Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
WHEN WE TALK WHAT A LOVE IS
Suka
Favorit
Bagikan
24. Bagian 24
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

104. E/I. BUS — CONTINUOUS 104

 

Musik sedih mengalun.

 

Rako dan Sephia berbagi earphone. Mendengarkan musik dari handphone.

 

We close to: Tangan mereka bersentuhan.

 

Rako menggerak-gerakkan jarinya. Tapi ia ragu ingin menggenggam tangan Sephia.

 

Sephia tersenyum. Ia lalu berinisiatif mengambil tangan Rako dan menggenggamnya.


105. EXT. JALANAN — CONTINUOUS 105

 

OMITTED


106. EXT. TAMAN — CONTINUOUS 106

 

OMITTED


107. INT. RUSUNAWA — CONTINUOUS 107

 

Musik sedih perlahan berhenti. Rako dan Sephia berdiri menunggu lift. Mereka terus bergandengan tangan.

 

Lift berhenti. Pintunya membuka. Beberapa orang keluar. Dua di antaranya orang tua Sephia.

 

Ahmad dan Haryati keluar.

 

Rako tersenyum canggung ke Ahmad dan Haryati.

 

Haryati tersenyum ramah ke Rako. Sedangkan Ahmad bersikap datar.

 

Sephia yang mengetahui keberadaan orang tuanya tersenyum senang ke mereka.


108. INT. UNIT SEPHIA — CONTINUOUS 108

 

Rako, Ahmad, dan Haryati duduk. Sementara Sephia menyediakan jamuan makan. Suasananya canggung.

 

Rako menatap Sephia khawatir. Sementara Haryati memberikan pandangan ke Rako untuk tidak mengkhawatirkan Sephia.

 

Pekerjaan Sephia akhirnya selesai. Dia pun duduk di kursi di sebelah Rako.

 

Ahmad makan lebih dulu.

 

SEPHIA

(Ke orang tuanya)

Jadi, Ibu sama Bapak nggak ke toko?

 

Ahmad berhenti menyuap makanan ke mulutnya. Ia lalu menoleh ke Haryati.

 

HARYATI

Sengaja. Kan ibu sama bapak ada undangan di tempatnya Pakde Warso. Itu, yang kios deket ibu lagi hajatan.

 

Sephia menganggukkan kepala. Sementara Ahmad terus bersikap masam.

 

Ahmad akhirnya tak tahan. Dia meletakkan sendok.

 

Sementara Rako dan Sephia yang belum menyentuh makanan sama sekali mengarahkan pandangan ke Ahmad.

 

AHMAD

Terus kalian dari mana?

 

SEPHIA

Ke tempat orang tua Rako, Pak.

 

Haryati menghela napas. Sembari menatap ke suaminya. Tatapan Haryati ke Ahmad meminta agar suaminya menahan emosi.

 

AHMAD

(Menatap Rako tajam)
Sudah harus menemui mereka?

 

Suasananya semakin tegang.

 

Haryati menatap Rako. Perasaannya waswas.

 

Rako memilih kata.

 

RAKO

(Nyaris tidak terdengar)

Saya nggak main-main, Pak. Makanya saya ngajak Sephia ke tempat orang tua saya.

 

Ahmad berdecak. Haryati memegang tangan Ahmad refleks. Ia memahami perasaan marah suaminya yang susah dikontrol.

 

AHMAD

Terus. Apa hasilnya?

 

Rako susah menjawab. Ia merasa diintimidasi. Pikirannya mendadak buntu. Tapi ia berusaha memikirkannya.

 

AHMAD (CONT’D)

Kamu ngajakin anak saya ketemu orang tua kamu, ada tujuannya, kan? Kamu sendiri yang bilang kalau kamu nggak main-main. Lalu tujuannya apa?

 

Beat.

 

Rako menahan napas. Sementara Sephia menggenggam tangannya.

 

HARYATI

(Ke Ahmad)

Biar mereka berdua mikirin dulu, Pak.

 

Ahmad menoleh istrinya heran. Tatapannya tajam.

 

AHMAD

Loh? Apa yang musti dipikir, Bu? Bapak kan cuman tanya apa tujuan Rako ngajakin Sephia ketemu orang tuanya? Kan enggak susah buat jawab?
(Beat)
Kalau iya bener mereka mikir, harusnya sebelum mereka pergi kan? Nggak asal-asalan begini? Kok ya pede bilang “nggak main-main”.

 

Ahmad menatap Haryati. Haryati menghela napas.

 

Haryati tak berani menatap balik Rako yang menatapnya.

 

AHMAD (CONT’D)

(Sambil bangkit dan pergi)
Orang-orang yang sarjana tuh, njawab pertanyaan gitu mudah. Enggak susah.

 

Haryati akhirnya memberanikan diri menatap Rako. Haryati merasa tak kuasa menatapnya yang nelangsa. Ia lalu menoleh ke Sephia. Ia semakin merasa tak berdaya.

 

Sementara Rako merasa tak diterima. Hatinya berat. Tapi perlahan ia melepas genggaman tangannya.

 

Sephia merasa pilu.


109. INT. UNIT RAKO — NIGHT 109

 

Musik folk terdengar.

 

Suasana unit Rako temaram. Kita akan merasakan mood yang kacau.

 

Televisi menyala. Kipas angin menyala. Dapur kosong. Meja makan kosong. Kulkas kosong. Bekas kamar orang tua Rako pintunya menutup. Korden melayang-layang ditiup angin.

 

We move to Rako’s room. Rako berdiri menatap dinding kamarnya yang penuh tempelan kertas komik. Di dalam kepalanya penuh dengan banyak pikiran. Ia memikirkan keluarganya. Memikirkan omongan ibunya di warteg. Memikirkan Sephia. Memikirkan omongan Ayah Sephia.

 

CUT TO:

 

Lewat POV Rako, kita akan mendekat dan menyusuri tiap kertas artistik tersebut. Kertas-kertas itu bergerak-gerak diterbangkan angin. Kita akan terus mendekat. Lalu berhenti ke sebuah foto yang hanya terlihat separo karena tertutup tempelan kertas yang saling menumpuk.

 

Tangan Rako bergerak menyingkap kertas. Lalu kita akan melihat foto itu secara penuh. Itu adalah foto keluarga yang diambil saat Rako Wisuda. Dalam foto terlihat semua orang tersenyum. Rako diapit Yuni dan Ridwan yang senyumannya lebih lebar dari yang lain. Sementara gestur Faisal dan Vera memperlihatkan jika mereka sudah lebih dulu sukses dari adiknya.

 

Rako lalu mencopot foto itu. Ia memandanginya lama.

 

Close to foto. Air mata jatuh. Tepat di atas wajah Yuni. Lalu terdengar suara Rako menyusut hidung. Ada helaan napas panjang yang berat.

 

CUT TO:


110. INT. RUMAH FAISAL — RUANG MAKAN - SAME TIME (NIGHT) 110

 

Tanpa suara kita akan melihat Yuni, Ridwan, Faisal, Vera, serta Kinan berkumpul. Mereka tengah bercengkerama sambil menikmati kudapan. Suasananya hangat dan menyenangkan.

 

Ponsel Yuni berdering. Yuni melihat ke ponsel. Rako menelponnya.

 

Yuni menghela napas. Ia tak peduli dan terus mengobrol. Tapi telpon terus berdering. Yuni pun mengalah. Ia akhirnya mengangkat telpon Rako.

 

CUT BACK TO:


111. INT. UNIT SEPHIA/UNIT RAKO — INTERCUT - SAME TIME (NIGHT) 111

 

Televisi menyala.

 

Sephia duduk diapit kedua orang tua dan adik-adiknya. Wajah mereka tegang. Hanya Dika yang tidak berbaur dalam suasana tegang itu. Dika bermain ponsel.

 

Tangan Haryati memegang tangan Sephia.

 

Sephia berusaha menampakkan ketegaran.

 

Sementara Ahmad terlihat menahan segala perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya.

 

Di ruangannya, kita akan diperlihatkan dinding-dinding kamar Rako yang sudah bersih. Tempelan kertas-kertas komik sudah dicopot.

 

Rako duduk di tepi tempat tidur. Di sebelahnya ada tas besar. Matanya merah. Ia menyusut hidung sambil menelpon.

 

Lalu perlahan musik folk berhenti.

 

Rako mematikan panggilan.

 

 

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar