Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
EVERNA Rajni Sari - Putri Penyihir dari Pulau Dewata
Suka
Favorit
Bagikan
28. Ajnadewi - Bagian 3

EXT. DANAU TARUB - PAGI

 

Perahu meluncur melintasi perairan Danau Tarub yang tenang, menuju celah pegunungan yang menjadi pintu gerbang menuju Lembah Pohon Tengkorak.

 

Jaka, sebagai laki-laki, bertugas mendayung perahu, otot-ototnya menegang setiap kali mendayung. Ni Dyah, anggota tertua kelompok, duduk di tengah sambil memberikan bimbingan dan arahan. Duhita, si burung jalak mutan, melayang di atas mereka, matanya yang tajam mengamati sekeliling dengan ketelitian seperti elang.

 

Sari duduk di dekat haluan perahu, wajahnya tegang karena emosi yang campur aduk. Pikirannya melayang antara ibunya dan Jaka. Dia merenungkan kemungkinan untuk kembali, meninggalkan perjalanan dan mencari kenyamanan dalam keakraban. Namun kerinduan yang tak terpuaskan terhadap ibunda tercinta membuncah dalam diri, mengalahkan rasa cintanya pada Jaka. Kerinduan inilah yang mengobarkan tekad Sari untuk tetap berada di jalurnya dan tetap memusatkan pandangannya pada tujuannya.

 

Sejauh ini belum ada gangguan dari ikan mutan maupun kendala lainnya. Srisari Suci dan Isyana, meski tidak aktif mendukungnya, juga tidak menghalangi usahanya. Jalan ke depan masih terbuka, setidaknya untuk saat ini.

 

Tanpa sepengetahuan Sari, perahu itu mendekati ambang celah gunung, menjulang di tepi danau. Meski mencolok, hal ini tidak diselimuti kerahasiaan. Pengakuannya sebagai pintu masuk ke Lembah Pohon Tengkorak terlihat jelas. Menjelajah lebih jauh berarti berpotensi jatuh ke dalam perangkap mematikan, yang dibuat oleh mereka yang ingin menjaga wilayah kekuasaannya.

 

Setelah perahu berlabuh, rombongan turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati celah tersebut.

 

DUHITA

(enteng)

Tak ada jebakan atau penyergap di atas tebing, sejauh yang

 kulihat.

 

DYAH

Tapi pasti ada yang mengawasi kita tanpa kita lihat atau rasakan. Sepertinya para Leyak sudah mengetahui kedatanganmu, Sari. Jangan heran kalau ada pasukan di ujung celah sana.

 

Wajah Sari bersinar karena kegembiraan.

 

SARI

(dengan penuh semangat)

Oh, baguslah. Aku jadi bisa lebih cepat bertemu Ibu dan memperkenalkan Jaka padanya.

 

Sari terdiam seketika ketika menyadari ekspresi Jaka yang tegang.

 

DUHITA

(bernada)

Demi keselamatan kita, mungkin sebaiknya Jaka menunggu di perahu.

 

JAKA

(menentang)

Tidak. Aku akan tetap berada di sisi Sari, apa pun yang terjadi.

 

Rasa syukur dan kasih sayang Sari terpancar saat ia menggandeng tangan Jaka. Mereka berjalan beriringan, mendapatkan kekuatan dari kehadiran satu sama lain.

 

Ni Dyah menghela nafas, campur aduk antara khawatir dan pasrah.

 

NI DYAH

(suara hati)

Akankah Sang Srisari terus mendukung kami?

Apakah mukjizat Sang Mahesa akan terjadi lagi?

Atau malah datang cobaan terberat Sang Angkara?

 

Kelompok tersebut melanjutkan perjalanan, nasib mereka tergantung pada keseimbangan, saat mereka menjelajah lebih jauh ke wilayah yang tidak diketahui di Lembah Pohon Tengkorak.

 

CUT TO:

 

 

EXT. KELUAR DARI CELAH GUNUNG - SIANG

 

Prediksi Ni Dyah terbukti tidak akurat karena Sari dan rombongan muncul dari celah sempit. Alih-alih disambut oleh para Leyak, mereka malah disuguhi pemandangan lembah yang menakjubkan, dikelilingi pegunungan yang megah.

 

Sari terkagum-kagum, asumsi awalnya hancur. Lembah yang menjadi bukti keindahannya, dihiasi pepohonan, semak belukar, dan padang rumput yang subur. Bahkan telaga yang tenang pun berkilauan di dekatnya, melebihi kemegahan Danau Tarub, sebagaimana dinubuatkan Ni Dyah.

 

Semakin dekat ke tempat tujuan, Sari berjalan bergandengan tangan dengan Jaka, sementara Duhita menopang Ni Dyah yang berjalan tak kenal lelah sejak melewati tebing. Ada jejak yang jelas di depan, membuat Jaka dan Sari mengikuti tanpa protes. Tiba-tiba, beberapa sosok perempuan mengepung kelompok tersebut, menyebabkan mereka terhenti. Merasakan situasi tersebut, Ni Dyah memposisikan dirinya di garda depan.

 

NI DYAH

(berbicara kepada para Leyak)

Kami hanya ingin berkunjung. Gadis di belakangku itu hanya ingin bertemu ibunya yang adalah anggota kalian, itu saja!

 

LEYAK

(berpakaian indah bak bidadari)

Kami tahu. Sang Ratu memerintahkan kami mengawal kalian ke desa.

 

NI DYAH

Silakan, kami tak akan melawan.

 

Rombongan Sari berjalan dalam satu barisan, diapit oleh dua Leyak di setiap sisinya. Dengan dua Leyak memimpin dan dua mengikuti di belakang, mereka tampak lebih seperti tahanan daripada tamu.

 

Meski pengaturannya terasa membatasi, pakaian Leyak yang semarak dan tidak adanya niat jahat memberikan sedikit penghiburan di hati Sari. Ditambah dengan pemandangan lingkungan sekitar yang indah, kekhawatiran awalnya tentang lembah berubah total.

 

Anehnya, perhatian Sari tertuju pada apa yang ada di bawah setiap pohon—tumpukan tengkorak manusia yang tersusun rapi.

 

SARI

(beralih ke Ni Dyah)

Apa arti tumpukan tengkorak di bawah pepohonan?

 

NI DYAH

Perlu kau tahu, di lembah inilah orang Rainusa mula-mula tinggal.

 

SARI

(bingung)

Maksud Nenek?

 

NI DYAH

(menjelaskan)

Di masa lalu, ketika dunia kita, Vanapada, sedang dipulihkan, nenek moyang kita hijrah untuk menempati seluruh dunia. Ras kita yang disebut Antasara semula menempati Pulau Jayandra saja. Lalu beberapa suku yang berbeda-beda hijrah dan tersebar di seluruh Kepulauan Antapada, termasuk Rainusa.

 

Jaka dan Duhita yang berjalan di depan dan di belakang mendengarkan dengan penuh perhatian.

 

NI DYAH (LANJUTAN)

Pada masa itu, dunia masih liar dan belum pulih benar.

Bencana alam terlalu sering terjadi, hewan-hewan buas merajalela. Terpaksa nenek moyang kita memilih tempat terpencil namun paling aman ini untuk jadi pemukiman pertama.

 

JAKA

(ingin tahu)

Lalu apa hubungannya dengan tengkorak di bawah pohon?

 

NI DYAH

(tersenyum)

Suku mula-mula yang disebut Rai Aga mengembangkan kebiasaan penguburan yang unik. Dipandu oleh duta Sang Srisari, Rai Aga meyakini bahwa kehidupan berasal dari tanah dan berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Mereka menguburkan jenazah di dekat pohon, membiarkan tubuh dan jiwa bersatu kembali dengan asal usul alami mereka, yaitu tanah dan tumbuhan.

 

Duhita menyela.

 

DUHITA

(ingin tahu)

Tapi bagaimana dengan kepala yang terpenggal?

 

NI DYAH

(tersenyum)

Kepala yang terpenggal berfungsi sebagai penanda kuburan. Begitu mereka membusuk dan berubah menjadi tengkorak, itu menandakan bersatunya kembali mayat tersebut dengan alam. Almarhum hanya akan hidup dalam catatan dan kenangan.

 

SARI

(bingung)

Mengapa tradisi Rainusa berbeda dengan Rai Aga?

 

NI DYAH

(menjelaskan)

Itu karena Suku Rai Aga sudah terlalu besar sehingga lembah ini terlalu padat. Lantas sebagian besar dari mereka merantau, menyebar sampai ke pelosok-pelosok Rainusa.

Lalu duta Sang Angkara bernama Rangda menguasai lembah ini, menjadikannya tempat bercokol kaumnya, kaum Leyak.

Suku Rai Aga terusir dan terpaksa berbaur dengan suku-suku lain. Jadi, hanya kaum Leyak yang mewarisi kebudayaan Rai Aga.

 

Duhita merenung lebih jauh.

 

DUHITA

(penasaran)

Bagaimana dengan Barong, musuh bebuyutan Rangda?

 

NI DYAH

(muram)

Jangan membahas tentang itu di sini.

Lagipula kita sudah hampir tiba.

 

Saat mereka melanjutkan perjalanan, pandangan Sari tertuju pada sekelompok rumah panggung kayu yang terletak di tengah pepohonan yang menjulang tinggi. Setiap pohon mempunyai tumpukan tengkoraknya sendiri. Uniknya, rumah yang dikenal dengan sebutan Jineng ini dibangun langsung di atas tanah, bukan di dahan pohon.

 

Mata mengikuti Sari dan teman-temannya saat mereka melintasi desa. Alis berkerut dan gumaman memenuhi udara. Seruan seorang Leyak menusuk, menyerukan kematian semua manusia, mencapnya sebagai penistaan.

 

Leyak lainnya turun tangan, memarahi pelaku.

 

LEYAK

(menegur)

Jaga mulutmu! Kalau yang datang adalah utusan Kerajaan, apakah kau akan membunuhnya di tempat? Itu berarti mengundang perang ke daerah kita! Pikir dulu sebelum bicara!

 

Sari melirik Ni Dyah dengan cemas, mencari petunjuk. Ni Dyah sambil mengangkat telapak tangan, diam-diam memberi isyarat kepada Sari agar tetap bersabar dan tidak menyerah pada provokasi.

 

Akhirnya, mereka mencapai bangunan termegah di Lembah Pohon Tengkorak—Bale Gede, rumah adat Rainusa. Tanpa Leyak yang mengawal, Jaka pasti sudah dikerumuni.

 

Sari menoleh ke arah Ni Dyah yang menghindari kontak mata, butiran keringat mengucur di keningnya. Suasana kegelisahan terasa jelas.

 

Saat Sari memasuki Bale Gede, dia merasakan suara-suara itu mulai pelan. Matanya bertatapan dengan wajah familiar—ibunya, Lastika. Dalam sekejap, Lastika memeluk Sari dengan erat. Air mata mengalir di wajah mereka berdua, mengungkapkan ikatan ibu-anak yang tak tergantikan.

 

SARI

(mata yang berkaca-kaca)

Ibu...

 

LASTIKA

(sungguh-sungguh)

Ah, akhirnya kau datang, Sari, putriku tersayang!

Ibu rindu sekali padamu!

 

Diliputi oleh emosi, Sari menempel pada ibunya, menyampaikan kedalaman perasaannya tanpa kata-kata.

 

Lastika kemudian mengalihkan perhatiannya ke teman Sari—Jaka, Duhita, dan Ni Dyah. Dia melepaskan Sari dan menghampiri Ni Dyah.

 

LASTIKA

(menggoda)

Rupanya ibu mertuaku yang mengantarkan cucunya kemari.

Kau sungguh bernyali, hei mentan Ratu Rainusa, Ajnadewi!

 

Mata Sari membelalak tak percaya, pikirannya berusaha keras memproses pengungkapan fakta yang tak terduga itu.

 

CUT TO:


Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar