Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
KEMBANG BATAVIA
Suka
Favorit
Bagikan
9. #9 Ursela Saya Punya Nama

CUT TO:

38. EXT. PARIT SINGA BETINA (MALAM)

Cast: Gesù, Ursela, pedagang-pedagang pasar, para pengunjung pasar.

Gesù sampai di Parit Singa Betina yang termasyur. Dua sisi kanal penuh sesak orang-orang. Lapak-lapak dadakan tersebar di seluruh area. Berjajar-jajar. Riuh-rendah suara pedagang berebut pembeli. Mereka menawarkan sayur-mayur dan buah-buahan. Kebanyakan yang berbelanja tentu saja para budak dan warga Mardiker yang tidak punya budak. 

SOUND EFFECT: KERAMAIAN PASAR

Hanya sedikit orang Eropa yang tampak berdesak-desakan. Gesù tampak mencolok di antara pengunjung pasar. 

Gesù menengok ke sana- sini, melewati satu per satu pedagang yang mengamparkan dagangan di atas tikar. Ada juga yang meletakkan meja kayu dan menyusun barang dagangan di sana.

Perempuan pedagang bertubuh sintal yang mengenakan kain dan baju Melayu, tangannya sampai menggapai-gapai, berusaha menyentuh orang-orang yang lewat, setengah memaksa mereka agar singgah di lapaknya.

PEDAGANG 1

Yang murah, Baba, Nyonya. Ini sayur segar ada dari Oemmelanden!

     

PEDAGANG 2 

Ini daun sirih, buah pinang. Ada paling baru paling segar. Baru datang, Nyonya.

Gesù terus berjalan sambil tersenyum ke sana sini. Dia sampai di kelompok penjual buah. Macam-macam juga yang mereka jajakan. Pisang, duku, alpukat, manggis, dan lainnya. Gesù menghampiri lapak durian. Penjualnya Ursela (perempuan Mestizo; berwajah India bermata hijau, berpakaian baju kurung, usia dua puluhan)

URSELA

(Ramah penuh semangat)  

Mau durian, Tuan? Bole makan di sini, bole Tuan bawa pulang. Bole makan sendiri, bole buat teman duduk betetamuan.

Durian besar-besar, ditata beraturan. Satu buah telah dibuka, agar tampak isinya.

GESÙ

(Mengangkat salah paling besar) 

Ada durian di Batavia rupanya?

URSELA

Itu durian ada paling dicari, Tuan. Sunggu-sunggu harum aromanya, sedap rasanya.

GESÙ

Saya makan di sini saja.

URSELA

(Mengambil alih durian Gesù)

Trusa slempang, Tuan. Itu saya suda aturkan.

CUT TO:

 39. EXT. KIOS DURIAN URSELA (MALAM)

Cast: Gesù, Ursela

Gesù duduk dekat Ursela. Ursela sudah selesai membuka durian.

URSELA

(Menyerahkan durian ke Gesù)

Silakan, Tuan. Saya punya nama Ursela Franz. Orang-orang di dalam pasar punya omongan, Ursela punya durian rasa enak nomor satu di ini Batavia.

GESÙ

(Menerima durian sambil tertawa kecil)

O, ya? Durian Ursela; paling enak di Batavia.

URSELA

Itu betul, Tuan.

Gesù meletakkan satu belah durian lalu mulai menikmati belah satunya. Menggigit daging empuk, menikmati aroma sambil memejam mata, mengangguk-angguk kemudian. 

GESÙ

Benar-benar enak.

URSELA

Saya orang punya omongan tiada dustain kepada Tuan.

Gesù mengangguk-angguk sambil berdecak-decak saking nikmatnya.

GESÙ

Sudah lama berjualan di sini, Ursela?

URSELA

Kira-kira ada lima taon di belakang, Tuan.

Gesù melanjutkan santapannya lalu berhenti sesekali. 

GESÙ

Saya jarang melihat orang seperti kamu.

URSELA

Seperti saya begimana, Tuan?

GESÙ

Kulit pribumi, mata orang Eropa.

URSELA

(Datar saja)

O, itu. Orang-orang pemerintah punya omongan, kita orang disebut Mestizo, Tuan. Saya punya ayah awak kapal Kompeni. Saya punya ibu Mardiker asal Madurai, India. Itu tempo ada jadi budak tapi dikasi bebas sama Ibu punya majikan.

CLOSE UP: WAJAH URSELA 

URSELA

Saya punya ayah, suda pulang ke Belanda. Ibu cinta dianya ibarat punya laki kawin, segala hartanya dia kasi itu ayah bawa pegi.

Gesù tekun mendengarkan. Tidak menyela.

GESÙ

Tuan Franz sempat lama di Batavia?

URSELA

(Tertawa lepas)

Franz? Itu laki saya punya nama.

GESÙ

O, maaf.

URSELA

Ini Mestizo tiada pake ayah mereka punya nama.

GESÙ

Mengapa begitu?

URSELA 

Tiada ada kehormatan. Idup bininya ada kewajibannya yang laki misti cukupin. Saya punya ibu tiada bruntung. Tuhan kasih buat ikut Ibu punya laki hatinya buruk dan terlalu benci sama saya punya Ibu.

GESÙ

Ayah kamu pergi sejak lama?

URSELA

Saya tiada sekali-kali liat ayah saya punya rupa.

Gesù menyimpan belahan durian yang sudah bertumpuk biji. Dia menukarnya dengan belah durian yang masih penuh isi lalu melanjutkan santapannya. 

GESÙ

Kamu tidak pernah ingin tahu siapa ayahmu?

URSELA

Itu tempo saya punya ibu kawin ada di Gereja Belanda. Itu gereja pasti punya catatan. Tapi, saja tiada ambil perduli.

Seorang Nyonya Mardiker menghampiri lapak Ursela dan membolak-balik duriannya.

URSELA

Permisie buat sebentaran, Tuan.

Ursela melayani nyonya pembelinya itu dengan cara yang khas. Penuh semangat memamerkan durian-duriannya dan menawarkan kepada Pembeli barunya. Gesù mengamatinya sambil tertawa tanpa suara.

Nyonya pembeli tadi membel sebutir durian lalu pergi meninggalkan kios Ursela. Ursela kembali menemani Gesù duduk.

URSELA

Ini Tuan bekal tinggal lama di ini Batavia? 

GESÙ

Bisa jadi. Saya sedang menunggu izin ke luar tembok. Jadi, selain di dalam kota, kemungkinan akan menjelajahi Ommelanden atau lebih jauh lagi ke pedalaman Jawa.

Ursela mengangguk-angguk. Menyimak dengan saksama.

GESÙ

O, saya ingat satu hal. Saya ingin tahu, apakah orang-orang mestizo ada yang tinggal di Kampung Jawa?

URSELA

Saya rasa tiada, Tuan. Itu Kampung Jawa yang Tuan punya maksud, ada di itu Ommelanden?

GESÙ 

(Agak ragu)

Iya

URSELA

Mengapa Tuan ada tanya?

GESÙ

Saya bertemu seseorang dan dia berciri seorang mestizo, Ursela. Tapi, mendengar ceritamu sekarang saya menjadi ragu.

URSELA

Apa sebab Tuan ada ragu?

GESÙ

Katamu, para mestizo selalu punya nama baptis yang menghubungkan mereka dengan ayahnya.

URSELA

Itu betul, Tuan.

GESÙ

Tapi nama orang ini sama sekali tidak memberi kesan seperti itu.

URSELA

Siapa prampuan itu punya nama?

GESÙ

(Tersenyum malu)

Saya belum mengatakan apa-apa tentang dia perempuan atau laki-laki.

URSELA

(Tertawa pendek) 

Jikalau Tuan mau dapet tau siapa itu prampuan, Tuan misti kasih saya tau siapa dianya punya nama?

GESÙ

Saathi. Namanya Saathi.

URSELA

(Dahi berkerut)

Saya rasa dianya bukan satu prampuan Mestizo, Tuan.

GESÙ

Tapi, matanya sungguh biru sedangkan perawakannya pribumi, meski berbeda denganmu. Bahasa Melayunya pun lebih dekat dengan Melayu Malaka.

URSELA

Dari dia punya nama, saya rasa itu prampuan pake nama India.

GESÙ

India?

URSELA

(Mengangguk)

Itu Saathi artinya satu teman atawa satu sahabat ke dalam bahasa India.

GESÙ

Saya rasa dia orang Selam.

URSELA

(Penuh keyakinan)

Jikalau begitu, saya rasa, Tuan harus dateng kepada orang Moor.

GESÙ

Orang Moor?

URSELA

Mereka orang datang ada dari Pantai Coromandel, Surat, atau Malabar.

GESÙ

India juga?

URSELA

(Mengangguk)

Orang Moor banyak uwang.

GESÙ

O, ya?

URSELA

Di ini kota, itu orang Moor ada tinggal di bagian barat. Ada di sekitar itu Parit Moor, Parit Jonker, dan Parit Malaka.

GESÙ

Tidak ada di Ommelanden?

URSELA

(Menggeleng)

Saya orang tiada tau banyak soal itu Ommelanden, Tuan.

Diam beberapa jenak. Gesù merasa kehilangan jejak.

FADE OUT:

FADE IN:

 40. EXT. PABRIK GERABAH MARTI (SIANG)

CAST: Saathi, Mbok Marti, Pekerja Pabrik Gerabah, Byomå, Mlêtik

Marti terus berbicara sambil memasukkan gerabah basah ke dalam tungku raksasa di halaman belakang rumahnya. Saathi yang membantu memindah-mindahkan gerabah basah buatan para pekerja. Marti tak berhenti berbicara sembari mengawasi pekerja-pekerjanya menyiapkan gerabah baru. 

Macam-macam gerabah dipindahkan dari bengkel gerabah ke tungku raksasa di belakang rumah. Puluhan gerabah berbentuk piring, kendi, wadah air, periuk, dimasukkan perlahan ke dalam tungku besar. Sebagian pekerja sedang menyiapkan kayu bakar, sebagian lagi mengupas pelepah batang pisang untuk keperluan akhir pembakaran.

Marti memberi tanda kepada Saathi untuk mengikuti langkahnya, menuju serambi belakang. Di situ ada bangku-bangku untuk beristirahat.

MBOK MARTI

Benar dugaanku, tå.Aku sudah mengingatkan kowe, Thi, kepala Kampung itu punya maksud tertentu kepada kowe.

Marti duduk di bangku panjang, Saathi menjejerinya kemudian. Dari tempat mereka duduk, semua kegiatan di halaman belakang bisa disaksikan. Byomå dan Mlêtik yang sedang bermain kuda lumping dari batang pisang pun terpantau dengan jelas. 

MBOK MARTI

Dia mengaku hendak membayari pajak bulananmu, Thi?

SAATHI

Nggih.

MBOK MARTI

Enak temenan. Mana ada orang baik seperti itu tanpa maksud-maksud di sebaliknya?

Saathi tidak banyak bicara, seperti biasa.

MBOK MARTI

Tapi benar kowe tolak tawarannya, tå?

Saathi mengangguk.

MBOK MARTI

Aku sudah curiga lama dengan kepala kampung itu. Dia sengaja ditanam oleh Kompeni untuk menjajah kita. Tidak cukup perlakuan buruk puluhan tahun kepada orang Jawa. Sekarang ditambah lagi dengan kepala kampung sontoloyo itu.

Para pekerja mengusung semua gerabah basah yang tersisa dari bengkel di depan rumah. Mereka memasukkannya ke tungku hingga penuh. Pelepah dari batang pisang mulai dipotong-potong rapi dan sama besarnya.

MARTI

Aku sudah lama di sini, Thi. Sejak zaman mendiang Sinuwun Sultan Agung. Sudah dua puluh tahun lebih. Aku saksi hidup perlakuan Kompeni yang semena-mena kepada orang Jawa.

Seperti sebelum-sebelumnya, Saathi tekun mendengarkan. Tidak pernah bertanya, apalagi tiba-tiba menyela. 

CLOSE UP: WAJAH MEMELAS SAATHI

 

MBOK MARTI

Mereka itu licik, Thi. Pandai mengadu domba. Dulu Sinuwun Sultan Agung hampir-hampir bisa menguasai Batavia. Tetapi, ada yang berkhianat, memberi tahu Kompeni. Dua kali. Perbekalan beras pasukan Sinuwun dibakar. Ribuan pasukan Sinuwun tercerai berai. Sisanya menemui ajal di tanah orang. Ada yang dibunuh Kompeni. Ada yang dihukum penggal.

CAMERA MOVEMENT: Menyorot ke pegawai Mbok Marti. Lubang tungku sudah ditutup dengan pelepah pisang. Ditata mengitari tungku berbentuk gunungan itu lalu diikat dengan tali dari kulit pohon pisang yang dipilin-pilin. Api lalu dinyalakan. Kayu-kayu begemeretak dimakan bara.

MBOK MARTI

(V.O)

Sejak itu, Kompeni tidak pernah membiarkan orang Jawa hidup bebas, Thi. Kita tidak bisa bebas masuk ke Kota Batavia. Hidup di kampung pun terus diawasi. Mereka itu datang ke Jawa tidak ada yang mengundang. Sekarang seolah-olah menjadi pemilik pulau ini. Membuat banyak aturan yang membebani pribumi.

CAMERA MOVEMENT: Kembali menyorot Mbok Marti dan Saathi.

MBOK MARTI

(Gundah, benar-benar emosi)

Kamu benar-benar harus waspada, Thi.

Saathi mengangguk lembut.

MBOK MARTI

(Menggebu-gebu)

Pajak bulanan itu memang berat. Apalagi aku di sini, Thi, semua pekerja-pekerja itu harus aku bayar pajaknya. Ada lima orang. Ditambah aku berarti kami harus setor enam puluh batang bambu sebulan.

CLOSER UP: WAJAH MBOK MARTI YANG EMOSI

MBOK MARTI

Memang aku bisa menyuruh mereka mengambil bambu di hutan. Tapi, itu mengurangi waktu mereka membuat gerabah. Ditambah lagi, makan mereka malah menjadi lebih banyak. Kamu tahu hutan bambu itu jauh dari kampung ini. Perlu banyak tenaga untuk mondar-mandir ke sana.

Saathi menoleh ke kebun, melihat Byomå dan Mlêtik. 

CAMERA MOVEMENT: Berpindah menyorot Mlêthik dan Byomå yang bermain-main.

BYOMȦ

(berteriak)

Mlêtik. Lihat, aku ketemu rumah undur-undur banyak sekali.

MLETHIK

Menemukan, Kakang. Bukan ketemu.

BYOMȦ

Maksudku, aku menemukan rumah undur-undur.

MBOK MARTI

(V.O.)

Bagaimana pentas di rumah Pak Suthå tempo hari, Thi? Bayarannya bagus ndak?

SAATHI

(V.O)

Kami diberi lima belas sen, Mbok.

CAMERA MOVEMENT: Kembali menyorot Saathi dan Mbok Marti.

MBOK MARTI

Ya, lumayan, untuk penglaris. Lama-lama orang akan tahu kemampuanmu dan membayar penampilanmu lebih tinggi.

Saathi mengangguk. Tidak berkomentar.

MBOK MARTI

Menurutku, kowe jangan dengarkan Kepala Kampung, Thi. Jangan mau hanya mengamen di kampung ini. Orangnya itu-itu terus. Coba kowe pergi menjelajah Ommelanden. Banyak kampung di luar tembok, Thi. Di Pisangan sana banyak orang-orang India. Di Tangerang ada Kampung Bugis. Bisa juga ke kampungnya orang-orang Melayu.

Saathi memperhatikan benar-benar. 

MBOK MARTI

Ada orang Jawa tinggal berbaur dengan macam-macam orang di Kampung Mangga Dua, Kawasan Kebun Kelapa. Tempatnya memang jauh. Meski begitu, kowe jadi punya kesempatan untuk tampil lebih sering. Tidak menunggu hari pasaran di kampung ini saja.

CLOSE UP: WAJAH MBOK MARTI

MBOK MARTI

Kowe pernah mendengar perihal orang-orang Moor, Thi?

Saathi menggeleng.

MBOK MARTI

Mereka seperti kita. Penganut Islam datangnya dari India. Orang-orang kaya dan pandai-pandai. Banyak guru agamanya. Sudah lama ada di Batavia. Di dalam kota mereka mendirikan sekolah Islam juga langgar-langgar besar.

Saathi mengelus punggung tangannya sendiri.

MBOK MARTI

Aku mendengar mereka mulai membeli tanah di sekitar Kali Ancol, Thi. Di luar Gerbang Rotterdam. Di sana banyak sekali orang-orang mardiker.

Marti melongok-longok ke arah pekerja. Tampak seperti ada yang hendak dia pastikan di antara pekerjanya lalu dia menoleh lagi pada Saathi.

MARTI

Coba kowe sesekali ke sana, Thi. Di Batavia harus pandai-pandai mencari kenalan. Kowe bisa mengamen di sana. Tapi, dari mengamen barangkali ada keberuntungan lain yang bisa kowe peroleh. 

SAATHI

Nggih, Mbok.

MARTI

Orang-orang Moor itu punya kaitan dengan Banten. Entah benar atau tidak, mereka membeli buku-buku Islam dari Banten, Thi. Orang Jawa masih menulis di lontar, mereka sudah membaca dan menulis di lembaran kertas. Kalau kowe bisa kenal dengan mereka, banyak yang kowe bisa pelajari nanti.

SAATHI

Matur suwun, Mbok.

MBOK MARTI 

(Menepuk-nepuk bahu Saathi)

Eaalah, Nduk, aku cuma bicara melantur.

   

FADE OUT:

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar