Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
EVERNA Rajni Sari - Putri Penyihir dari Pulau Dewata
Suka
Favorit
Bagikan
10. Lastika - Bagian 2

EXT. CANDI KHARAYAN - SIANG

 

Suasana sedih sangat menyelimuti Pura Agung Kharayan. Para pelayat berbaris di jalan, kesedihan terukir di wajah mereka, saat jenazah mendiang Raja Marakata dibawa dalam prosesi besar, sebagai bagian dari upacara berkabung khas Rainusa yang disebut Ngaben. Sari dan Selir Lastika, di tengah lautan pelayat, berjalan khidmat di samping peti mati yang dipuja. Jalanan bergema dengan campuran isak tangis dan doa, sangat kontras dengan kemeriahan Festival Galungan.

 

Prosesi tersebut mencapai halaman candi, tempat api abadi Idharma menyala terang. Jenazah, yang diawetkan dengan rempah-rempah selama empat hari terakhir, ditempatkan di depan api suci untuk konsekrasi. Hati Sari sakit karena kesedihan, pikirannya dipenuhi kesadaran bahwa dia tidak akan pernah lagi menyaksikan senyum gembira ayahnya di akhir tariannya. Kenangan saat-saat mereka bersama menjadi harta berharga, terpatri jauh di lubuk hatinya, terlindung dari erosi waktu.

 

Bahkan Lastika yang selalu memancarkan kekuatan pun menangis saat upacara berlangsung. Namun saat matahari terbenam dan keluarga kerajaan mulai kembali ke istana, secercah cahaya kembali terlihat di wajah Lastika. Dia melingkarkan lengannya di bahu Sari, menawarkan kenyamanan dan kepastian. Dalam momen itu, terlihat jelas bahwa meski kehilangan sosok ayah, Sari tetap mendapat kasih sayang dan dukungan ibu kandungnya.

 

Kehadiran Lastika, pelukannya pada Sari menyiratkan sebuah pertanda penuh arti. Ini pertanda dimulainya babak baru dalam hidup Sari, sebuah jalan terbuka di tengah kesedihannya.

 

CUT TO:

 

 

INT. BALAIRUNG ISTANA ASTANA NUSA - SIANG

 

Suasana di aula istana mencekam, Lastika yang kini menjabat Wali Negeri Rainusa duduk nyaman di singgasana Istana atau Keraton Astana Nusa. Perasaan berkuasa dan pegang kendali terpancar dari dirinya saat dia menikmati makanan manis dan minuman memabukkan, dagunya terangkat dengan angkuh.

 

LASTIKA

(Memandang ke langit-langit, bukan ke lawan bicara)

Baiklah. Bebaskan Desa Huda Walu dari kewajiban membayar upeti pada kerajaan. Biar mereka pulih dulu dari bencana tanah longsor, lalu paceklik yang mungkin akan menyusul.

 

Seorang PEJABAT DAERAH laki-laki bersimpuh di hadapan Lastika dengan hati-hati, mencari kebijaksanaannya. Suaranya bergetar saat dia menanggapi titah Lastika.

 

PEJABAT DAERAH

Terima kasih atas kebijaksanaan Anda, Yang Mulia. Desa Huda Waru akan dibebaskan dari pembayaran upeti...

 

Lastika menyela dengan tajam, matanya menyipit penuh wibawa.

 

LASTIKA

Saya belum selesai. Tiga bulan dari sekarang, mereka harus membayar upeti dua kali lipat untuk menutup kekurangan upeti tiga bulan sebelumnya.

 

Pejabat itu terkejut dengan keputusan Lastika yang tidak terduga, kata-katanya tercekat di tenggorokan.

 

PEJABAT DAERAH

T-tapi, Raja Marakata tidak akan...

 

LASTIKA

Lancang! Raja sudah mangkat, dan saya memperbaiki peraturannya yang salah! Rakyat menjadi lembek dan manja! Tantang keputusanku sekali lagi, dan kepalamu akan hilang!

 

Pejabat itu mundur ketakutan, memberi hormat, dan segera keluar dari aula istana.

 

Sementara itu, Lastika menikmati kemewahannya dengan menggigit jeruk rai (jeruk bali ala Rainusa) sebelum membuangnya sembarangan. Seorang pelayan bergegas membersihkan buah yang jatuh, lalu pergi sebentar untuk membuang sampah.

 

Tak lama kemudian, seorang PRAJURIT berlutut di hadapan Lastika, ditemani utusan dari negeri tetangga Madangkara. Sikap Lastika berubah saat mendengar penyebutan Madangkara, wajahnya pucat.

 

PRAJURIT

Ampun beribu ampun, Yang Mulia. Hamba mengantar utusan dari Madangkara yang hendak menyampaikan surat penting.

 

Rasa penasaran Lastika diwarnai rasa kesal.

 

LASTIKA

Ini mungkin surat belasungkawa, seperti surat lainnya.

Saya akan membacanya nanti.

 

UTUSAN MADANGKARA

Maafkan ketidaksopanan hamba, Yang Mulia, namun isi surat ini lebih dari sekedar belasungkawa. Mengabaikannya akan mengundang kemurkaan Madangkara.

 

Dengan enggan, Lastika membuka gulungan yang tertulis di daun lontar itu dan membaca isinya. Wajahnya menjadi pucat sesaat, menyadari implikasinya.

 

LASTIKA

Utusan Madangkara! Kapan rombongan Raja Airlangga tiba di Danurah?

 

UTUSAN MADANGKARA

Besok, Yang Mulia.

 

LASTIKA

Hulubalang Paraya!

 

I PUTU PARAYA,Hulubalang kawakan dan Panglima Tentara Kerajaan, berlutut di hadapan Lastika.

 

LASTIKA

Siapkan sambutan kenegaraan untuk Raja Airlangga! Semuanya harus siap saat matahari terbit besok! Ini masih dalam masa berkabung, jadi tak perlu hiasan apa pun!

 

Hulubalang Paraya menerima perintah itu tanpa bertanya.

 

PARAYA

Hamba laksanakan, Yang Mulia.

 

Paraya bergegas keluar dari balairung untuk melaksanakan tugas berat yang ada.

 

LASTIKA

Demikian jawaban Rainusa. Silakan laporkan pada Rajamu.

Sekian pekerjaan untuk hari ini.

 

Lastika berdiri dengan tiba-tiba dan sigap keluar dari ruang singgasana, pikirannya dipenuhi beban manuver politik dan tantangan yang ada di depan mata.

 

CUT TO:

 

 

INT. RUMAH LASTIKA - SIANG

 

Lastika dengan perasaan terdesak memasuki rumah lamanya yang terletak di lingkar luar kompleks Keraton Astana Nusa. Dia memanggil SARI, suaranya bergema di ruang kosong.

 

LASTIKA

Sari! Sari!

 

Tidak ada tanggapan. Keheningan semakin mendalam, membenarkan bahwa Sari sedang tidak ada di rumah. Wajah Lastika menegang karena khawatir dan cemas.

 

Ia tahu, karena posisinya sebagai Wali Negeri, ia dan Sari tidak bisa serta merta masuk ke lingkaran dalam istana. Mereka harus menunggu sampai masa berkabung selesai sebelum tempat tinggal mereka dapat diatur. Namun kini, mimpi itu tampaknya sudah tidak mungkin tercapai.

 

Waktu adalah hal yang sangat penting. Lastika dengan sigap mengemas beberapa pakaian dan mengumpulkan sejumlah uang. Dia berganti ke pakaian berkabung yang usang, lalu menutupi kepala dan sebagian wajahnya dengan tudung abu-abu. Lastika meluangkan waktu sejenak untuk menulis surat dan menyelipkannya di sela-sela lipatan kipas Sari. Selain dipakai menari, kipas itu juga dapat berfungsi sebagai senjata, jadi Sari pasti akan melihatnya bila ia butuh untuk pergi ke suatu tempat.

 

Di depan pintu, Lastika menatap ke kejauhan, matanya mencari tanda-tanda kembalinya Sari. Sayangnya, putrinya tidak terlihat. Air mata mengalir di mata Lastika saat dia menghadapi kenyataan yang menyakitkan.Dengan berat hati, dia meninggalkan rumahnya, tempat yang menyimpan kenangan indah. Selangkah demi selangkah, Lastika berjalan pergi, meninggalkan pekarangan istana dan putri kesayangannya. Dia meninggalkan segalanya, didorong oleh keadaan di luar kendalinya.

 

FADE OUT.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Elastika
10 bulan 2 minggu lalu