. TERAS RUMAH LIZBETH (MALAM)
Cast: Saathi, Lyzbeth, Fernando, Pedro, Serdadu Kompeni
Saathi sampai di Jalan Utrecht dan melihat serambi rumah majikannya riuh Beberapa serdadu di luar serambi sedangkan Lyzbeth berkacak pinggang dan tampak begitu emosi.
Semakin dekat, Saathi semakin bisa mengira-ngira apa yang terjadi. Pedro berdiri menunduk di luar serambi. Sedangkan Fernando (budak Afrika, tinggi besar, wajah keras, agak beringas) menekuk dua lutut, kepalanya menunduk, kedua tangannya terantai besi.
SERDADU SATU
(Berapi-api)
Ini budak ada kabur ke itu Karawang, Nyonya.
LYZBETH
(Memelototi Fernando)
Apa iang dianya bikin di Karawang?
SERDADU DUA
(Menendang punggung Fernando)
Angkau jawab!
FERNANDO
(Terdorong ke lantai, jidatnya membentur lantai kayu)
Ampun, Nyonya.
LYZBETH
(Berkacak pinggang)
Ampun? Angkau tiada mengomong ampun itu tempo angkau curi saya punya uang dua ringgit! Sekarang abis kena tangkap angkau mengomong ampun! Tiada tahu diri!
FERNANDO
Ampun, Nyonya.
LYZBETH
Angkau kenapa kabur!
FERNANDO
Saya takut, Nyonya.
LYZBETH
Takut apa?
FERNANDO
Takut Nyonya mara jikalau dapet tahu Nyonya punya uang suda tiada.
LYZBETH
Angkau ke manakan saya punya uang, heh!
FERNANDO
Saya pake minum itu arak dan main judi, Nyonya.
Lyzbeth menggeram. Dia berusaha menahan diri karena saat itu itu terlalu banyak orang yang menyaksikan. Serambi-serambi tetangga juga sudah ramai. Para penghuninya ingin tahu ada keributan apa. Jendela-jendela rumah pun terbuka. Keributan itu memancing rasa ingin tahu semua orang.
LYZBETH
Permisie sebentaran, Tuan-Tuan.
Lyzbeth lalu masuk rumah. Saathi masih terpaku di muka serambi. Mungkin dia tak yakin apa yang harus dia lakukan. Serdadu itu sesekali masih menendang Fernando juga menempeleng kepalanya, di sela caci maki yang tak henti-henti. Sorak-sorai dari serambi-serambi tetangga semakin membuat mereka bersemangat merundung Fernando yang terus-menerus meminta tetapi tidak kunjung menerima ampunan.
Lysbeth muncul di pintu membawa kantung kain bergemerincing uang sen. Dia menghampiri serdadu itu lalu menyerahkan kantung uang kepada salah seorang di antaranya.
LYZBETH
(Tersenyum kikuk)
Terima kasi, Tuan telah bawa pulang ini budak tiada tahu diri. Saya bekal urus dia dengan baek.
SERDADU SATU
(Menerima pemberian Lyzbeth)
Nyonya tiada perlu sungkan. Ini suda jadi kami punya kewajiban.
SERDADU DUA
Kalau begitu, kami pamit, Nyonya. Kami harus berpatroli lagi.
LYZBETH
Tentu saja, Tuan.
SERDADU SATU
Jika Nyonya punya budak berulah lagi, kami pasti bekal bantu.
LYZBETH
Baik, Tuan.
Sebelum benar-benar pergi, salah seorang dari mereka masih sempat menendang Fernando sekali lagi.
SERDADU DUA
Budak hitam pandir!
Lyzbeth membiarkan hal itu, sebab memang dia pun marah bukan kepalang. Dia hanya tidak mau menggunakan tangannya sendiri untuk melampiaskan kegusaran.
LYZBETH
Pedro…angkau bawa ini budak hitam ke itu kebon belakang.”
PEDRO
(Gugup)
Iy … iya, Nyonya.
Pedro memandu Fernando bangkit lalu mengajaknya masuk ke rumah, menuju kebun belakang.
Lyzbeth tidak sedang terburu-buru. Dia seperti menikmati saat-saat ini. Dia melirik ke serambi-serambi tetangga tanpa bicara. Ketika satu per satu para tetangga sibuk dengan diri mereka sendiri, Lyzbeth lalu duduk dengan tenang. Dia meneruskan waktu kudapan malam. Ia ambil kue kering dari piring di atas meja, lalu tampak begitu menikmatinya.
LYZBETH
(Menikmati rasa kue di mulutnya)
Sussana sunggu juru masak hebat.
Saathi hendak melewati serambi karena merasa sudah tidak ada yang perlu dia pertimbangan. Namun, langkahnya urung ketika tangan Lyzbeth terangkat, menyuruhnya berhenti.
LYZBETH
Angkau lama sekali buang itu kotoran. Saya kira angkau kabur juga.
SAATHI
(Meletakkan guci kotoran itu)
Saya mencuci guci dulu.
LYZBETH
Angkau suda ada pikir di itu Kastil angkau bekal menyanyi apa?
Saathi mengangguk.
LYZBETH
Saya heran begimana Tuan Gubernur suka hati kepada angkau punya nyanyian. Saya saja mengantuk dengar angkau punya suara.
Saathi diam saja.
LYZBETH
Tuan Gubernur punya omongan, di Jawa, angkau punya musik macam-macam bunyinya. Betul?
SAATHI
Ada tujuh belas alat gamelan yang mengiringi sinden menyanyi.
LYZBETH
(Terhenyak lalu terbahak)
Tujuh belas! Buat mengiring angkau punya suara macam terompet itu butuh tujuh belas alat musik?
Saathi diam.
LYZBETH
(Mengangkat telunjuk, cekikikan)
Oh. … saya tahu kenapa perlu itu tujuhbelas alat musik buat temani angkau menyanyi, Mary. Sebab, angkau punya suara bikin orang mengantuk jadi butuh keributan buat kasih imbang.
SAATHI
Di gerobak saya ada bonang dan ketipung.
LYZBETH
Angkau sanggup mainkan semua? Sambil menyanyi?
SAATHI
Bonang dan ketipung dimainkan adik saya.
Meledak lagi tawa Lyzbeth. Dia sampai memegang perutnya. Telunjukknya memantul-mantul ke Saathi.
LYZBETH
Angkau sunggu-sunggu licik, Mary. Angkau pikir saya akan kena jebak oleh angkau punya akal licik, heh! Angkau tiada bekal ketemu angkau punya adik selama-lamanya.
Saathi menatap Lyzbeth dengan dingin. Saathi lalu meraih guci. Dia tinggalkan Lyzbeth begitu saja tanpa kata permisi. Lyzbeth melirik Saathi tetapi tidak berkata apa pun. Dengan tenang, Lyzbeth mengambil sepotong kue kering lagi, menghabiskannya. Setelah itu baru dia bangun dari kursi, masuk ke rumah dengan langkah yang tertata.
Dia menuju kebun belakang.
CUT TO:
150. EXT.HALAMAN BELAKANG RUMAH LYZBETH (MALAM)
Cast: Saathi, Lyzbeth, Fernando, Sussana, Pedro, Hester
Di kebun belakang, semua penghuni rumah sudah berkumpul, kecuali Saathi yang sedang membereskan kamar kecil. Setelah meletakkan guci dan membersihkan lantai dan dinding, dia baru ke luar ruangan yang hanya dipakai Lyzbeth itu.
Sekeluar dari kamar keci, Saathi melihat Lyzbeth sudah berdiri sambil bersidekap di depan tiang kayu. Pedro dibantu Sussana dan Hester mati-matian menarik tali hingga ke puncak kayu, agar badan Fernando menggantung dengan kepala setelapak tangan di atas tanah. Tubuh Fernando sangat besar. Dua tangan lelaki hitam itu lalu diikat di belakang tubuh. Wajah Fernando tampak sangat ketakutan. Tubuhnya gemetaran.
Sussana sejak tadi memalingkan muka. Merasa ngeri. Sedangkan Hester justru terlihat tak sabar, ingin tahu apa yang terjadi kemudian.
LYZBETH
(Tenang)
Hester… angkau ambil tali tambang. Ikat batu besar di itu tali.
HESTER
Ya, Nyonya.
LYZBETH
Sussana.
SUSSANA
(Gemetaran)
Iy … iya, Nyonya.
SUSSANA
Cambuk.
Sussana sudah berurai air mata. Terlebih sekarang dia mau tak mau terlibat dalam urusan yang membuatnya merasa berdosa. Dia pergi ke dapur mengambil cambuk jepang yang panjang melingkar-lingkar.
Lyzbet berjalan mengelilingi Fernando.
LYZBETH
Angkau pikir, kerna saya prampuan, saya tiada tega buat kasi kamu penderitaan?
SUSANA
(Menggenggam cambuk jepang)
Nyonya….
LYZBETH
Kasi ke Mary itu cambuk.
Saathi terkesiap. Sussana pun melihat Saathi dengan cemas.
LYZBETH
Angkau ada dengar, Sussana?
SUSSANA
(Gugup)
I … iya, Nyonya.
Sambil terus berairmata, Sussana menghampiri Saathi. Dia menyodorkan cambuk itu. Saathi menggeleng.
LYZBETH
(Histeris)
Angkau mau kasih cambuk ini budak hitam, atau saya yang kasih cambuk angkau punya badan sialan!
Saathi bergeming. Dia tantang tatapan Lyzbeth.
SAATHI
Orang yang dicambuki tiada bole menyanyi di Kastil Tuan Gubernur.
LYZBETH
(Mata membelalak)
Angkau berani acam saya, Prampuan Roh Jahat!
SAATHI
Ya, … sekalian saya katakan. Saya tiada akan menyanyi tanpa adik-adik saya mengiringi.
Lyzbeth syok. Dia sampai-sampai tak mampu bersuara. Matanya membelalak, badannya gemetaran. Tangannya menunjuk Saathi dengan tegang. Saathi tak peduli. Dia malah kemudian beranjak meninggalkan Sussana. Sepertinya dia telah sangat muak dengan perilaku majikannya.
LYZBETH
Hendak ke mana angkau, prampuan tuna susila!
Saathi tak menjawab. Dia terus melangkah.
LYZBETH
(Menjerit)
Mary! Hendak minggat ke mana angkau!
SAATHI
Ke serambi. Membersihkan bekas Nyonya menyantap kudapan. Agar serambi tak dikerubuti semut.
Lyzbeth menggeram.Badannya sempoyongan.
LYZBETH
Angkau tiada bekal berkumpul dengan angkau punya adik dekil itu, Mary! Ingat itu! Selamanya!
Saathi mengabaikan teriakan Lyzbeth. Dia berpapasan dengan Hester yang kerepotan membawa batu yang besarnya sepelukan. Batu itu sudah dia ikat dengan tali tambang.
HESTER
Mary! Bantu saya!
Saathi tidak menjawab kecuali dengan tatapan menyilet yang membuat Hester gusar.
HESTER
Saya akan kasih tahu Nyonya.
Hester mengomel tetapi tidak punya pilihan kecuali terus menghampiri Lyzbeth yang masih terpengaruh oleh tentangan Saathi. Mulutnya berkomat-kami, matanya masih membeliak.
HESTER
Nyonya, Mary baru saja….
LYZBETH
Diam!
Hester terhenyak. Dia lalu meletakkan batu dari pelukannya.
LYZBETH
Ikat itu tali di itu budak hitam punya leher. Sekarang!
Hester mengangguk-angguk tanpa bicara apa-apa. Dia lalu menghampiri Fernando yang semakin gemetaran.
FERNANDO
(Bergumam-gumam)
Hester… tolong saya, Hester.
Hester melirik kesal. Dia tidak memedulikan rintihan Fernando. Dia lalu mengikatkan tali tambang ke leher Fernando. Batu yang terikat pada ujung satunya membuat leher Fernando tertarik ke bawah. Tercekik tapi masih menyisakan ruang untuk bernapas.
FERNANDO
A … am … pun, Ny … Nyonya.
LYZBETH
Pedro!
PEDRO
Iya, Nyonya?
LYZBETH
Ambil itu cambuk dari Sussana.
PEDRO
Ba … baik, Nyonya.
LYZBETH
Kasih cambuk itu budak hitam, sampai dia berhenti merintih.
PEDRO
Iy … iya, Nyonya.
Meski ragu, Pedro tahu dia tidak punya kuasa untuk menolak. Dia lalu menghampiri Sussana, dia minta cambuknya. Pedro kemudian melangkah ke tengah kebun, mendekati Fernando. Napasnya memburu, dia mulai melecuti tubuh Fernando.
FERNANDO
Aaaa … ampun!
LYZBETH
(Berteriak)
Lebi keras!
SOUND EFFECT : BUNYI LECUTAN CAMBUK
FERNANDO
Aaaa!
LYZBETH
Lebi keras!
FADE OUT:
FADE IN:
151. EXT. LAPANGAN BALAIKOTA BATAVIA (SIANG)
Cast: Syaikh Akhmat, Nanhi Pari, Jan Pekel, Mas Gula, Ambrosius, Warga Kota
Lapangan Balaikota Batavia penuh sesak di pinggir-pinggirnya. Serdadu Kompeni menertibkan kerumunan orang yang berjumlah ribuan itu supaya menjauh dari titik tengah lapangan. Jauh ke pinggir, membentuk persegi panjang besar memberi ruang sangat lega agar kuda- kuda bisa berlarian.
Ada delapan kuda yang sedang dipersiapkan di tengah lapangan. Untuk apa kuda-kuda itu disiapkan. Ini adalah hari penjatuhan hukuman dua orang yang terbukti oleh hakim, telah membuat persengkongkolan untuk memberontak terhadap Kompeni. Hukuman kedua itu melibatkan delapan ekor kuda dan tali-tali tambang.
WARGA KOTA SATU
Bukankah itu kepala Kampung Jawa?
WARGA KOTA DUA
Dia kena bujuk orang Moor.
WARGA KOTA SATU
Lalu dianya mau berontak kepada Kompeni?
WARGA KOTA DUA
Iya, orang-orang punya omogan, mereka ada dapet bantuan dari Banten dan Cirebon.
WARGA KOTA SATU
Tiada mungkin mereka orang menang lawan Kompeni. Raja Jawa pun kalah kepada Kompeni. Dua kali.
Sorak-sorai ribuan orang seperti bunyi kerumunan lebah. Dari belakang Balikota, tepatnya dari penjara bawah tanah, serdadu kompeni menggiring Mas Gula dan Jan Pekel yang terikat tangannya, terbelenggu kedua kakinya. Kaki-kaki mereka dibebani rantai besi sedangkan rantai besi itu tersambung dengan bola beton. Membuat jalan keduanya tersaruk-saruk dan sangat berat.
WARGA KOTA TIGA
Kasih hukum!
WARGA KOTA EMPAT
Kasih bunu!
WARGA KOTA LIMA
Pengkhianat!
WARGA KOTA ENAM
Sampah masyarakat!
Mas Gula dan Jan Pekel kini digiring ke tengah lapangan. Mas Gula tegak kepalanya. Hampir-hampir menatap angkasa. Dadanya membusung, tidak terlihat takut atau pun terancam. Sedangkan Jan Pekel menunduk. Punggungnya membungkuk.
Kepala Mas Gula mesti ditekan, kakinya dipukul dengan gagang senapan, hingga dia tersungkur dan tengkurap.
Jan Pekel menekuk lutut dan masih berusaha memohon-mohon. Semua rantai di tangan dan di kaki keduanya dilepas. Diganti dengan tali tambang. Setiap kaki dan tangan diikat dengan tambang.
Serdadu-serdadu lain menggiring kuda-kuda Persia yang tinggi besar ke delapan arah berlawanan. Setiap kuda diikat dengan tali tambang panjang. Tali tambang sama yang diikatkan ke tangan dan dua pesakitan.
Sorak-sorai ribuan orang semakin menjadi-jadi. Ambrosius, Jaksa Kota Batavia berjalan ke tengah lapangan. Di kanan kirinya, dua orang serdadu mengawal dengan ketat.
AMBROSIUS
(Berteriak)
Warga Kota Batavia!
Ambrosius menunggu orang-orang merendahkan suara, hingga lebih senyap dibanding sebelumnya. Dengan begitu suaranya lebih bisa didengarkan.
AMBROSIUS
Hari ini, Anda semua jadi saksi. S aksi sebuah keadilan bagi kota yang kita cintai ini!
Sorak-sorai kembali bergemuruh.
AMBROSIUS
Dua terpidana ini, Mas Gula dan Jan Pekel adalah dua orang yang telah mendapat kemurahan hati Pemerintah Agung tapi tetap dengan sangat tidak terpuji, justru hendak melakukan pembalasan yang beracun!
Lagi-lagi caci maki rata di seluruh lapangan.
AMBROSIUS
Mereka berdua merencanakan sebuah makar. Mereka hendak membunuh Gubernur Jenderal, merebut Batavia, dan menjadikan diri mereka penguasa!
Van der Keer membiarkan suara orang-orang mengambil alih suasana. Beberapa lama dia hanya mengangguk-angguk, memancangkan tinjunya ke udara.
AMBROSIUS
Hari ini keadilan ditegakkan. Dua orang pengkhianat ini, dijatuhi hukuman mati!
Teriakan warga Batavia menggelegar. Pada saat itulah, serdadu-serdadu mencambuk kuda-kuda Persia yang tengah tenang mengendus rumput. Serentak, mereka tersentak, lalu lari cepat-cepat, ke arah yang berlawanan. Bersamaan dengan itu tangan-tangan dan kaki-kaki Jan Petel dan Mas Gula putus terbawa kuda-kuda itu bersamaan dengan putusnya nyawa kedua terpidana. Kuda yang paling lambat melompat, menyeret bagian tubuh paling ‘lengkap’. Selain tangan atau kaki, juga badan dan kepala yang sudah mati.
Di antara jejalan manusia itu, Syaikh Akhmad dan Nanhi Pari berdiri.
SYAIKH AKHMAT
(Menyentuh pundak Nanhi Pari)
Mari kita pulang, Putriku.
NANHI PARI
Hari-hari gelap akan segera datang, Ayah.
SYAIKH AKHMAR
(Tersenyum)
Serahkan kepada Allah.
Nanhi Pari mengangguk. Mereka berdua lalu menyelinap di antara impitan orang-orang.
FADE OUT:
FADE IN:
152. INT.SERAMBI RUMAH LYZBETH (PAGI)
Cast: Lyzbeth, Hendrick, Sussana
Hendrick Pietersen pagi itu bertamu ke serambi tunangannya, dan dia dengan Lyzbeth sejak tadi terlibat pembicaraan yang tenang dan serius. Serambi di kanan kiri rumahnya kosong.
HENDRICKS
(Bernada rendah)
Engkau tahu, kita tidak punya pilihan, Lyzbeth.
LYZBETH
Sekarang pun dia sudah berani melawan kata-kataku, Hendrick. Aku bisa bayangkan betapa dia akan besar kepala jika aku menuruti keinginannya.
HENDRICK
Itu perasaanmu saja. Dia tahu dia seorang budak. Dia tidak akan berbuat macam-macam.
LYZBETH
(Melirih)
Kamu harus melihat bagaimana dia menatapku, Hendricks. Aku yakin dia bersekutu dengan setan. Auranya sungguh-sungguh penuh kuasa gelap.
Hendrick diam sebentar.
HENDRICK
Tapi kita benar-benar membutuhkan ini untuk mengambil hati Tuan Gubernur, Lyzbeth. Kamu tahu dia sangat menyukai penampilan gadis itu.
LYZBETH
(Kesal)
Aku tahu. Itu prampuan pun tahu cara memanfaatkan ini untuk menekanku.
HENDRICK
Bagaimana jika kamu lupakan dulu itu untuk sekali ini saja. Setelah pesta dansa, terserah akan engkau apakan budakmu itu.
LYZBETH
(Menggigit kuku)
Aku benar-benar tidak bisa berpikir.
HENDRICK
Pikirkan keuntungan yang bisa kita dapatkan dengan kedekatan khusus dengan Tuan Gubernur, Lyzbeth. Engkau akan mendapat perlakuan pajak khusus. Sedangkan aku akan mendapat kenaikan pangkat yang bagus. Kita bisa memperoleh dua-duanya hanya dengan membiarkan gadis itu bertemu dengan adik-adiknya.
LYZBETH
(Melirik Hendrick)
Apa Tuan Gubernur bisa menekan gereja untuk memudahkan pernikahan kita?
HENDRICK
(Mengangguk)
Itu bisa dibicarakan.
LYZBETH
Engkau berjanji akan membicarakannya dengan Tuan Gubernur?
HENDRICK
Aku berjanji.
Lyzbeth kembali sibuk menggigit kuku-kuku tangannya. Sussana tergopoh-gopoh ke luar rumah. Wajahnya pucat, air matanya tumpah, tubuhnya bergetar.
SUSSSANA
Nyonya.
LYZBETH
(Melirik Hendrick)
Angkau kenapa Sussana? Apa angkau sudah kehilangan angkau punya kesopanan.
SUSSANA
(Menunjuk-nunjuk ke dalam rumah)
Ma … maaf, Nyonya. Fernando…. Fernando.
LYZBETH
Kenapa budak hitam itu?
SUSSANA
Di ... dia, sepertinya sudah mati, Nyonya.
Lyzbeth membelalak. Dia menoleh pada Hendrick. Bibirnya gemetar, kehilangan ketenangan.
FADE OUT:
FADE IN:
153. EXT. HALAMAN SAMPING PABRIK GERABAH MARTI (SIANG)
Cast: Mbok Marti, Jozua, Lelaki Misterus, Buruh Gerabah
Mbok Marti berdiri kaku. Lelaki Misterius (berwajah jawa, berpakaian eropa) baru saja meninggalkan dia, menaiki kuda lalu memacunya.
Beberapa saat kemudian, Mbok Marti seperti orang gila. Dia memegang cangkul dan mulai menghancurkan gerabah-gerabah yang tertata di sebelah rumahnya. Rambutnya acak-acakan. Matanya membelalak, berair mata.
MBOK MARTI
(Berteriak)
Kurang ajar!
Para buruh menyingkir ketakutan. Mbok Marti terus mengayunkan cangkulnya ke mana-mana. Menghajar gerabah-gerabah yang tersisa.
MBOK MARTI
Perempuan sialan!
Marti terus menjerit-jerit tidak karuan. Jozua datang berkuda. Dia melompat dari punggung kuda dan keheranan melihat Mbok Marti yang kesetanan.
JOZUA
Mbok Marti! Apa kausudah gila!
Mbok Marti menghentikan amukannya. Dia membalikkan badan.
MBOK MARTI
Tuan Jozua.
JOZUA
(Mengangguk)
Aku mendengar kaumencariku di Pondok Peranginan. Aku ke mari untuk menanyakan maksudmu itu.
MBOK MARTI
Terlambat, Tuan.
JOZUA
Maksudmu?
MBOK MARTI
(Menggeleng-geleng)
Tuan telah melakukan kesalahan yang sangat besar.
JOZUA
Kausedang bicara apa, Mbok Marti?
MBOK MARTI
Saathi. Budak yang Tuan kirim ke Batavia itu membawa petaka.
JOZUA
(Mengerut dahi)
Aku tidak mengerti.
MBOK MARTI
Saya sudah mencegah dia masuk ke tembok kota, tetapi Tuan justru mengirimnya ke sana.
JOZUA
Saathi baik-baik saja. Nyonya Lyzbeth, orang-orang terhormat Batavia, sampai gubernur menyukainya.
MBOK MARTI
(Mengacungkan telunjuk)
Itulah tujuan besarnya, Tuan.
CUT TO:
154. KASTIL BATAVIA (SIANG)
Cast: Saathi, Kusir Kereta
Kereta kuda berpintu berhenti di depan Kastil Batavia. Saathi (berpakain Paes Agung Mataram lengkap) duduk di bagian belakang.
MBOK MARTI
(V.O)
Sejak awal, Saathi hanya berpura-pura lemah. Kenyataannya, dia adalah perempuan yang sangat mematikan. Dia datang ke Batavia dengan misi rahasia.
Saathi turun perlahan dari kereta.
CLOSE UP: KAKI SAATHI YANG BERSELOP, KAIN BAWAH SEDIKIT TERSINGKAP
MBOK MARTI
(V.O)
Dia menarik hati semua orang demi bisa menembus tembok Kota Batavia.
Saathi mulai melangkah menuju Kastil Batavia.
MBOK MARTI
(V.O)
Dia memperdaya semua orang untuk menciptakan kesempatan masuk ke Kastil Batavia.
KUSIR
Nona. Ada yang tertinggal.
Saathi tampak punggung lalu menoleh ke belakang. Riasan Paes Ageung Mataram sempurna membuat wajahnya mencolok. Berwibawa, cantik, sekaligus berbahaya. Saathi tersenyum kepada Kusir. Ia menerima chelempung dari Kusir.
SAATHI
Terima kaseh.
MARTI
(V.O)
Tujuan terakhir Saathi adalah, membunuh Gubernur Jenderal. Membuat Batavia menjadi genangan darah.
CLOSE UP: WAJAH BERSENYUM SAATHI
TAMAT