Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
EVERNA Rajni Sari - Putri Penyihir dari Pulau Dewata
Suka
Favorit
Bagikan
7. Jaka - Bagian 1

EXT. DAERAH ISTANA - SIANG

 

Matahari memancarkan sinarnya yang menyinari halaman istana, sangat kontras dengan kegelapan masa lalu Rainusa. Sari berdiri di gerbang depan, kegembiraannya terlihat jelas. Hari ini adalah Festival Galungan, sebuah perayaan akbar yang memperingati kekalahan Mayadenava, sang Iblis Langit.

 

LASTIKA

(Dengan nada muram)

Pada Zaman Pemulihan, kala segala sesuatu di Antapada kembali tercipta setelah Zaman Es berakhir, Rainusa pernah jadi pulau penuh kegelapan bagai neraka dunia.

 

Sari menyimak dengan seksama ibunya, Lastika, melanjutkan ceritanya.

 

LASTIKA (LANJUTAN)

Sesosok raksasa maha sakti, Iblis Langit Mayadenawa pernah menguasai Rainusa.

 

Mata Sari melebar penuh harap.

 

LASTIKA (LANJUTAN)

Sebagai reaksi, Sang Mahesa dan Sang Srisari mengutus duta cahaya, yaitu Barong, Singa Suci Dewata, ke Rainusa. Sang Angkara pun mengutus dutanya, Rangda membantu Barong.

 

Bayangan terlintas di benak Sari, membayangkan perjalanan Barong yang luar biasa.

 

LASTIKA (LANJUTAN)

Setelah cukup dewasa, Barong bergabung dengan Rangda dan bentrok dengan Iblis Mayadenwa. Sang iblis semula unggul. Namun tiap kali kalah, Barong dan Rangda belajar dari kekalahan itu dan jadi semakin kuat.

 

Kegembiraan Sari mencapai puncaknya saat ia membayangkan pertempuran epik antara Barong, Rangda dan Mayadenawa.

 

LASTIKA (LANJUTAN)

Akhirnya, Barong dan Rangda muncul sebagai pemenang, menyegel Mayadenava di Pintu Lubang Hitam. Rangda memilih hidup menyendiri, sedangkan Barong menjadi pelindung besar tanah Rainusa. Festival Galungan diadakan untuk memperingati peristiwa penting ini. Jasa Barong tak perlu dibesar-besarkan sampai perlu diperingati, karena itulah Bunda tak pernah menghadiri Festival Galungan. Tahun ini pun akan begitu.

 

Ekspresi Sari berubah, sedikit keraguan di matanya.

 

SARI

Tapi aku ingin ikut, Bunda.

 

LASTIKA

(Tersenyum)

Tidak apa-apa, sayangku. Kau boleh pergi. Kau bisa mewakili Bunda di sana.

 

Wajah Sari berseri-seri karena rasa syukur.

 

SARI

Asyik! Terima kasih Bunda!

 

Sari mencondongkan tubuh dan mencium pipi Lastika, lalu dengan sigap berjalan keluar rumah menuju gerbang depan istana. Dia tidak boleh melewatkan prosesi keluarga kerajaan, sangat ingin memanfaatkan kesempatanseperti ini: meninggalkan kompleks istana tanpa perlu menyamar.

 

CUT TO:

 

 

EXT. KOMPLEKS ISTANA - GERBANG DEPAN - SIANG

 

Sari muncul dari dalam istana, energi mudanya terpancar. Dia melihat ke depan, ada kilauan di matanya. Kemegahan Festival Galungan menantinya, mengundangnya untuk ikut merayakannya.

 

SARI

(Berbisik pada dirinya sendiri)

Hari ini, aku akan merasakan keajaiban Rainusa, di luar istana. Ini hari paling indah dalam setahun!

 

Dengan tekad dalam langkahnya, Sari berangkat, hatinya dipenuhi kegembiraan. Entah petualangan apa yang menantinya.

 

CUT TO:


 

EXT. FESTIVAL GALUNGAN - JALAN - SIANG

 

Suasana meriah Festival Galungan menyelimuti Sari saat ia berjalan di belakang rombongan keluarga kerajaan. Ia sengaja memposisikan dirinya di sana agar memiliki kebebasan mengamati jalanan yang ramai. Masyarakat Rainusa mengenakan pakaian songket warna-warni sambil membawa keranjang berhiaskan buah-buahan dan bunga.

 

Prosesi menuju Kuil Agung Kharayan, jantung pengabdian Rainusa, terletak di dekat lereng Gunung Idharma yang megah. Memang perjalanan memakan waktu beberapa jam dengan berjalan kaki, namun lambatnya rombongan di bawah terik matahari membuat perjalanan terasa berat. Hanya Raja, Ratu, dan Putra Mahkota yang bisa berteduh dari panas saat mereka menaiki kereta bertenda yang dihiasi payung besar berwarna-warni.

 

Saat mereka melewati pasar yang ramai, wajah Sari bersinar gembira. Kerutan di wajahnya yang disebabkan oleh panas matahari yang tak henti-hentinya berubah menjadi ekspresi ceria. Matanya melirik ke sekeliling, terpikat oleh segudang kenikmatan yang mengelilinginya — permen kapas yang dipintal menjadi awan halus, mainan yang menghadirkan kegembiraan di wajah anak-anak, sayuran dan buah-buahan cerah yang melimpah dari keranjang, dan kain batik rumit khas Rainusa, masing-masing bagiannya a karya agung itu sendiri.

 

Namun di tengah perayaan, perhatian Sari tiba-tiba tertuju pada pertukaran gerak tubuh yang mencurigakan antara seorang pria dan dua orang lainnya di dekat kios buah. Dia mengamati dengan penuh perhatian, instingnya kesemutan karena kegelisahan. Dalam sekejap, kecurigaannya terkonfirmasi ketika sekelompok pria bersenjata, sedikitnya berjumlah tujuh orang, menerobos kerumunan dan menyerang prosesi Raja.

 

Menyadari gawatnya situasi, Sari langsung bertindak, suaranya terdengar seperti peringatan putus asa dan sekenanya.

 

SARI

Awas! Pembunuh!

 

Salah satu pembunuh dengan cepat berbalik ke arah Sari, mengayunkan parang ke lehernya. Dengan ketangkasan yang luar biasa, Sari menghindari serangan itu, berputar di tempat dengan anggun. Kipasnya, yang digunakan untuk mengusir panas, tiba-tiba menjadi senjatanya. Dia membukanya, menyalurkan kekuatan batinnya, dan hembusan angin kencang mendorong si pembunuh, menyebabkan dia menabrak tumpukan jeruk di kios terdekat.

 

Tidak terpengaruh, Sari terus maju, tekadnya pantang menyerah. Pembunuh lain menyerangnya dengan parang, mengincar dadanya. Bereaksi dengan cepat, Sari menggunakan kipasnya sekali lagi, memegangnya erat-erat dan memasukkan energi internalnya ke dalamnya. Saat dia menghindar ke samping, dia memberikan serangan kuat ke pelipis lawannya, membuatnya tidak bergerak.

 

Saat perhatiannya tertuju pada Raja Marakata, Sari menyaksikan momen mengerikan. Bilah belatinya beberapa inci lebih dekat ke leher Raja, siap untuk menyerang. Kepanikan membanjiri dirinya, tapi sebelum dia bisa bereaksi, sebuah batu terbang membelokkan jalur belati, menyelamatkan nyawa Raja.

 

Bahayanya belum berakhir. Pembunuh itu mencoba menusuk lagi, tapi tendangan cepat dan kuat ke ulu hati membuatnya terkapar ke tanah.

 

Tatapan Sari beralih, melihat para pembunuh lainnya tergeletak dalam genangan darah, berkat para penjaga istana. Namun seorang pembunuh tetap berdiri, matanya dipenuhi keputusasaan seperti binatang yang terpojok. Dia terpaku pada seorang pemuda yang berdiri di hadapannya, dengan tangan kosong namun tangguh.

 

JAKA

Mau membunuh Raja? Langkahi dulu mayatku!

 

PEMBUNUH

Dasar bodoh! Semua orang tahu Marakata tak pantas menjadi Raja! Biar Rainusa ganti raja baru saja!

 

Pembunuh itu mengacungkan kerisnya sekali lagi, niatnya jelas. Namun pemuda nakal itu, yang didorong oleh tekad, menolak untuk menyerah.

 

JAKA

Andai Raja baru juga tak memuaskan, apa kalian lantas membunuh dia dan menggantinya lagi? Pengacau seperti kalianlah yang harus kulenyapkan!

 

PEMBUNUH

Tidak jika aku melenyapkanmu lebih dulu!

 

Belati itu diarahkan ke dada si nakal, tapi dengan refleks secepat kilat, dia menghindari serangan itu. Namun tindakannya tidak berhenti di situ. Dalam pertunjukan keterampilan dan kekuatan yang menakjubkan, bajingan itu dengan cepat bermanuver di belakang si pembunuh, telapak tangannya menekan kepala si pembunuh. Sebuah retakan bergema di udara saat dia mematahkan leher si pembunuh, mengakhiri ancamannya.

 

Saat Sari dan rombongan lainnya menyaksikan, dengan campuran rasa kagum dan gentar di wajah mereka, pandangan bajingan muda itu tertuju pada Raja Marakata, ekspresinya muram dan dipenuhi penyesalan.

 

MARAKATA

Terima kasih telah menyelamatkan nyawaku, anak muda.

Tapi mengapakau malah muram?

 

Bajingan muda itu dengan cepat berlutut di hadapan Raja, menunjukkan rasa hormat yang tinggi.

 

JAKA(LANJUTAN)

Ampun, Baginda. Hamba tak berani lancang. Hamba baru sadar telah melakukan kesalahan.

 

MARAKATA

Apa maksudmu?

 

JAKA(LANJUTAN)

Hamba tak tahu pembunuh tadi adalah yang terakhir.

Seharusnya hamba meringkusnya dan menanyainya dulu.

Kini kita jadi tak tahu siapa dalang kejadian ini.

 

Rombongan berhenti sejenak saat Raja Marakata berbicara kepada jawara yang menyelamatkan nyawanya. Sari, yang masih belum pulih dari intensitas situasi, memperhatikan dengan napas tertahan.

 

RAJA MARAKATA

Benar katamu. Kau masih muda, wajar saja kau gegabah.

Biarlah itu pelajaran buatmu supaya lebih tenang lain kali.

Tapi, kau telah berjasa besar. Ikutlah rombongan kami.

Siapa namamu, anak muda?

 

JAKA

Namaku I Nyoman Jaka, Yang Mulia.

 

RAJA MARAKATA

Nama yang umum dan sederhana.

Siapa yang menamaimu? Ayahmu? Ibumu?

 

JAKA

Aku tak tahu, Yang Mulia. Aku tak ingat masa kecilku. Orang tua angkatku adalah sepasang petani tua yang kini telah tiada. Aku datang ke ibu kota untuk merantau. Karena kurang beruntung, aku terpaksa menjadi jawara penjaga keamanan pasar.

 

Senyuman lembut tersungging di wajah Raja saat mendengarkan perkataan Jaka.

 

RAJA MARAKATA

Nasibmu tak jauh beda dengan kebanyakan rakyat jelata lainnya.

Untuk keluar dari jeratan nasib, seseorang harus berusaha lebih keras, lebih cerdas, dan lebih berani daripada orang lain.

Karena itulah, sebagai teladan bagi rakyat, kuangkat I Nyoman Jaka menjadi pengawal pribadiku. Bersumpah setialah padaku.

 

Jaka berdiri tegak, rasa syukur terpancar dari matanya saat menanggapi titah Raja.

 

JAKA

Terima kasih, Yang Mulia. Terimalah sumpah setiaku.

 

Sari terengah-engah, rasa penasarannya terusik. Saat Jaka bersiap bergabung dengan rombongan pengawal itu, ia menoleh ke arah Sari, senyumnya menawan hati Sari. Campuran emosi berputar-putar dalam dirinya—kekaguman atas keberanian pria itu, intrik tentang niat sebenarnya. Sari tahu dia harus menggali lebih dalam, mengungkap rahasia di balik senyuman itu.

 

CUT TO:

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar