Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
EXT. RUMAH LASTIKA - SIANG
Sari keluar dari rumahnya, bersiap menemui Jaka, namun mendapati Jaka berdiri di depan pintu rumahnya. Wajah Jaka yang muram menimbulkan kekuatiran.
SARI
(terkejut)
Apa yang terjadi, Jaka?
Ekspresi Jaka tetap muram saat menyampaikan kabar tersebut.
JAKA
Tuan Putri diminta datang ke kamar utama istana.
Yang Mulia Raja sakit beberapa hari ini. Tak seorang pun tahu penyakit apa yang beliau derita. Tabib kerajaan telah memberi pengobatan terbaik, tetapi kondisi Yang Mulia Raja malah tambah parah. Baru tadi aku tahu Yang Mulia tak tertolong lagi dan mungkin akan segera meninggalkan dunia ini.
Air mata menggenang di mata Sari ketika kenyataan nasib ayahnya yang akan datang menimpanya.
SARI
(dengan menangis)
Astaga, Ayahanda... Pantas saja akhir-akhir ini Ibunda sibuk merawatnya dengan setia. Tapi tetap saja...
Kata-kata Sari terhenti, diliputi emosi. Air mata mengalir di wajahnya tak terkendali. Jaka secara naluriah mengulurkan tangan untuk menyeka air matanya, namun ragu-ragu, menghargai kebutuhan Sari untuk memproses perasaannya. Menunggu hingga Sari siap menghadapi kenyataan.
Jaka tetap diam, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan di hadapannya yang diam.
CUT TO:
EXT. KAMAR TIDUR RAJA - SIANG
Langkah Sari terasa berat saat ia memasuki kamar tidur Raja, tatapannya tertuju pada sosok yang terbaring lemah di atas tempat tidur mewah berukir emas. Raja Rainusa, Marakata, yang dahulu bersemangat, kini tampak lebih tua dari usianya—kulit pucat, kerutan dalam di wajahnya, dan tubuh yang lemah dan kurus. Lastika, ibu Sari, berlutut di sampingnya, air mata berkaca-kaca namun ekspresinya tenang. Ratu dan Putra Mahkota berdiri di dekatnya, menangis dengan sedihnya.
MARAKATA
(lemah)
Lastika, sejak pertama kita bertemu, kau selalu memukauku dengan kecantikan, kecerdasan, dan ketegaran hati tiada tara. Itulah yang membuatku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama.
Suara Raja bergetar, berjuang untuk mempertahankan kekuatannya.
MARAKATA
(masih lemah)
Sayang, statusmu yang bukan bangsawan tak memungkinkan dirimu menjadi permaisuri, apalagi ratu. Karena itulah, demi rakyat aku menunjukmu, Lastika sebagai Wali Negeri sementara. Kau harus memerintah negeri dan membimbing Putra Mahkota Ardani sampai dia cukup matang untuk menjadi penggantiku. Setelah Ardani menjadi raja, kau berhak mendampinginya sebagai penasihat.
Ekspresi Lastika tetap tidak berubah, air matanya mengalir deras saat dia menjawab dengan tekad yang tak tergoyahkan.
LASTIKA
(dengan menangis)
Hamba bersumpah akan melaksanakan kehendak Yang Mulia sebaik-baiknya.
Suara Marakata semakin melemah, kata-katanya kini pelan dan berat.
MARAKATA
(berjuang)
Baguslah, kini... sebagian beban jiwaku...
terangkat sudah. Dimana Rajni Sari?
Sari, yang berdiri di ambang pintu, merespons dengan suara gemetar.
SARI
(dengan menangis)
Hamba di sini, Yang Mulia.
Senyum tipis dan lemah menghiasi wajah sang Raja.
MARAKATA
(lelah)
Kecuali Sari, kalian semua... tinggalkan... ruangan ini...
Protes Ratu Ratna, kesedihannya terlihat jelas dalam suaranya.
RATNA
(menangis)
Tapi, Yang Mulia, saya dan Putra Mahkota harus tetap di sini.
MARAKATA
(tegang secara emosional)
Berani... menentangku?
Suara Marakata meninggi, penuh emosi dan ketegangan, menyebabkan dia terbatuk-batuk hebat, lalu tangannya berlumuran darah.
RATNA
(takut)
Hamba tak berani.
Dengan berat hati, Ratna mundur, memahami konsekuensi menantang keinginan Raja. Lastika, Ratna, Ardani, dan para pelayat lainnya dengan enggan meninggalkan ruangan, kesedihan mereka terlihat jelas. Sari tetap terpaku, pandangannya tertuju pada ayahnya yang sekarat.
Setelah hening beberapa saat, Marakata berbicara, suaranya nyaris berbisik.
MARAKATA
(lemah)
Mendekatlah... Sari...
Sari mendekati ayahnya, berlutut di sampingnya saat ayahnya berbaring di tempat tidur. Nafas Marakata menjadi tidak teratur, kulitnya membiru karena beban emosional.
Mata Marakata yang memudar tertuju pada mata Sari, senyuman lemah terbentuk.
MARAKATA
(tegang)
Kau secantik... ibumu, Sari. Tapi kau berbeda... darinya.
Ibumu... tegar dan tangguh, tapi kau... tulus dan... lembut.
Tangan Marakata yang gemetar membelai wajah Sari sambil memegangnya dengan lembut, air mata pun mengalir deras.
SARI
(melalui air mata)
Ayahanda, jangan tinggalkan aku. Aku masih ingin menghibur Ayahanda dengan tarianku.
MARAKATA
(bisikan)
Ayah tahu... kau menyayangi Ayah. Kau berlatih keras, menari hingga sempurna... demi Ayah. Maafkan Ayah... yang kurang... memperhatikanmu selama ini. Ayah harus... menyiapkan Ardani... karena dialah yang akan... menanggung beban takhta...
Mata Sari menyipit, menunggu kata-kata terakhir ayahnya. Tubuh Marakata gemetar tak terkendali, nafasnya semakin berat.
MARAKATA
(bisikan)
Sepanjang hidupku... saat paling bahagia bagiku adalah... saat menyaksikan... tarianmu. Saat itulah Ayah sadar... dunia kita... negeri kita ini... begitu indah. Dan segala keindahan itu... terpusat pada dirimu... dan terpancar lewat tarianmu...
Karena itulah Sari, teruslah menari. Sebarkan keindahan dan kedamaian sejati... ke seluruh negeri. Luluhkan hati... setiap insan... seperti kau telah... meluluhkan hati Ayah.
Diiringi satu embusan napas terakhir, Marakata menutup mata untuk selamanya. Tangannya yang tadi membelai wajah Sari jatuh lunglai, tiada lagi daya yang tersisa. Raja Marakata telah mangkat.
Air mata Sari mengalir deras saat ia menempel pada tubuh ayahnya yang dingin dan tak bernyawa, tangisnya menggema di seluruh ruangan.
SARI
(menangis sejadi-jadinya)
Ayah! Jangan tinggalkan aku! Masih banyak tarian yang ingin kutunjukkan pada Ayah! Andai aku lebih sering tampil, Ayah takkan sakit sampai begini, bukan? Ayah!
Wajah Sari terbenam di dada ayahnya, diliputi kesedihan. Suara ratapan memenuhi ruangan sementara yang lain ikut berduka, tapi Selir Lastika, dengan ekspresi tabah, tetap berada di ambang pintu, senyum tipis terlihat di bibirnya, tanpa disadari oleh yang lain.
CUT TO: