Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
INT. RUANG TAHTA - ISTANA ASTANA NUSA - SIANG
Waktu pertemuan harian di ruang singgasana sudah lewat. Raja Airlangga menghabiskan sore harinya bermain bersama putra keponakannya, Ardani, di taman istana. Paraya masuk, menyela momen tenang itu.
PARAYA
(hormat)
Yang Mulia, Kakanda Yang Mulia, Mantan Ratu Ajnadewi, datang berkunjung membawa berita penting.
Terkejut, Raja Airlangga menoleh melihat Paraya menggendong seorang wanita tua. Ekspresinya menunjukkan campuran keterkejutan dan kegembiraan.
AIRLANGGA
(heran)
Astaga! Kakanda Ratu Ajnadewi!?
AJNADEWI
(dengan suara serak)
Mantan Ratu, Adinda. Aku masih hidup, walau aku
tak begitu yakin soal kesehatanku.
Ajnadewi terbatuk-batuk, menegaskan kondisinya.
AIRLANGGA
(tergesa-gesa)
Ah! Mari kita ke pendopo saja. Ardani, ini nenekmu.
Beri salam pada Beliau.
Ardani, bingung tapi patuh, berlutut dan menyapa Ajnadewi dengan hormat.
ARDANI
(sopan)
Ardani, Putra Marakata, memberi salam kepada Nenekda Ratu Sepuh.
AJNADEWI
(tersenyum)
Anak baik. Ayo jalan bersama Nenek.
Ardani memapah sang nenek sambil berjalan. Mereka berjalan menuju pendopo, menemukan pengaturan tempat duduk yang nyaman dan sopan.
AJNADEWI
(lega)
Jadi, inilah putra bungsu Marakata, pewaris takhta.
AIRLANGGA
(terus terang)
Ya, dan aku harus mempersiapkan dia naik takhta agar aku bisa kembali ke Madangkara dan menikmati masa tuaku di sana.
AJNADEWI
(serius)
Nah, Anda tahu, Yang Mulia. Alasanku turun takhta sama dengan dirimu. Sayangnya, hari tuaku kini terganggu oleh bahaya besar yang mengancam negeri kita.
Mata Airlangga terbelalak menanggapinya.
AIRLANGGA
(khawatir)
Apa? Jangan-jangan...
AJNADEWI
(tegas)
Ya, ancaman itu berasal dari negerimu.
Nama biang keladinya adalah Calon Arang.
Mantan Raja Madangkara itu tertegun, pandangannya beralih ke Jaka yang berdiri di belakang Ajnadewi.
AIRLANGGA
(marah)
Hei, Anak Muda! Kau pasti buronan kerajaan, I Nyoman Jaka!
JAKA
(grogi)
Eh, ya, Baginda.
AIRLANGGA
(marah)
Kaukah yang telah mengantar Ajnadewi kemari?
JAKA
(Ya)
Y-ya, aku dan...
AIRLANGGA
(marah)
Beraninya kau muncul di hadapanku lagi!
Hulubalang Paraya, seret orang ini ke penjara!
Hati Jaka mencelos, amarah dan frustasi meluap-luap dalam dirinya. Namun, tatapan Ajnadewi dan gelengan kepalanya yang halus menghentikan langkahnya. Dia dengan enggan membiarkan anak buah sang jenderal menaklukkannya.
Saat Jaka hendak dibawa pergi, suara Raja menggelegar ke seluruh pendopo.
AIRLANGGA
(penentu)
Tunggu. KEhadiran kakakku yang kami sangka telah mangkat di sini sungguh berkat sumbangsihmu, Jaka. Kau telah menunjukkan ketulusan hati dan kematangan sikap. Imbalannya adalah kau bebas dari segala tuduhan dan hukuman.
Ajnadewi yang merasakan keragu-raguan Jaka menegurnya.
AJNADEWI
(menegur)
Masih belum mengucapkan terima kasih kepada Baginda Raja?
Jaka yang diliputi rasa syukur dan lega, berlutut di hadapan Raja, kedua telapak tangannya menempel di atas kepala.
JAKA
(bersyukur)
Hamba menghaturkan beribu terima kasih, Baginda.
AIRLANGGA
(khawatir)
Bagaimana dengan Sari? Kenapa dia tak ikut bersama kalian?
Jangan-jangan... apakah telah terjadi sesuatu pada dirinya?
Jaka yang kini terbebani dengan beratnya cintanya pada Sari, menjelaskan semua yang terjadi di Lembah Pohon Tengkorak. Raja Airlangga mendengarkan dengan penuh perhatian, ekspresinya tak tergoyahkan.
AIRLANGGA
(menyadari sesuatu)
Kini dengan adanya Sari di pihak mereka, persiapan kaum Leyak untuk melalap negeri kita telah rampung. Cepat atau lambat mereka akan menyerang langsung ke Danurah.
Berita itu bagaikan sambaran petir yang menimpa sang mantan Raja Madangkara. Dia dengan cepat menoleh ke Hulubalang Paraya, suaranya mendesak.
AIRLANGGA
(bertekad)
Ini keadaan darurat perang! Perkuat pertahanan kita! Panggil Penasihat Kerajaan, Mpu Bhadara, dan segera adakan rapat perang!
Jaka yang melemah karena beratnya beban dan gawatnya situasi, duduk dan memasang wajah tegang dan khawatir. Dia sekarang menghadapi dilema kemungkinan pertemuan dengan Sari... sebagai musuh.
CUT TO:
INT. RUANG BAWAH TANAH - LEMBAH POHON TENGKORAK - MALAM
Dua wanita berdiri berhadap-hadapan di ruang bawah tanah yang menakutkan. Obor yang menyala remang-remang menghasilkan bayangan yang berkelap-kelip, memperlihatkan kontur sosok dan wajah mereka.
Salah seorang perempuan, Calon Arang, berbicara dengan nada penuh harap.
CALON ARANG
(licik)
Sari, putriku. Dalam waktu singkat kau telah menguasai semua jurus yang Ibu ajarkan. Nah, apa kau sudah siap menerima energi pamungkas Rangda?
Sari yang sedang dalam pengaruh Rangda menjawab dengan nada datar dan melemah.
SARI
(penurut)
Ya, Ibu.
Calon Arang nyengir, campuran rasa bangga dan kenakalan terlihat jelas di wajahnya.
CALON ARANG
(licik)
Bagus, kau memang anak yang baik. Bersiaplah, karena rasanya pasti amat menyakitkan. Bertahanlah sekuat mungkin.
Sari, tubuhnya diselimuti aura energi angin yang berputar-putar, mengulurkan tangan dan menempelkan kedua telapak tangannya dengan telapak tangan ibunya.
CALON ARANG
(berwibawa)
Terimalah!
Dengan suara retakan yang menggelegar, Calon Arang menyalurkan semburan energi api hitam dari tubuhnya, mengalir melalui telapak tangannya dan masuk ke tubuh Sari. Sari mengeluarkan jeritan yang menusuk, kakinya gemetar, namun tangannya tetap terikat erat pada tangan ibunya, tidak mampu melepaskannya.
CALON ARANG
(sangat)
Pertahankan! Kalau kau lepas, kau pasti mati!
Perkataan Calon Arang menyimpan sebagian kebenaran, meski hanya sebagian cerita. Kenyataannya, memutus hubungan energi antara Sari dan ibunya akan memicu ledakan yang dapat mengakhiri hidup mereka berdua.
Sari, yang tersesat dalam pesonanya, tidak mampu memahami implikasi penuhnya. Pikirannya dikaburkan oleh sugesti sihir, kecerdasannya tumpul hingga tidak mampu membedakan kebenaran dari ilusi.
Energinya terus melonjak, menyusup ke setiap serat dalam diri Sari, mencari sesuatu yang spesifik. Begitu mencapai targetnya, aliran energi berbalik, mengalir kembali ke Calon Arang. Tujuannya menjadi jelas—Calon Arang dengan sengaja menarik sebagian energinya, bersama dengan entitas yang terikat oleh energi tersebut, kembali ke tubuhnya sendiri. Ini mirip dengan menggulung ikan setelah ditangkap dengan kail. Dengan kata lain, ketika dia memberi Sari energi tertinggi, dia mengambil sesuatu dari Sari—inti energi Rangda.
Saat inti energi Rangda kembali ke tubuhnya, Calon Arang menghela nafas dengan perasaan puas.
Setelah pertukaran selesai, Calon Arang mundur selangkah, tampak lega. Di depannya, Sari pingsan tak sadarkan diri, kehabisan tenaga karena cobaan berat.
Ruangan itu menjadi sunyi, penuh dengan sihir gelap dan beban yang tidak diketahui.
FADE OUT.
INT. RUANG TAHTA - ISTANA ASTANA NUSA - MALAM
Jaka duduk di ruang singgasana megah, dikelilingi kehadiran Raja Airlangga, Penasihat Bhadara, Hulubalang Paraya, serta beberapa perwira. Suasana mencekam saat pertemuan perang tengah malam sedang berlangsung. Perdebatan sengit memenuhi udara.
PERWIRA #1
(meremehkan)
Ah, itu hanya gertak sambal saja! Kita punya Barong, Pelindung Agung yang telah berkali-kali mengalahkan Rangda, bukan?
PERWIRA #2
(menyela)
Tapi dimana Barong sekarang? Dia menghilang setelah gagal mencegah letusan Gunung Suci Idharma belasan tahun lalu!
Mpu Bhadara, Perdana Menteri dan Penasihat Agung Rainusa, angkat suaranya agar didengar.
MPU BHADARA
(beralasan)
Hanya karena Barong tak tentu rimbanya, bukan berarti kita harus menyerah begitu saja pada para tukang sihir itu.
PERWIRA #2
(menyela)
Lantas apa yang bisa kita andalkan untuk menandingi kekuatan sihir para Leyak?
Bhadara merespons dengan tekad.
MPU BHADARA
(percaya diri)
Kita punya tentara dan strategi untuk mengatasi strategi para Leyak. Tambahan pula, ada pasukan Kecak yang mampu menangkal kekuatan gaib mereka.
PERWIRA #3
(skeptis)
Tapi apa itu cukup? Siapa yang mampu mengimbangi Rangda?
Keheningan menyelimuti ruangan itu.
AIRLANGGA
(rendah hati, asertif)
Terus terang kami belum tahu. Tapi perlu kalian tahu, yang menyampaikan berita ini adalah mantan Ratu Sepuh, Ajnadewi.
Ruangan itu penuh dengan bisikan dan gumaman.
AIRLANGGA
(melanjutkan)
Tak hanya itu. Ratu Sepuh kembali dari tempat pertapaannya di Danau Tarub setelah dengan mata kepalanya sendiri dia melihat ulah Calon Arang. Maka, berdasarkan petunjuk Beliau, dengan ini aku, sebagai Raja Rainusa mengangkat I Nyoman Jaka sebagai pemimpin pasukan Kecak!
Napas tak percaya memenuhi ruangan. Komentar-komentar yang menggoda pun langsung bermunculan.
PERWIRA #4
(mennyindir)
Yang benar saja? Anak bau kencur itu?
PERWIRA #3
(ragu-ragu)
Dia tidak punya pengalaman memimpin pasukan!
PERWIRA #5
(mengejek)
Jangan-jangan Ratu Sepuh sudah pikun.
MPU BHADARA
(mendukung)
Aku yakin keputusan Yang Mulia dan Mantan Ratu sangat beralasan.
Seperti yang kalian lihat, usiaku sebaya dengan Ratu Sepuh.
Perjalanan dari Madangkara ke Rainusa nyaris merusak kesehatanku. Maka aku paham bila ada yang melakukan perjalanan seperti itu, aku butuh pemuda yang luar biasa kuat, sakti, sabar dan pemberani untuk menggendongku sepanjang perjalanan.
Jaka adalah pemuda seperti itu, maka dialah yang paling cocok memimpin Pasukan Kecak. Maafkan kelancangan hamba, Baginda.
AIRLANGGA
(menghargai)
Tak apa, Bhadara. Pernyataan langsung Anda lebih mudah diserap daripada kata-kata berbunga.
PARAYA
(mendukung)
Tidak ada alasan untuk menentang keputusan Yang Mulia. I Nyoman Jaka, maju dan terimalah titah Raja.
Jaka menghampiri majikannya sambil berlutut di hadapan Raja. Sebuah momen penting terungkap.
AIRLANGGA
(menyentuh bahu Jaka dengan kerisnya)
Dengan restu Sang Mahesa aku menunjukmu, Jaka menjadi pemimpin Pasukan Khusus Kecak. Berjuanglah dan patuhilah perintah Panglima Paraya. Nasib Rainusa ada di pundakmu.
JAKA
(masih membungkuk)
Daulat, Baginda.
Keringat dingin mengucur di sekujur tubuh Jaka. Hal yang paling dia khawatirkan akan terjadi lebih cepat dari yang dia harapkan.
FADE OUT.